Momen Paling Membekas di Hati adalah Imunisasi
Penulis : Moch Afan Zulkarnain
Banyak pengalaman menyenangkan saat menggeluti profesi pengajar. Dari berurusan dengan anak yang “butuh perhatian” hingga anak-anak yang super pintar. Salah satu pengalaman yang tidak terlupakan adalah saat berlangsungnya program ini.
Imunisasi.
Anak-anak sudah diberitahu kalau pada tanggal 10 November 2018 akan dijadwalkan imunisasi. Demikian pula dengan wali murid juga telah mengetahuinya. Saya lupa waktu itu imunisasi apa. Yang jelas, pada hari itu semua siswa diwajibkan hadir. Setiap siswa harus diimunisasi.
Pada hari yang ditentukan, raut muka anak-anak SMP itu terlihat tegang. Banyak yang bertanya kepada saya pada pagi hari saat mereka baru tiba di sekolah. “Pak, Imunisasinya apa jadi?”
Terlihat sangat jelas dari raut muka, mereka berharap banyak bila jadwal imunisasinya ditunda. Ada semacam do’a yang mereka panjatkan agar terjadi sesuatu hal yang menyebabkan kegiatan imunisasi hari itu tidak jadi dilaksanakan.
Namun do’a mereka tak terkabulkan. Pihak puskesmas datang. Saya ingat betul, saat mobil puskesmas tersebut parkir di halaman, kontan semua siswa menjerit ketakutan. Suara jeritan itu semakin nyaring terdengar, tatkala satu persatu petugas turun dari mobil.
Saya dan beberapa rekan mencoba menenangkan mereka. Tapi jeritan mereka tak terbendung. Terlebih saat petugas menyebar ke semua kelas.
Saya waktu itu berada di kelas 7C. Saya wali dari kelas itu. Seorang petugas pria dan dua orang petugas wanita memasuki kelas. Anak-anak menyambutnya dengan teriakan ketakutan. Beberapa ada yang menangis.
Aku menutup pintu kelas dan menguncinya, berharap tak ada yang melarikan diri. Pengalaman tahun lalu, ada yang memanfaatkan pintu yang terbuka untuk kabur, sembunyi di kamar mandi. Aku belajar dari hal itu. Beberapa ada yang mengendap-endap menuju pintu untuk melancarkan niatnya kabur, tapi aku langsung menegur.
Semua siswa perempuan berkumpul di pojokan. Mereka saling menunjuk satu sama lain saat petugas bertanya,”siapa yang siap lebih dulu diimunisasi?”
Tangan mereka bergetar. Beberapa ada yang menggigit bibir. Aku sedikit kasihan, tapi bagaimana lagi, aku harus hilangkan simpati, program imunisasi harus berjalan. Ini semua demi kesehatan mereka di masa depan.
“Tidaaak Mauuu!!!!” Suara teriakan agak besar mengangetkan seisi ruangan. Tampak Hendrik mencoba untuk melepaskan diri dari dekapan petugas. Ia terus berusaha. Aku mencoba untuk menasihatinya, tapi tak bisa. Anak itu semakin liar. Bahkan secara reflek ia menggigit tanganku. Sakit sekali.
Rupa-rupanya petugas tak kuasa menahannya, Hendrik dapat melepaskan diri. Ia berlari ketakutan menghindari kami, aku mengejarnya. Kami serasa main kucing-kucingan. Hendrik melompati kursi dan meja. Berlari sekuat tenaga. Aku masih berusaha mengejarnya. Suara teriakan siswi perempuan membuat atmosfer kelas saat itu begitu mencekam.
Hendrik menuju pintu, mencoba membukanya tapi tak bisa. Pintu telah terkunci. Ia naik ke atas meja, mencoba melompat lewat jendela. Alhamdulillah, aku berhasil menghalaunya. Aku pegang kakinya. Erat sekali. Ia tak berkutik, ia jatuh ke lantai lalu memelukku. Ia membenamkan kepalanya di dadaku.
“Jangan ,Pak…jangan…huhuhu…saya takut Pak…”
Aku tak menyangka, anak senakal dia bisa menangis sesenggukan seperti ini. Air matanya berlinang bercampur dengan keringat yang telah membasahi seragam pramukanya.
Aku menenangkannya. Aku beri dia pengertian bahwa imunisai ini tak sesakit yang dibayangkan dan imunisasi ini penting bagi kesehatannya.
“Tapi Pak Afan jangan lepasin saya,ya..” begitu katanya. Saya mengangguk pelan dan memberikan kode kepada petugas untuk menghampiri kami. Aku mencoba mengajaknya bicara tentang sesuatu yang disukainya. Bola. Dengan masih sesenggukan ia membalas setiap perkataanku mengenai klub favoritnya. Saat itulah Petugas menyuntikkan sesuatu di lengan kirinya.
Hendrik terus bicara tanpa ia sadari, ia telah selesai diimunisasi.
“Sudah,nak. Kamu sudah selesai diimunisasi.” begitu kata petugas sambil membelai lembut rambutnya. Hendrik menatapku heran.
“Lho? sudah Pak?”
Aku mengngguk. Dan kembali ia bertanya, “Kok gak sakit,ya Pak?”
Pertanyaan itu kontan membuatku tertawa. Demikin juga dengan petugas. Seisi kelas mendadak dipenuhi gelak tawa.
Apa yang terjadi pada Hendrik berdampak pada psikologis anak yang lain. Mereka tak terlalu ketakutan, meski ada beberapa yang perlu diberikan treatment khusus. Alhamdulillah, semua siswa berhasil diimunisasi.
Aku meminta mereka beristirahat sejenak. Tampak mereka larut dalam canda tawa melupakan ketakutan yang tadi sempat menyerang mereka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Semoga ada berkah. Salam literasi
salam literasi, Bapak
Keren menewen kisahnya mas.. Sukses selalu
Mohon izin nambahin satu penggemar mas ;)
Terima kasih sudah singgah dan membaca, Bapak hehehe
Terima kasih sudah singgah dan membaca, Bapak hehehe