Moch. Afan Zulkarnain

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
AKAD

AKAD

Penulis : Moch Afan Zulkarnain

Aku duduk bersilah di atas karpet tebal. Di depanku seorang lelaki paruh baya yang dari wajahnya terlihat amat gugup. Ada peluh yang mengaliri keningnya. Tangannya terlihat gemetaran. Lelaki itu calon mertuaku, kawan. Duduk disebelahnya seorang pria berusia tiga puluhan memakai kemeja biru dan berjas hitam. Pria berkopyah itu adalah Pak Penghulu. Ia tampak menenangkan calon mertuaku. Kami dipisahkan oleh sebuah meja yang telah dihiasi dengan rangkaian bunga yang menawan.

Beberapa kali aku memandang wajah ayahku yang duduk bersilah tak jauh dariku. Kami saling beradu pandang. Dari sorot matanya terpancar jelas bahwa ia ingin aku bersikap tenang. Beliau tersenyum dan memberi isyarat berupa sebuah anggukan. Ia seakan ingin mengatakan, “Kau tampak dewasa, anakku. Sebentar lagi kau akan menjadi suami dari seorang wanita yang kau cintai.”

Sebenarnya aku sangat gugup. Namun senyuman ayah seakan memberi suntikan semangat bagiku. Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya. Aku lebih tenang. Tapi itu tak lama. Sesaat kemudian jantungku kembali berdegup kencang, tatkala mempelai wanita memasuki ruangan. Ia berjalan diiringi dua orang perempuan. Dengan gaun kebaya putih dan sanggul emas, membuatnya berkali-kali lipat lebih cantik dari biasannya. Riasan yang tipis dan senyumnya yang manis membuat rasa gugup semakin tak tertahankan.

Adzana Shalihah Kurniawan, dia begitu cantik hari ini. Dia duduk disampingku. Seketika penciumanku terbius oleh wangi bunga melati di sanggulnya. Harum sekali. Aku menolehkan sedikit pandanganku kepadanya. Ia memperlihatkan senyuman kebahagiaan. Seketika terbayang semua kenangan indah kami selama pacaran. Memori tentang awal pertemuan kami di kereta api terputar kembali. Waktu itu ia duduk di kursi yang harusnya menjadi tempat dudukku. Rupanya ia salah membaca nomer kursi. Sempat terjadi perdebatan kecil, namun ia akhirnya minta maaf akan hal itu. Kami berkenalan. Saling bertukar nomor telephone genggam. Hingga selanjutnya, kami sama-sama memiliki rasa ketertarikan.

“Sudah siap?”. Suara Pak Penghulu memecah lamunanku.

Aku menatap wajah Pak Penghulu lalu menganggukkan kepala, “Ya,Pak.” Begitu jawabku tegas.

“Baik , hadirin sekalian kita akan melaksanakan prosesi ijab kabul,” ujar Pak Penghulu. Seketika ruangan tersebut menjadi hening. Semua orang di ruangan tersebut fokus pada kami yang terpisah oleh meja. Tanganku dan tangan ayahnya saling menjabat di atasnya.

Ayahnya lalu membaca istighfar disusul kalimat syahadat. Ia eratkan genggaman tanggannya, cukup kuat. Pandangannya tajam ke arahku. Dengan lantang ia ucapkan kalimat ijab. “Saudara Ardana Maulana bin Ibrahim , saya nikahkan dan saya kawinkan anda dengan anak saya, Adzana Shalihah Kurniawan dengan mas kawin berupa perhiasan emas 25 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”

Demikianlah kalimat tersebut terucap dari bibir ayahnya. Tegas. Tanpa terbata-bata. Kemudian Pak Penghulu memberiku isyarat agar aku segera mengucapkan kalimat kabul. Aku menghela napas panjang. Dalam satu tarikan napas aku ucapkan kalimat yang telah aku hapalkan selama beberapa hari ini. Kalimat yang akan membuatku resmi menjadi seorang suami.

“Saya terima nikah dan kawinnya Adzana Shalihah Kurniawan binti Ikhsan dengan mas kawin tersebut, tunai!”

Namun seketika terdengar suara petir menggelagar. Suara gemuruh begitu jelas dari luar ruangan. Semua orang panik dan menjerit ketakutan. Air bah memasuki ruangan menghanyutkan semua orang dalam satu pusaran. Demikian juga aku, adzana, ayahku, semuanya.

Aku ketakutan. Aku menjerit keras hingga air bercampur lumpur masuk ke mulutku. Tanganku mencoba meraih benda-benda di sekitarku. Berusaha menyelamatkan diri. Tapi tak bisa. Nafasku semakin cekak.

Ada apa ini? Mengapa semua terjadi pada hari yang telah aku nanti-nantikan selama ini?

Tiba-tiba di hadapanku sebuah meja terlempar ke arahku. Meja yang digunakan ijab qabul itu menghantam keras wajahku. Jeritanku makin menjadi. Jeritan kesakitan.

“Aaaaarrkkkkkkkhhhhh….”

Terdengar suara yang tak asing di telingaku. Suara itu memanggil namaku. Makin lama makin jelas. Aku membuka mata, dan kulihat sosok ayahku penuh kepanikan.

Aku tersadar. Aku berada di atas tempat tidurku. Napasku terengah-engah. Piyamaku penuh dengan keringat basah.

Aku pun menyadari satu hal: prosesi akad tadi hanyalah mimpi.

Tanganku menggenggam sesuatu. Sebuah kertas penuh hiasan indah. Sebuah undangan pernikahan.

Tertulis disana dua nama, Adzana Shalihah dan Muhammad Nauval.

Seketika getir aku rasakan. Sakit sekali. Seperti ada sesuatu yang berat dan keras menghantam dadaku. Menghancurkan hatiku. Pecah berkeping-keping.

Wanita yang kucintai selama ini memilih menikah dengan pria lain.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post