Muhammad Alim

"MENULISLAH, DENGAN TULISAN KITA AKAN HIDUP LEBIH PANJANG, MELEWATI BATAS WAKTU YANG DITENTUKAN OLEH ALLAH SWT, UMUR" (Muhammad Alim, 2018). Lahir di Bojonegor...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dian, Aku Melamarmu #1

Aku benar-benar gila melihat cicak dan nyamuk yang tak kunjung rukun. Masing-masing berkeinginan untuk terbang melayang. Mengikuti arus angin yang menempel di dinding-dinding rumah kayu itu. Begitu sibuk mereka. Berbalas kekuatan jiwa.

Hatiku masih berkecamuk. Seakan-akan mengikuti gerakan nyamuk belum juga berhenti mengejarku. Ku ingat kata-katanya begitu lembut.

"Mas, lamarlah aku."

Tak ada jawaban yang dapat ku berikan ketika itu. Karena hatiku masih terikat oleh bayang-bayang pesakitan yang makin lemah di pembaringan.

Dian. Gadis cantik yang ku kenal lewat facebook empat bulan lalu. Dia seorang yang tangguh. Pekerja keras, namun hati dan tingkahnya bagai embun pagi yang menyentuh dedaunan. Lelaki mana yang tak akan terpesona melihat senyumannya.

Perkenalan itu begitu singkat dan tak disangka-sangka. Kita hanya memiliki satu teman yang sama dalam med-sos itu. Namun dia begitu supel dan sopan. Rumahnya hanya bersebelahan dengan desa tempat tinggalku. Hingga dalam waktu yang begitu singkat, kita sudah bisa menebak perasaan satu sama lain. Aku suka dengannya dan dia mengharap keseriusanku.

Berhari-hari aku diam tanpa membuka laman kronologiku. Aku takut menyakiti dia. Aku takut membuatnya kembali menangis jika aku mengatakan tidak. Aku tak kuasa membaca kata-katanya yang dia tempel di halamanku. Namun mau bagaimana lagi. Aku masih di kawah merapi. Kawah yang sewaktu-waktu siap meluluhlantahkan tulang dan dagingku.

Hingga ku temukan waktu yang pas untuk bersapa langsung dengannya. Waktu yang tak aku sangka-sangka. Aku berpapasan dengannya ketika jalan-jalan pagi di taman dekat rumahku.

"Hai Mas, bagaimaba kabarmu?" Sapanya masih sama seperti sebulan lalu.

"Alhamdulillah baik, Dik." Jawabku sekenanya.

“Ibu, bagaimana kabarnya Mas?”

“Alhamdulillah, Ibu juga sudah baik. Tadi saya ajak jalan-jalan juga sebentar. Sedang buru-buru nggak, Dik?"

"Ngg.. nggak kok, Mas. Mang ada apa, Mas?" Dia kelihatan penasaran.

"Kalau nggak buru-buru, Mas mau ngomong sebentar ke adik."

Begitulah jika kami sudah ngobrol. Sapaan adik dan mas sudah kami biasakan. Hal ini kita sepakati untuk menjaga silaturrahmi. Kita tetap menjadi sahabat, adik kakak, teman karib, dan menjadi dua insan yang sama-sama mengharapkan. Sehingga tak ada seorang pun dari sahabatku yang tahu siapa gadis yang aku idam-idamkan saat ini.

"Kita duduk di sana aja, Mas." Ajaknya sambil menunjuk ke sebuah batu besar di ujung rangkaian bunga yang berwarna merah.

"Iya, ayok Dik."

Sesampai di batu itu aku langsung duduk selonjor kaki sambil menyandarkan punggungku di batu besar itu. Dian pun mengikutiku. Dian duduk persis di sebelah kiriku dengan posisi yang sama sepertiku.

"Dik, maafkan aku yaaa.... Beberapa hari ini bahkan hampir dua minggu aku tak ada mengabarimu. Aku masih sama seperti ketika terakhir kali berbincang denganmu, Dik. Hanya saja, kemarin aku harus merawat ibuku yang sedang sakit. Tak patut jika aku ingin mengutarakan hatiku tentangmu kepada ibuku, sedang ibuku masih sakit. Aku akan merasa sangat berdosa jika setelah mendengar ucapanku dan ibuku menjadi bertambah sakitnya karena pasti akan memikirkan bagaimana persiapan setelah itu. Hingga ku tunggu sampai ibuku benar-benar sembuh."

Dian tak mengucap sepatah kata pun. Hanya air mukanya yang ku lihat mulai memerah.

"Dik."

"Iya, Mas."

"Apakah ucapan terakhirmu waktu itu masih berlaku?" Tanyaku sedikit kupertegas.

Tanpa kata, Dian hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapanku.

"Aku sudah berbincang dengan ibuku, Dik. Dan ibuku merelakan jika aku membagi hatiku padamu. Maukah adik menjadi separoh jiwaku di dunia dan akhirat?" Ucapku sambil memberikan sebuah bunga putih yang sedari tadi kusembunyikan, yang ku ambil dari salah satu ujung taman ini.

"Insyaallah, Mas. Aku mau." Dian memegang bunga putih itu.

"Bunga ini sebagai perlambang niat suciku padamu, Dik. Niat semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT dalam keinginan menjalin sebuah keluarga. Ku harap adik siap menjaga niat putih ini."

Tak terbendung hati Dian. Air mata yang suci itu mengalir membasahi pipinya yang kemerahan.

"Insyaallah, Mas. Aku siap. Mas, bimbing adikmu ini yaaa."

"Insyaallah, Dik. Maafkan aku, jika ungkapan niatku ini terlalu lama aku pendam."

Langit masih sedingin salju, meski waktu tlah beralih ke pukul tujuh. Lambaian tangan dan langkah kaki penghuni taman ini, menjadi saksi bunga putih yang menyatukan harapku dan inginnya. Beberapa hari kedepan aku akan mempertegas ikatan ini dihadapan orang tuanya.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post