Muhammad Fadli Dzul Ikram

Manusia adalah kuas-kuas kecil pada semesta sebagai canvasnya...

Selengkapnya
Navigasi Web
Semesta ada karena semestinya atau ada penciptanya?
#TantanganMenulisGurusiana hari ke-5 membahas tentang apakah tuhan itu ada?

Semesta ada karena semestinya atau ada penciptanya?

Udah hampir satu semester saya jadi mahasiswa di salah satu universitas islam. Setelah saya liat-liat nilai selama enam bulan duduk di bangku kuliah, saya pikir, oh aman. Tapi ada satu nilai yang buat saya ngerasa kaya “Hah seriusan gue dapet nilai pertengahan dari lima abjad pertama?” yaitu mata kuliah; ilmu kalam.

Di kampus, saya termasuk salah satu mahasiswa yang udah pernah belajar ilmu kalam karena waktu saya duduk di bangku aliyah jurusan saya bukan IPA, bukan IPS, tapi agama. saya juga lumayan aktif buat bertanya, menjawab, bahkan menambahkan penjelasan dari pemateri yang kurang jelas.

Tapi waktu itu ada suatu kejadian dimana saya menjadi seorang penanya, saya masih inget betul kejadian waktu itu,

“Apa bukti Tuhan ada?”

Oh, tentu saya bertanya demikian bukan karena saya ngga percaya kalau Tuhan itu ada. Sumpah, saya percaya Tuhan itu ada seriusan ngga boong. Tapi... gimana kalo nanti saya ketemu orang yang bertanya kaya gitu? saya harus jawab apa? saya harus jawab dalil? Iya aja kalo misalnya dia satu agama sama saya, loh kalau dia ngga punya agama?!

Oke kembali ke kelas saya. Jadi matkul ilmu kalam ini saya belajarnya di ruangan theatre gitu karena di matkul ini semua kelas di jurusan angkatan saya digabung jadi satu; tiga kelas jadi satu.

Bermacam-macam jawaban pun bermunculan, yang pertama jawaban dari temen saya, namanya Ayatullah. Katanya,

“Bukti adanya Tuhan itu adanya alam semesta,” kata bung Ayat

“Ngga bisa gitu dong, itu kan menurut lu, banyak teori tentang terjadinya alam semseta ini salah satunya ledakan besar atau yang terkenal dengan teori Big Bang,” kata saya menyanggah pernyataan dari bung Ayat ini

Sontak suasana kelas mulai panas, beberapa mahasiswa yang biasanya cuek dan main smartphone genggam,saya lihat mulai ikut memperhatikan debat kami berdua,

“Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mejelaskan bahwa Allah lah yang menciptakan langit dan bumi ini, perlu gue bacain?” Sambung saudara Ayat untuk mempertegas penjelasannya disambut dengan tepuk tangan para audience

“Loh gabisa gitu dong! Bismillahirrahmannirrahim! gue nanya kaya gini tentunya dengan memposisikan diri gue sebagai seorang atheis, coba lo pikir orang atheis bakalan percaya ga kalo lu kasih dalil?!” jawab saya membuat suasana kelas makin panas, bahkan komplotan mahasiswa tidur juga mulai bangun untuk mengikuti debat kami berdua ini.

“Ya tapikan..!!”

“Intrupsi, saya ingin sedikit membantu saudara ayat menjawab pertanyaan Ikram.” Namanya Fahri, dia meminta izin pada dosen untuk join memberikan pendapat

“Ya, silahkan.” Kata bapak dosen dengan santai

“Saudara ikram, coba anda tampar diri anda sendiri,” perintahnya kepada saya

Maka dengan cepat saya tampar muka saya di hadapan seluruh mahasiswa jurusan saya di angkatan 2019, dosen, juga asisten dosennya.

“Nih udah terus kenapa!?!” jawab saya dengan nada menantang,

“Ya itulah Tuhan, ngga bisa dilihat tapi bisa dirasakan.” Lanjut Fahri dengan nada sok keren yang membuat para audience bertepuk tangan dan suasana kelas menjadi sangat ramai

Tapi tidak mau kalah dan berhenti sampai di situ, saya pun berdiri menegaskan penjelasan,

“Ya gue ngerasa sakit gara-gara ada saraf yang mengantarkan rasa sakit abis dipukul ke otak, gimana sih lo?! mikir!” jawab saya sambil berdiri yang mebuat suasana kelas seakan-akan sudah meledak sampai puncaknya.

