MOHAMMAD HAIRUL

Mohammad Hairul adalah Guru SMP Negeri 1 Bondowoso, Jawa Timur. Instruktur Literasi Nasional Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan. Instruktur N...

Selengkapnya
Navigasi Web
MEMANGKAS DISPARITAS KOMPETENSI GURU

MEMANGKAS DISPARITAS KOMPETENSI GURU

Bermula dari asumsi bahwa kompetensi guru rendah, dan Kemdikbud membutuhkan pengukuran untuk pemetaan kompetensi guru. Maka digelarlah Uji Kompetensi Guru (UKG) pada akhir 2015. Hasilnya pada tahun 2016 tiap-tiap peserta UKG mendapatkan raport hasil pemetaan kompetensi guru. Dari kategori besar kompetensi profesional dan pedagogik, kemudian dipetakan menjadi 10 butir kompetensi. Pemetaan tersebut berdasarkan pemetaan modul yang akan digunakan saat diklat guru yang dirancang pascaUKG.

Standar ketuntasan minimal UKG 2015 adalah 55. Rata-rata skor perolehan nasional UKG adalah 53. Namun terdapat 3. 805 orang yang mendapat nilai di atas 91. Hal itu menujukkan bahwa terjadi disparitas pada hasil UKG di berbagai daerah. Hal itu kemudian dimaknai bahwa hampir di semua daerah terjadi disparitas kompetensi guru. Sebagai follow up-nya kemudian diadakan program diklat pascaUKG yang berlabel Diklat Guru Pembelajar. Dalam pemaknaan saya, diklat guru pembelajar merupakan diklat yang mengimplementasikan tagline sharing and growing together. Berbagi dan bertumbuh bersama.

Diklat Guru Pembelajar dalam pelaksanaannya dimotori oleh guru yang bertindak selaku instruktur, pengampu, dan mentor. Selama kurang lebih tiga bulan, guru mempelajari modul yang merupakan representasi kelemahan guru tersebut saat UKG. Melalui interaksi peserta Guru Pembelajar dengan instruktur, pengampu, dan mentor, maka diakhir diklat peserta mendapatkan sertifikat disertai skor penilaian total pengukuran kompetensi selama mengikuti diklat Guru Pembelajar.

Pada diklat Guru Pembelajar, upaya peningkatan kompetensi guru lebih merupakan bentuk turun tangan pemerintah dan berbasis program. Walaupun sudah merupakan paradigma baru yang berkesinambungan, program guru pembelajar sejatinya akan lebih dapat diharapkan pada saat ia menjadi kesadaran kolektif guru dan berbasis gerakan. Sehingga guru bukan lagi menjadi bagian dari masalah pendidikan di Indonesia, namun menjadi solusi.

PERAN ORPROF GURU

Pihak yang semestinya paling bersemangat untuk bergerak meningkatkan kompetensi guru adalah organisasi profesi (orprof) guru. Lebih khusus lagi adalah orprof guru yang suka mengklaim sebagai orprof yang dulu getol memperjuangkan kesejahteraan guru sehingga guru mendapat TPP (Tunjangan Profesi Pendidik). Lantas setelah disejahterakan, mana bentuk pertanggungjawaban dalam mengkawal peningkatan kompetensi guru?

Pada kondisi demikian, menjadi niscaya bila kemudian menjamur tumbuhnya beberapa orprofi guru. Kehadirannya adalah untuk mengisi kekosongan peran dalam upaya mengkawal peningkatan kompetensi guru pasca-kesejahteraannya. Kemudian kita mengenal beberapa orprof guru selain PGRI (IGI, FSGI, FGII, FGSI, Pergunu, dll). Kemunculannya perlu diapresiasi sebagai wujud peduli dan sumbangsing dalam upaya mengkawal peningkatan kompetensi guru.

