MIRA ALNOFRITA

Lahir di Bukittinggi pada tanggal 8 November 1978, sejak pertengahan 2022 bertugas di SMPN 26 Padang. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Pantai

Anak Pantai

Cerpen Mira Alnofrita

Hari belum sepenuhnya gelap ketika Aisyah beranjak meninggalkan tumpukan batu pemecah ombak di senja yang berkabut itu. Rambutnya kusut, sekusut kemejanya yang kebesaran dipermainkan angin pantai padang yang entah kenapa sejak beberapa hari terakhir terasa seperti menggila. Tangan kecilnya yang cekatan cepat mengemasi botol demi botol air mineral dan makanan ringan ke dalam keranjang plastik. Tidak seperti biasa, hari ini Aisyah hanya ingin secepatnya kembali ke rumah. Dia tak lagi peduli bahwa masih banyak pengunjung pantai yang tetap bertahan di batu pemecah ombak itu meski cuaca mulai memburuk. Biasanya, ia akan tetap menawarkan dagangannya sampai pengunjung pantai benar-benar sudah sepi. “Cukup sudah,” ujarnya membatin. Di senja berkabut itu, Aisyah berharap hari-harinya tak lagi sama.

Di sebuah taman kota yang teduh, Aisyah melepaskan penat dengan menyandarkan pundak pada sebuah bangku kayu panjang bercat khas kayu jati. Tas kulit sintetis berwarna pudar itu diletakkan begitu saja di sampingnya, namun tetap dalam pengawasannya. Dia tak ingin kejadian dua hari lalu terulang kembali. Tas jinjing yang ia pinjam dari tetangga kamar kosnya, dijambret. Padahal di dalamnya ada kartu penting penanda ia seorang warga kota yang taat administrasi, 3 lembar uang 50 ribuan penyambung hidupnya juga tidak bisa ia dapatkan kembali. Uang itu pemberian terakhir seorang laki-laki yang singgah sebelum akhirnya dengan sigap membawa kembali ranselnya untuk berlayar dengan kapal yang menunggunya sejak siang. Kini ia hanya bisa mengenang wangi parfum yang tertinggal di memorinya yang semakin penuh. Penuh dengan ingatan yang selalu ingin dilupakannya, namun semakin tak mampu dibuangnya. Ingatan tentang janji yang tak pernah dipenuhi Anggara, seorang teman yang menjanjikannya bekerja pada sebuah pabrik terkenal atau tentang ketika tiga malam ia disekap pada sebuah ruang gelap karena beruasaha kabur dari sebuah perjanjian yang tak pernah ia baca. Hidupnya kacau balau, ia ingin berteriak dan membuang segala yang menyerang psikisnya. Tapi tadi malam, justru ia mendapati dirinya tertidur di lantai sebuah bar.

Hari belum sepenuhnya gelap ketika Aisyah kembali beranjak meninggalkan tumpukan batu pemecah ombak di senja yang berkabut itu. Ia tak lagi mengemasi botol plastik. Ia hanya mengemasi pikiran-pikiran yang membuatnya tidak lagi menjadi seorang yang traumatis. Tetapi Aisyah benar-benar tak mampu melakukan itu semua. Ia merasakan angin di pantai ini semakin menggila.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen pentigrafnya, Bunda. Salam literasi

17 Mar
Balas

Terima kasih Pak Dede.

17 Mar
Balas

Terima kasih Pak Dede.

17 Mar
Balas



search

New Post