Much. Khoiri

Penggerak literasi, trainer, editor, dan penulis buku 33 judul dalam 6 tahun. Alumnus International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993)...

Selengkapnya
Navigasi Web
CINTAKU SEBULAT ONDE-ONDE

CINTAKU SEBULAT ONDE-ONDE

Oleh: MUCH. KHOIRI TAHUKAH Anda penganan (konon) khas Mojokerto yang akrab disebut onde-onde? Bentuknya bulat, ukurannya sekepalan anak, kulitnya penuh bintik-bintik krem bernama wijen. Rasanya macam-macam, bergantung isinya: ada rasa original, cokelat, kacang hijau, dan sebagainya. Terasa nikmat bin maknyus kalau ia dimakan saat masih hangat. Konon, dulu, wijen onde-onde itu membuat takjub pasukan Belanda. Kok telaten ya "budak-budak Kumpeni" Jawa Dwipa ini menata satu-satu wijen pada sekian onde-onde. Padahal harganya tidak mahal, malah cukup murah untuk harga jajan pasar. Tentu saja si pembuat tidak bisa menjawab dalam bahasa Belanda, cukup memperagakannya: Bola onde-onde, sebelum digoreng, digelundung-putarkan pada sebaran wijen di nampan. Dalam waktu singkat ratalah wijen ke seluruh permukaan; dan sepintas seperti telah ditata satu-satu. Mana tahan? Saya menyaksikan prosesnya. Ada 5 pemuda yang bekerja, begitu cekatan dalam tugas masing-masing: olah bahan, goreng onde-ote2, layani pelanggan, dan kebersihan. Itu di kawasan pusat kuliner dan oleh-oleh Mojokerto, 250 meter utara terminal bis. Halamannya luas, dan view-nya menyejukkan mata. Dari Kotabaru Driyorejo, tempat tinggal kami, kawasan itu hanya perlu ditempuh dengan menyetir santai sekitar 1 jam, melewati jalan raya tipe cor yang baru difungsikan dalam bulan-bulan terakhir ini. Sebelumnya, jalan itu bletok parah sehingga setan pun tak sudi melewatinya. Apakah saya hanya mau menyaksikan proses pembuatan onde-onde? Tentu saja, tidak! Jauh-jauh datang ke tempat itu, ada yang menggerakkan saya. Apakah karena saya ingin memakan onde-onde? Sayangnya, tidak! Saya hanya ingin menyenangkan istri (boleh juga dibilang memanjakan istri) yang "ngidam" onde-onde; bukan ngidam karena hamil, melainkan karena sudah lama tidak mengincipnya. Sejatinya saya sangat padat tugas literasi di akhir tahun ini, namun untuk membayar keinginannya, saya pun siap meletakkan tugas sementara waktu. Semua pasti indah pada waktunya. Kami memesan dua paket boks onde-onde, plus hweci atau ote-ote jamur yang masih hangat. Kopi susu dan jus jambu mengisi kekosongan waktu kami dalam menunggu. Soalnya, antri sudah pasti. Ada empat keluarga (bermobil) yang sama-sama antri. Sebagian memilih oleh-oleh lain di rak pajangan. Dua keluarga tampak kelelahan; mungkin mereka telah menempuh perjalanan panjang. Dalam antrian itu, ote-ote siap mengisi perut yang berdangdutan. Gerimis mulai menyapa dengan tarian pelangi. Ah, teringat kisah Narayana... *** Setiba di rumah hujan deras telah menyambut. Kami bersantai di beranda. Terasa syahdu kalau bisa duduk-duduk bersama keluarga, ditemani teh hangat dan onde-onde dengan aneka rasa. Teringat masa-masa muda dulu ketika anak-anak masih balita, ketika kami masih mengontrak rumah, ketika belum bebas berkeinginan untuk makan apa, dan ketika kemana-mana kami masih naik sepeda motor sederhana. Teringat pula masa muda yang penuh perjuangan yang gemilang. Bahagia itu sederhana. Hanya dengan memenuhi keinginan istri memakan onde-onde, kami jadi bersama, seakan napak tilas masa muda yang mustahil diputar ulang. Onde-onde itu murah, dalam ukuran kantong saya saat ini. Namun, yang mahal adalah membuat diri ringan hati dan ringan langkah untuk mengantar istri membeli onde-onde itu. Betapa dalamnya dia telah berterima kasih atas semua itu. Alhamdulillah, kini lewat onde-onde ini, kami diingatkan betapa indahnya rasa syukur yang harus senantiasa dipanjatkan. Hanya lewat onde-onde, kami makin memahami makna sakinah-mawaddah-rahmah yang dulu hanya terdengar merdu dari ucapan sahabat. Hanya lewat onde-onde, kenikmatan itu terasa begitu manis sekarang. Maka, nikmat dari Tuhan manakah yang engkau dustakan? Sahabat, izinkan saya berbagi warta: Cinta saya sebulat onde-onde ketika berada dalam pundak pengharapan peminatnya. Syukur saya janganlah ditanyakan seberapa sekarang. Itu urusan saya dengan Tuhan yang menciptakan manusia pembuat onde-onde dan manusia penikmat onde-onde. Biarlah beranda rumah, dan bebungaan yang indah sekarang, rela menjadi saksinya.*

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sepertinya saya pernah baca ini di mana ya Pak Much. Khoiri? Jadi pingin baca lagi buku Bapak. Buku barunya sudah ada berapa ya?

19 Feb
Balas

Sepertinya saya pernah baca ini di mana ya Pak Much. Khoiri? Jadi pingin baca lagi buku Bapak. Buku barunya sudah ada berapa ya?

19 Feb
Balas

Onde2 pembawa nikmat dan berkah, ternyata.

18 Feb
Balas

Saya ingin ikut menikmati, boleh khan Pak,

18 Feb
Balas

P Edi, hikmahnya itu yang lebih penting. Terima kasih telah berkenan mampir.

18 Feb
Balas

P Slamet, sayangnya onde2 tdk tahan lama, jadi tidal bisa dipaketkan. Hehehe

18 Feb
Balas

Bu Romdonah Kimbar, dalam tahun 2016 ada 5 buku. Tahun 2017 ada 3 buku: Mata Kata, Write or Die, dan Virus Emcho.

19 Feb
Balas



search

New Post