Akhirnya bapak dosen pun angkat suara untuk menenangkan ketegangan yang terjadi di ruangan theatre di lantai 6 tersebut. Intinya jawaban beliau adalah

“Allah sudah ada sebelum ada sendiri itu ada,” kata beliau

Jujur tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap beliau sebenernya saya setuju, tapi seperti belum klop dengan jawaban kaya gitu. Karena saya udah ngebuat suasana kelas menjadi panas jadi saya memilih untuk puas dengan jawaban beliau waktu itu.

Dan hari ini, setelah saya renungi mungkin karena peristiwa itu yang menyebabkan nilai saya demikian. Tapi gapapa, semesta lebih tau yang semestinya. Tidak ingin berhenti sampai di sini saya pun mencari jawaban dimana-mana, di buku maupun di internet.

Dan saya menemukan sebuah kisah yang menurut saya, “thats the point!” yaitu kisah imam Abu Hanifah dengan seorang Atheis kawakan.

Begini kisahnya,

Di abad ke-8 M. Ada seorang atheis tulen yang sangat mahir menggunakan akal pikirannya untuk berpendapat bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, sampai-sampai banyak ulama pada zaman itu kalah berdebat dengan atheis tersebut.

Umat pun dilanda kebingungan yang mendalam, tapi masih ada satu ulama yang belum angkat suara mengenai hal ini, yaitu imam Abu Hanifah, namun imam Abu Hanifah rumahnya bukan di kota tempat atheis itu menggebu-gebu menyebarkan pernyataannya. Rumah imam Abu Hanifah lumayan jauh dari kota itu dan harus melewati sebuah sungai.

Kemudian seorang atheis tersebut menantang imam Abu Hanifah untuk berdebat. Berita tersebut sampai ke telinga imam Abu Hanifah, beliau pun menerima tantangan dari atheis tersebut dengan syarat, semua penduduk di kota itu termasuk pemimpin, perdana mentri, semuanya harus menyaksikan debat mereka berdua. Dan syarat itu pun dipenuhi oleh atheis tersebut.

Singkat cerita waktu debat pun telah ditentukan yaitu di waktu dhuha. Setelah mengumpulkan seluruh penduduk kota untuk menyaksikan debat mereka berdua, Abu Hanifah belum juga datang. Akhirnya atheis tersebut merasa sudah menang dan tidak mau kehilangan kesempatan atheis tersebut memberikan ceramah kepada seluruh penduduk kota bahwa Tuhan itu tidak ada dan seluruh alam semesta ini terjadi dengan sendirinya. Ceramah itu pun membuat banyak penduduk kota kehilangan pegangan.

“Wahai penduduk kota, imam Abu Hanifah tidak hadir karena dia tahu dia pasti akan kalah, dan dia menyadari bahwa argumennya lemah dan tidak akan bisa melawan argumenku.”

Namun tanpa disadari ternyata imam Abu Hanifah telah hadir sejak waktu yang ditentukan, namun ia berada di kerumunan orang banyak untuk melihat apa yang atheis itu lakukan. Setelah atheis itu merasa sudah menang dan ingin turun dari panggung baru lah imam Abu Hanifah muncul di hadapan atheis tersebut dan menahannya untuk tidak meninggalkan panggung.

“Tunggu janganlah engkau pergi dulu.” kata imam Abu hanifah kemudian disusul dengan permintaan maaf. Namun orang atheis itu berkata

“Tidak bisa, aku tidak bisa memaafkanmu jika kamu tidak memiliki alasan yang tepat kenapa kamu terlambat,” kata atheis tersebut dengan nada merendahkan imam Abu Hanifah

Kemudian imam Abu Hanifah mulai bercerita

“Wahai semua penduduk kota, aku tidak tinggal di kota ini, rumahku berada di sebrang sana. Ketika aku berjalan menuju kota ini aku harus menyebrangi sungai yang di sana tidak ada perahu atau jembatan untuk menyebrangi sungai tersebut dan aku pun tidak bisa berenang. Aku pun terdiam di tepi sungai itu sambil duduk di bawah sebuah pohon dan memikirkan bagaimana caranya aku bisa menyebrangi sungai itu.”

