Muhammad Fadli Dzul Ikram

Manusia adalah kuas-kuas kecil pada semesta sebagai canvasnya...

Selengkapnya
Navigasi Web
MATI LAMPU
#TantanganMenulisGurusiana Hari ke-17

MATI LAMPU

Maira dan Kayla adalah sahabat sekaligus tetangga di sebuah gang perumahan yang terletak di depan kampus UIN Jakarta. Mereka berdua sedang asyik bermain boneka bersama-sama di ruang kamar Maira. Namun lampu cahaya yang menerangi rumah mereka tiba-tiba mati tanpa aba-aba. Maira mengira kalau itu perbuatan tetehnya, Teh Ima.

“Teteeeehhh! Ga lucu, Teh!” teriak Maira.

Namun tidak ada jawaban sama sekali, biasanya lampu akan menyala setelah Maira teriak begitu atau Teh Ima akan membalas teriakan dengan teriakan kalau memang bukan dia pelaku dari terbunuhnya cahaya di kamar Maira.

Maira dan tetangganya itu terdiam lama-lama mulai ketakutan. Mereka tidak bisa melihat apa-apa sama sekali, semuanya hitam. Maira meraba-raba mencoba mencari tangan Kayla.

“Kayla, kamu dimana? Jangan tinggalin aku.”

“Aku di sini, Mai,” jawab Kayla. Sebenarnya mereka sudah berhadap-hadapan, namun karena kegelapan yang menghalangi penglihatan mereka terpaksa mengandalkan indra pendengaran.

Kayla pun kaget tatkala ada sesuatu yang mencoba menyentuh pergelangan tangannya.

“Aaaaa!” teriaknya.

“Kayla, ini tangankuuu,” jelas Maira.

“Kamu mah, ish. Ngapain megang-megang, sih?” tanya Kayla kesal.

“Aku takut. Kita harus keluar bareng-bareng. Awas aja kalau kamu ninggalin aku!”

Akhirnya mereka berdua mencoba meraba-raba semua yang berada di depannya dengan perasaan yang berdebar-debar di dalam dada. Bacaan Ayat Kursi pun pelan-pelan terdengar dari mulut mereka berdua. Ternyata bukan hanya kamar Maira saja yang tak ada cahaya, melainkan juga ruangan di dalam rumah itu gelap gulita tak bercahaya.

“Berarti ini namanya mati lampu,” jelas Kayla.

“Mati lampu?” tanya Maira.

“Iya,” “Kata mama aku, berarti ada masalah di PLN-nya.”

Dua gadis cilik itu meneruskan perjuangannya untuk keluar dari rumah Maira. Ah, ternyata sore itu lampu rumah-rumah di sekitar rumah Maira memang tidak ada yang menyala, hanya satu sampai dua rumah saja. Alhamdulillah keluar juga, batin Maira senang.

Mereka melihat banyak tetangganya yang memilih untuk keluar dari dalam rumah mereka masing-masing sambil menunggu listrik kembali menyala. Pasang mata mereka tertuju pada rumah-rumah yang sepertinya terdapat cahaya jingga di dalamnya.

“Mama Rum!” sapa Maira pada salah seorang tetangganya sambil melambai-lambaikan tangan.

Mama Rum tersenyum dan menyapa balik Maira.

“Mama Rum mati lampu, juga?” tanya Maira.

“Iyaa nih, tapi Mama Rum udah nyalain lilin. Maira punya lilin gak?”

“Punya kayanya deh, tapi gatau disimpen di mana sama teteh. Kayanya di dapur tapi aku gak keliatan, gelap.”

Akhirnya Maira dan Kayla mendapatkan dua lilin pemberian dari Mama Rum. Lilin yang pertama sudah menyala, yang satu lagi masih baru. Mereka berterima kasih pada Mama Rum sebelum masuk kembali ke rumah Maira.

Di dalam rumah, mereka berdua lupa tujuan mereka untuk mencari beberapa lilin yang lain. Maira menyalakan lilin yang masih baru dengan menyulutkan api dari lilin yang pertama. Bukan hanya boneka, bahkan lilin-lilin pun bisa menjadi sebuah permainan menarik di tangan Maira dan Kayla. Maira menggerakan jari telunjuknya pelan-pelan melewati api di ujung lilin, dia merasa ajaib. Kayla pun sama. O, betapa asiknya bermain lilin!

Lilin-lilin yang merelakan dirinya terbakar demi untuk memberikan cahaya untuk Maira dan Kayla tidak bisa bertahan lama, mereka mengecil seiring tik tok jam berlalu. Kemudian lilin yang pertama mati sebelum mereka menemukan lilin-lilin yang lain.

“Yah lilinnya, mati. Gimana dong, Kay?”

“Gak tahu aku nih. Kita kebanyakan main-main,” jawab Kayla.

Mereka berusaha menjaga lilin kecil yang masih menyala, membawanya dengan penuh hati-hati untuk menerangi, dan mencari lilin-lilin yang lain di dapur.

Sesampainya di dapur mereka membuka rak-rak yang ada di sana satu persatu.

“Aha, ini dia lilinnya!” Maira bahagia, lilin-lilin yang lain ditemukan.

“Yeayyyy!!”

Kayla yang bertugas sebagai pemegang lilin yang masih menyala turut ikut bahagia. Saking bahagianya dia mengangkat kedua tangannya. Dia lupa, masih ada lilin yang harus dijaga.

“Aaaaaaa!!!!” Teriak mereka berdua, suaranya memekikkan telinga.

“Maira jangan tinggalin, aku Maira!” pinta Kayla ketakutan. Dia mulai menangis.

“Iya, kamu juga.”

Mereka berdua bergandengan, bahkan berpelukan di siang hari yang gelap. Namun, tak lama kemudian, listrik menyala.

Mereka saling menatap wajah-wajah yang sama-sama menangis. Kemudian saling melapas pelukan.

Mereka tersadar dan mendapat pelajaran dari mati lampu hari ini. Jangan terlalu lama bermain-main dan mengandalkan cahaya orang lain. Nanti kalau cahaya itu pergi, kita gelap.

**

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Bang Ikram. Kisah sederhana pun bisa jadi cerita yg menarik.

23 Jun
Balas

Cakeep

23 Jun
Balas

Great ikram. Waktu kecik2 dulu suka la dgn mati lampu.

19 Jun
Balas

Jangan ada yang samapi pobia gelap... Keren.. Lanjutken pk..

19 Jun
Balas

Keren pak

18 Jun
Balas



search

New Post