Menghadapi keberadaan beberapa orprof guru, pemerintah melalui Kemdikbud diharapkan memberikan suasana kondusif. Hal itu menjadi penting dilakukan agar tiap orprof mendapati kenyamanan dan keamanan dalam bergerak meningkatkan kompetesi anggotanya. Kenyamanan dan keamanan dimaksud guna menghindarkan anggota orprof tertentu dari intimidasi dan diskriminasi dalam menjalankan tugas dan meniti jenjang karir.

Juga menjadi arah kebijakan lebih lanjut, untuk segera disahkan satu atau beberapa orprof guru. Keberadaan orprof guru dimaksud serupa IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan organisasi profesi lain yang memang berfokus pada peningkatan kompetensi profesi-nya. Hal itu akan membantu guru dalam menerjemahkan amanat UU No. 14 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi atau asosiasi profesi.

Regulasi tentang orprof guru akan menghindarkan pengkaplingan peran orprof guru serupa yang menyeruak belakangan. Bahwa orprof guru tertentu akan berfokus pada persatuan memperjuangkan kesejahteraan guru. Sebagian lagi konsisten mengkawal peningkatan kompetensi guru. Fungsi ikatan memang untuk menguatkan persatuan. Peran saling melengkapi demikian sejatinya baik kecuali pada saat dimaknai sebagai ‘kudeta baju putih untuk memecah belah guru’.

ALTERNATIF SOLUSI

Guna memangkas disparitas kompetensi guru, hal paling mendasar adalah kemauan memanfaatkan data pemetaan hasil UKG. Mengetahui posisi dan kondisi kompetensi diri, guru berpeluang mengubah citranya dalam dunia pendidikan. Bahwa guru bukan lagi menjadi bagian dari permasalahan pendidikan, namun guru solusi bagi pendidikan di Indonesia. Saat terpetakan kelemahan kompetensinya, maka sejatinya guru sudah paham bahwa kompetensi itulah yang perlu terus ditingkatkan. Solusinya berupa belajar mandiri atau dengan memanfaatkan guru yang hasil UKGnya baik untuk menularkan ilmunya di forum guru.

Upaya memangkas disparitas kompetensi guru, sebaiknya bukan berbasis program namun berbasis gerakan. Keterbatasan keterjangkauan, pendanaan, pengontrolan, dan lain-lain akan menjadi kendala dalam penanganan berbasis program. Namun jika penanganan dilakukan berbasis gerakan maka hasilnya bisa lebih maksimal. Guru akan terbiasa meningkatkan kompetensinya secara mandiri maupun dengan berbagi sesama guru dalam budaya sharing and growing together.

Sekian lama rasanya guru terlalu bergantung pada pemerintah. Padahal diklat kedinasan yang terprogram pastinya akan menghadapi banyak kendala. Ketepatan sasaran, ketercakupan, pendanaan, dan penyalahgunaan karena kurangnya kontrol. Cukuplah kiranya pemerintah berperan sebagai pemantau dan pemberi assesmen terhadap berbagai pencapaian guru. Perlu disusun standar penghargaan guru sehingga tidak selalu sama rata sama rasa.

Mari sempatkan menengok organisasi profesi mana yang memiliki kepedulian mengkawal peningkatan kompetensi guru dan berinisiatif dalam upaya pemangkasan disparitas kompetensi guru. Cukup lama dunia pendidikan Indonesia memosisikan guru sebagai bagian dari masalah pendidikan. Kini pilihan itu nyata di hadapan, tetap mau menjadi bagian dari masalah atau beringsut menjadi solusi? Pastilah hal itu lebih penting daripada memaksa guru untuk memakai seragam batik hitam-putih sehari dalam sepekan efektif.

*) Mohammad Hairul adalah Guru SMPN 1 Klabang-

Bondowoso. Ketua IGI (Ikatan Guru Indonesia)

Kabupaten Bondowoso.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Inspiratif

31 May
Balas

Terima kasih, Bu Badriah. Salam kenal.

31 May
Balas



search

New Post