Mira Oktavia, S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Masih Ada Tempat Mengadu

Masih Ada Tempat Mengadu

"Assalamualaikum"

Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, namun kepalaku selalu tertunduk tak sanggup ku tegakkan, karena akan langsung melihat kearah dapur, entah mengapa saat kaki melangkah masuk rumah terngiang di kepalaku jeritan dan tangisan kemaren malam di ruang dapur. Mungkin ini yang namanya trauma.

Dengan alasan ingin beristirahat, ku langsung menuju kamar, seiring langkah kaki yang pelan, mataku tak lepas melihat ruang tengah, dimana semalam berhamburan makan malam yang hendak kami santap bersama, dan ternyata sekarang sudah bersih.

Sesampainya di kamar ku baringkan tubuhku di atas kasur tipis yang membentang di atas lantai, di kamar ini ku tidur bersama adikku Yanti.

Baru saja akan memejamkan mata, terdengar suara paman yang masuk ke rumah, Paman Dasri, Kakak sepupu Ibu yang sangat perhatian terhadap ibu dan keponakannya.

Paman langsung menuju kamarku dan berjalan menghampiri sambil matanya tak lepas menatap kepadaku, entah apa yang pamanku itu pikirkan.

"Bagaimana Amaira, apa keponakan paman ini masih sakit?"

Paman langsung duduk di sampingku dan mengelus kepalaku dengan lembut.

"Alhamdulillah, sudah tidak apa-apa paman," ku coba tersenyum menjawab kegelisahan paman.

"Kata ibumu, bagian belakang badanmu biru dan memar" bolehkah paman lihat?

Aku kaget mendengar kata paman, karena ibu tak bilang badanku ada yang memar.

Aku mengangguk dan menarik baju kaos yang ku pakai sambil membelakangi paman.

"Astaghfirullahhaladziiiim" ucap paman ketika melihat tubuh belakangku, yang ternyata memang ada memar biru yang cukup besar dibagian punggung sebelah kananku. Mungkin itu jejak kaki ayah yang sempat menendang ku kemaren malam itu.

Ku lihat wajah paman yang sudah merah padam, sepertinya sedang menahan amarahnya. Entah apa yang akan paman lakukan kepada ayah nantinya.

Tapi tak lama wajah paman sudah kembali seperti biasa, dan menatapku penuh rasa iba.

"Apa Amaira mau menceritakan kepada paman apa yang terjadi? Kenapa Amaira dan ibu sampai luka seperti itu?"

Ku coba untuk duduk, dan paman langsung membantuku, menyandarkan tubuhku ke dinding dan meletakkan bantal di punggungku.

"Apa ibu belum bercerita kepada Paman?"

"Tidak, ibumu hanya mengatakan kamu lagi sakit, di aniaya ayahmu, selebihnya ibumu hanya menangis" kata paman sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan.

Aku tertunduk, mengingat kembali apa yang terjadi malam kemaren, dan akupun mulai bercerita kepada Paman.

#flasback

Ibu dan ayah sejak kemaren lusa sudah mulai perang dingin, ayah yang jarang pulang dan tidak pernah memberi uang belanja rumah dan uang jajan untuk kami pergi sekolah. Aku dan adik jarang jajan di sekolah karena ibu juga tidak punya uang, sudah seminggu ini ibu bekerja ke sawah orang, namun hasilnya hanya cukup untuk beli beras dan lauk seadanya. Hal seperti ini juga sering terjadi, kata ibu bahkan semenjak aku masih kecil. Ayah suka marah-marah tak menentu, suka tak pulang ke rumah, ketika pulang ibu bertanya, jawab ayah dia menginap di rumah nenek. Rumah orangtuanya ayah.

Kemaren sore ayah pulang ke rumah, dengan berteriak minta di hidangkan nasi, aku dan adikku langsung meletakkan piring, nasi dan sambal seadanya yang baru selesai di masak ibu.

Melihat apa yang terhidang di tikar, ayah sepertinya tidak senang karena makanan yang ada tidak sesuai dengan seleranya, ayah marah-marah dan berkata kasar kepada ibu, ibu hanya menangis, kemudian ayah berdiri dan langsung menendang sambal dan piring, sehingga ruang tengah tempat kami makan bertaburan dengan pecahan piring serta sambal yang baru terhidang tadi. Aku dan adik-adikku langsung berlari ke kamar, dan terdengar lagi suara ayah yang membentak ibu.

Ibu yang juga sudah sangat marah ikutan menjawab kata-kata ayah, mengatakan ayah tidak bertanggung jawab, dan ayah mengejar ibu ke dapur, dan memukulkan kepala ibu ke sanding pintu hingga berdarah, karena pekikan ibu aku ikut ke dapur melerai, tetapi ayah langsung menendang ku hingga terlempar ke dinding dapur.

Aku tak kuasa menahan tangis ketika menceritakan kembali kepada paman apa yang sudah terjadi. Paman hanya mengusap kepalaku dan menghapus air mata yang tak jua mau berhenti turun mengalir di pipiku.

"Sabar ya Amaira, akan paman selesaikan semuanya, istirahat lah yang tenang, biar cepat sehat dan kuat kembali," ujar paman dan langsung pergi meninggalkan ku sendiri.

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post