Seluruh penduduk kota pun mulai memerhatikan dengan saksama cerita dari imam Abu Hanifah, kemudian beliau melanjutkan ceritanya..

“Aku pun menoleh ke kanan juga ke kiri sambil berharap semoga Allah memudahkanku datang kemari. Dan subhanallah tiba-tiba ada angin berhembus kencang lalu ada petir besar menyambar. Jika ia menyambar sebuah bangunan maka pasti bangunan itu akan roboh. Tapi secara kebetulan petir itu menyambar sebuah pohon yang kemudian pohon itu robohnya ke sungai. Lalu secara kebetulan pula ada potongan besi dan ada bahan yang masuk ke sana membentuk kapal, dan secara kebetulan pula kapal itu menghantam potongan besi tersebut dan jadilah sebuah perahu. Tidak berhenti di situ ada dua ranting yang jatuh ke sungai kemudian menempel di sisi kanan dan kiri perahu itu.”

Atheis dan seluruh penduduk kota itu makin penasaran dan keheranan dengan penjelasan dari imam Abu Hanifah

“Setelah itu mendekat kepadaku lalu aku pun menaiki perahu itu. Kemudian perahu itu mendayung dengan cepat secara sendirinya sehingga aku bisa sampai ke sini, nah begitulah ceritanya. Sekarang, mari kita lanjutkan diskusi tentang alam semesta ini tercipta secara kebetulan atau tidak,” kata imam Abu Hanifah menyelesaikan ceritanya.

“Tunggu sebentar, kau ini waras atau tidak?” atheis itu meledek imam Abu Hanifah, kemudian dilanjutkan dengan berbicara kepada seluruh penduduk kota sambil tertawa

“Hai masyarakat, lihatlah imam abu hanifah sudah gila. Bagaimana bisa sebuah perahu bisa tercipta dari petir yang menyambar secara kebetulan lalu terpotong secara kebetulan dari pohon dan ranting jatuh dan menempel di sisi kanan dan kiri perahu. Tidak mungkin. Untuk membuat perahu dibutuhkan orang yang mengerjakannya, memotong kayunya, memasang talinya, membuat sampan dan seterusnya. Hai masyarakat apakah kalian percaya kepada cerita imam Abu Hanifah ini?”

Kemudian atheis itu berkata lagi,

“Sesungguhnya imam Abu Hanifah ini sudah gila,” kata atheis tersebut, kemudian imam Abu Hanifah berkata

“Subhanalllah, tunggu sebentar, sebenarnya yang gila ini aku atau dirimu? Jika kau mengatakan aku ini sudah gila karena aku mengatakan ada perahu terbentuk sendiri. Maka kau lebih gila lagi! Sebab kau mengatakan langit, bumi, gunung, laut, hewan, manusia, matahari, bulan dan bintang semuanya ada secara kebetulan. Tapi mengapa kau tidak percaya bahwa ada satu perahu yang tercipta secara kebetulan? Maka kau lebih gila dari pada aku. Sebab itu kita ini sama-sama gila, jadi kita ini jangan berdebat.”

Setelah berkata seperti itu imam Abu Hanifah pergi untuk kembali pulang. Setelah menyaksikan itu seluruh masyarakat kota tercengang pikirannya seperti merasa terbuka. Kemudian salah satu penduduk itu berkata

“Ternyata benar imam Abu Hanifah, perahu yang kecil saja tidak mungkin bisa terbentuk sendiri lalu bagaimana bisa langit, bumi, bulan, bintang dan alam semesta ini bisa tercipta sendiri secara kebetulan tanpa ada penciptakan. Ternyata kita telah dibodohi oleh atheis ini.”

Setelah itu semua penduduk di kota itu kembali kepada keyakinannya terhadap islam dan meninggalkan atheis itu sendirian dan mereka menganggapnya gila.

Dan begitulah cerita imam Abu Hanifah dan seorang atheis

Semoga penulis, pembaca, dan kita semua bisa mengambil pelajaran dari cerita ini

Sesungguhnya kebenaran itu datangnya dari Allah, dan kekurangan itu datangnya dari saya sendiri.

Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh! Salam!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

mantul

06 Jun
Balas

Terima kasih

06 Jun

mantap pak. barakallah

06 Jun
Balas

Terima kasih buuu

06 Jun

mahasiswa kritis!

07 Jun
Balas



search

New Post