Muhammad Fauzhan 'Azima

Guru terbang tanpa sayap. Saat ini mengabdi di MAN 3 Kota Payakumbuh, SMP Qur'an Al-Zamriyah Kabupaten 50 Kota, dan UIN Imam Bonjol Padang. Pecinta puisi dan fo...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan Sejati

Hamka, dalam tahanan rezim Orla, menghasilkan Tafsir Al-Azhar. Tafsir Al-Qur’an bercorak adabiy ijtima’i (sosial kemasyarakatan) yang dirangkai dengan kalimat-kalimat sastra khas Hamka serta dilengkapi referensi sejarah yang valid. Mohammad Natsir, juga dalam tahanan rezim Orla, menulis Di Bawah Naungan Risalah. Sebuah buku kecil, namun padat makna, sarat dengan pengajaran-pengajaran mendalam yang penting diperhatikan oleh generasi setiap zaman. Demikianlah Hamka dan Natsir. Dua sahabat sebiduk sehaluan ini sama-sama pernah dipenjara oleh pemerintahan Soekarno. Walaupun fisik beliau-beliau terpenjara, namun semangat dakwahnya tidak bisa dipenjara. Kebenaran tetap disuarakannya dari balik tembok tahanan.

Hal serupa pernah pula diperbuat oleh Sayyid Quthb. Ulama besar asal Mesir ini juga melahirkan tafsir fenomenalnya di penjara, dalam tahanan pemerintah otoriter Mesir ketika itu. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an namanya. Artinya, “Di bawah Naungan Al-Qur’an.” Sebuah tafsir bercorak haraki yang mampu menembus dada setiap pembacanya, lalu menyuntikkan sari-sari kebenaran, sari kebenaran yang diambilnya dari Al-Qur’an. Tafsir yang mampu membangunkan orang-orang yang tengah “berselimut,” untuk kemudian bangkit berbuat ishlah; mengadakan perbaikan-perbaikan di tengah umat.

Dari tanah Turki, juga kita dapatkan cerita yang serupa. Termasyhurlah seorang sufi besar; Badiuzzaman Said Nursi. Nama yang indah sekali. Badiuzzaman artinya “keajaiban zaman.” Dalam waktu yang lama, lebih kurang dua puluh lima tahun, ia menjadi tahanan rezim sekuler Turki. Rezim yang menumbangkan Kesultanan Utsmani, atau Ottoman dalam sebutan lidah orang-orang Barat.

Apakah sejak ditahan, Sang Ulama Said Nursi pensiun berdakwah? Berhenti menerangkan pada umat perihal mana yang hak dan mana yang batil, mana jalan terang untuk ditempuh dan mana jalan kelam untuk dijauhi? Jawabnya tidak. Walau fisiknya ditahan, ruang geraknya dibatasi, namun penanya tidak patah, tintanya tidak kering, tangannya tetap lihai menari di atas kertas, menuliskan cahaya-cahaya agama, petunjuk-petunjuk llahi. Beliau tetap terus mengobarkan api tauhid dalam dada setiap muslim. Dengan pertolongan Allah, tulisan-tulisan Said Nursi di atas kertas seadanya tersebut sampai ke tangan-tangan muridnya, lalu tersebar ke rumah-rumah orang-orang yang tetap kukuh memegang teguh agama tauhid. Surat-surat dakwah Badiuzzaman Said Nursi itu kemudian dihimpun menjadi sebuah kitab akbar bernama Risalah Nur; Surat Cahaya. Kisah Badiuzzaman Said Nursi ini diabadikan secara lebih detail oleh Habiburahman El-Shirazi, novelis nomor wahid Indonesia, dalam novelnya yang berjuluk Api Tauhid; Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid.

Baik Hamka, Natsir, Sayyid Quthb, maupun Said Nursi, fisiknya memang sama-sama terpenjara. Jasmaninya dibelenggu. Ruang geraknya dibatasi. Kemerdekaannya dirampas. Namun hanya kemerdekaan tubuh kasarnya yang dirampas. Jiwanya tetap merdeka. Rohaninya senantiasa mi’raj ke hadirat Ilahi, setiap kali ia shalat (shalat fardhu maupun shalat malam) dan setiap kali ia tilawah dan tadabbur Al-Qur’an. Akal jernihnya senantiasa merdeka dari bisikan busuk hawa nafsu, sebagai faedah dari puasa yang dilakoninya. Suara hatinya, tetap bebas melanglang buana, menyuarakan kebenaran. Tidak hanya menembus tembok tahanan, tetapi juga melampaui batas-batas negara, bahkan mampu melewati garis-garis benua.

Benarlah fatwa KH. Zainuddin MZ, Da’i sejuta umat, legenda kebanggaan bangsa Indonesia: “'Jiwa yang merdeka tidak bisa dibatasi dengan ruangan dua kali tiga. Jiwa yang merdeka tidak bisa dibatasi dengan terali besi. Jiwa yang merdeka tidak bisa dihalangi dengan dinding tembok yang tebal. Jiwa yang merdeka mengembara melanglang buana mencari idealisme yang ada dalam dirinya.”

Merdekanya jiwa, merdekanya akal murni yang disinari petunjuk llahi, merdekanya suara hati yang dibimbing ajaran Qur’ani, itulah kemerdekaan yang sejati. Kemerdekaan yang akan membawa manusia pada derajat fii ahsani taqwim; sebaik-baik penciptaan. Dambakanlah kemerdekaan yang demikian. Janganlah tercita-citakan kemerdekaan yang semu, yakni kemerdekaan nafsu hewani. Karena kemerdekaan yang seperti itu akan menjatuhkan manusia ke jurang asfala saafilin; tempat yang serendah-rendahnya.

Mereka yang memperturutkan semua kemauan hawa nafsunya, atau menjadi “bucin” (budak cinta semu) dalam bahasa generasi milenial, boleh jadi fisiknya memang merdeka bergerak di alam kebebasan. Namun mulutnya buat mengatakan kebenaran dan mengungkapkan kejujuran suara hatinya sendiri telah disumbat. Disumbat dengan pangkat, jabatan, kedudukan, ataupun dengan uang yang menyentuh angka fantastis. Akhirnya kebenaran dibiarkannya terintimidasi. Kebatilan plus kezaliman disilahkannya bersilantas angan. Kalau perlu, ia turut bersorak meneriakkan yel-yel mendukung kebatilan dan kezaliman. Kebatilan dan kezaliman itu dihiasnya sedemikian rupa dengan bumbu-bumbu palsu yang diraciknya sendiri.

Kalau Tuan tidak awas, Tuan bisa tertipu!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap Fauzan, lanjut

24 Apr
Balas

Terima kasih Ustadzii..

24 Apr
Balas



search

New Post