Much. Khoiri

Penggerak literasi, trainer, editor, dan penulis buku 33 judul dalam 6 tahun. Alumnus International Writing Program di University of Iowa (USA, 1993)...

Selengkapnya
Navigasi Web

‘Kecap Nomor 1’ dalam Kampanye Pilgub

Oleh MUCH. KHOIRI

Suhu menjelang kampanye Pilgub Jatim 2018 kian menghangat, mesin-mesin politik pasangan cagub-cawagub kian intensif melakukan manuver-manuver pilihan. Akrobat politik belum usai, malah makin seru dan mencoba memukau publik.

Sedang dan akan kita saksikan setiap pasangan berkomunikasi politik lewat permainan bahasa yang berlabel ‘kecap nomor satu’. Mirip falsafah kecap, yang tak pernah dilabeli nomor dua, tiga, atau sebelas, mereka juga ‘ngecap nomor satu’. Bagai penjual kecap, mereka juga menomorsatukan visi-misi-programnya, kendati masyarakatlah yang akan menilainya nomor satu atau nomor butut.

Setiap pasangan mengklaim diri terhebat, tersegani, terjujur, terbanyak massanya, dan sederet predikat superlatif (tingkat paling) lainnya. Agaknya dilupakan yang terbaik itu hanya satu, selebihnya hanya terbaik kedua atau ketiga. Itu pun setelah orang membandingkannya.

Strategi “ngecap” (mengkultuskan diri) itu tak pelak berjargon-jargon atas nama rakyat. Terma-terma gagah semacam ‘atas nama rakyat’, ‘demokrasi rakyat’, ‘amanat rakyat’, ‘hati nurani rakyat’, ‘ekonomi rakyat’—termasuk ‘APBD untuk Rakyat’, ‘Pemimpin Jujur, Rakyate Makmur’, ‘Kemenangan Kami, Kemenangan Rakyat’ dan terma lain berbau ‘rakyat’ begitu laris manis.

Para cagub-cawagub pun rajin sowan ke kiai-kiai, berdialog dengan para santri—ah begitu akrabnya! Para sesepuh Daerah, yang dalam ‘kondisi normal’ jarang disowani, kini harus menerima kedatangan mereka. Anak-anak panti asuhan juga dielus, digendong, diberi hadiah ini-itu, yang dalam ‘kondisi normal’ jarang terjadi. Begitu melangkah pergi, aromanya sangat menyengat “Kami peduli rakyat, maka pilihlah kami.”

Alangkah merdu dan indahnya terma-terma ‘rakyat’ itu diucapkan, bahkan disolidkan atau dibaurkan dengan janji-janji menggiurkan. Tak tanggung-tanggung, seluruh dimensi kehidupan individu dan bermasyarakat dijanjikan untuk diperbaiki. Jangankan malaikat, setan pun mungkin ketawa mendengarnya. Semuanya, dikatakan, demi rakyat. Ruaaar biasa!

Begitulah, makna “rakyat” telah dan dimanipulasi secara politis dan bombastis sebegitu rupa untuk mengesankan keberpihakan total pada seluruh rakyat yang sangat bhinneka, dan akhirnya, guna menyedot atensi mereka agar memberikan suaranya. Padahal, tiada jaminan, cagub-cawagub terpilih bakal memenuhi janjinya.

Masyarakat kini sudah cerdas akibat begitu lama dibodohi dan dibodohkan, bahkan direndahkan dengan sebutan ‘rakyat’ atau ‘wong cilik’. Kemuakan masyarakat terhadap tokoh-tokoh politik, yang dulu juga mengumbar janji-janji, telah mengarus ke gejala sinisme dan indiferens (acuh tak acuh) publik. Inilah model masyarakat yang ambigu sikap politiknya.

Dalam kondisi masyarakat ambigu inilah para cagub-cawagub bermain. Agaknya masih ada harapan yang tersisa. Simpati mereka harus direbut dan diperjuangkan, tak peduli berapa pun ongkos materiil dan imateriil yang perlu dikeluarkan. Strategi-strategi pragmatis yang berbau kekinian pun dilancarkan.[]

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post