Mom

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
BELAJAR MENCINTAI

BELAJAR MENCINTAI

Belajar Mencintai

10 Mar @Opini

Belajar Mencintai

-Dian Garini Lituhayu-

Angin dan udara kota ini sangat bersahabat dengan kami yang belajar dengan kecepatan tinggi, tikungan-tikungan tajam sudah dipersiapkan untuk dilewati dengan gaya ala Rossi yang sudah ditargetkan mulus licin dan aman terkendali. Materi, media, pendekatan dan pengajar, terlihat sekali sangat rinci dan dibuat dengan desain berikut target yang tinggi namun tetap realistis.

Menjelang hari ketiga, pembelajaran kami sudah berhasil membuat kami berpikir, benarkah kami sebagai guru ini adalah guru? Benarkah selama kami mengajar ini kami sudah memberikan pengalaman dan pemahaman terbaik bagi anak didik kami? Bagian mana yang harus kami perbaiki? Apa yang salah pada kami? Pertanyaan apakah apakah apakah itu muncul bersamaan dengan semakin luas dan menajamnya materi pembelajaran.

Aku jadi teringat pada sebuah frase sederhana, black birds flock together, kita akan dipertemukan dan dipersatukan dengan orang-orang yang satu frekuensi dengan kita. Dari milyaran manusia di dunia, mengapa kita justru berjumpa dengan si A bukan dengan si B, si X atau si Z. Berkumpul 30 orang dari seluruh penjuru ASEAN sebetulnya adalah representasi kecil bahwa problematika guru ternyata serupa dimanapun berada meskipun tak persis sama.

Beragam latar belakang terkuak, berbagai pemikiran sederhana dan rumit muncul ke permukaan. Guru sekolah dasar yang menjadi guru kelas, yang latar belakangnya bukan matematika, tapi harus mengajar matematika, tahu benar bagaimana rasanya. Dan golongan itu termasuk aku. Mungkin bisa saja aku diam dan nyaman berada dalam kotakku, cukup saja tanpa merasa pembelajaran dikelas memiliki celah dan masalah. Bisa saja aku tak lagi perlu belajar, dan memasukkan pikiran beberapa guru disekitarku yang menganggap belajarku kali ini adalah kemubaziran tingkat dewa, mengingat aku sudah lama menghindari, alergi, batuk-batuk setiap kali terkena angin sorga (dibaca : matematika).

Paparan tentang bagaimana pembelajaran kita di zaman baheula dulu, hanya perlu membaca, menulis, dan aritmatika, tapi semua berjalan mulus, tanpa pusing dan tidak ada kekuatiran terbesar selain tidak hafal perkalian. Mengapa sekarang berubah? Mengapa dengan semakin berkembangnya zaman dan peradaban, siswa-siswi kita di kelas justru belajar sesuatu yang lebih kompleks berkejaran dengan berbagai permasalahan pendidikan lainnya? Satu makna menarik yang kurekam sebagai jawaban adalah bahwa guru yang mendidik, kini bergeser, hanya menjadi guru yang mengajar. Meskipun tidak bisa dipukul rata, target kurikulum yang tinggi, orientasi pada nilai semata, dan kurang dihargainya profesi sebagai guru, bisa menjadi pemicu semuanya.

Image pembelajaran matematika yang susah, sulit, seram, menyebalkan, menakutkan terjadi dimana-mana, bukan cuma di kelasku. Rasa eneg, alergi, males, sumpek saat belajar matematika, bukan cuma terjadi di masa kecilku. Yang menjadi pertanyaan sekarang apakah masih mau kelas kita seperti itu melulu? Dengan alasan klasik, dituntut kurikulum begini dan begitu, lantas menghilangkan esensi belajar matematika yang sesungguhnya? Gurunya saja enggan belajar lagi, apalagi muridnya. Yang menjadi pengusik hati sekarang adalah apakah kesan matematika sebagai pelajaran pembunuh itu mau dibawa siswa didik kita sampai hari tuanya?

Belajarku kali ini sebenarnya adalah belajar mencintai. Belajar menerima kekuatan dan kekurangan diri akan matematika. Melihat apa yang masih bisa diraih dan dipelajari untuk diperbaiki. Yang lalu, biar berlalu. Meskipun aku bahagia bahwa ternyata kelasku selama ini on track, aku tahu masih ada celah bagiku untuk kembali ke kelasku dengan nafas yang baru. Tantangan demi tantangan mulai dari mencari pola, manipulasi virtual, makna angka dan pemecahan masalah menggunakan lesson studi ala guru-guru Jepang, mulai mengisi dan me-recharge kembali makna belajar mencintai matematika.

Kusebut belajar mencintai, karena tak semua dari kami, dari seluruh peserta ini mencintai angka dan bentuk geometri. Kami sempat bergetar dan seperti mabuk perjalanan begitu membahas segitiga sama sisi yang terbuka dan terbalik sampai habis lima halaman papan tulis, tetap tak habis-habis. Berputar kepala kami mengikuti pola alur yang maju dan mundur demi sebuah pola. Menanamkan pentingnya pola dan mencairkan membatunya pemahaman kami akan matematika.

Mengajarkan matematika dengan cara yang menyenangkan dan bermakna harus dimulai dengan memperbaiki bagaimana kami sebagai guru kelas memandang diri dan materi. Apakah angka mempunyai makna bagi kami? Bagaimana kontekstual membantu kami? Bukan matematika jika tanpa masalah. Tugas kita adalah menemukan solusi dari masalah itu dengan pendekatan yang benar. Tugas kita memastikan, bahwa anak didik kita belajar matematika karena mereka yakin, bahwa mereka perlu melakukannya.

Kusebut belajar mencintai, karena cinta adalah tempat dimana semua ini, bermula.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah Bu, semua artikel saya pindah semua ke akun Ibu. Sebaiknya jangan seperti ini ya Bu. Kalau satu dua artikel disematkan dengan diulas ulang boleh, kalau direshare semua seperti ini rasanya gak pas ya Bu.

27 Jan
Balas



search

New Post