Ibu menyuruhku untuk membakar topeng itu. Tapi rasanya sulit untuk dipahami, ketika menyukai barang yang kita suka dan sedang klimaksnya, kita disuruh membuang dan melupakannya. Aku berlari ke kamar dan mengunci pintu. Memeluk topeng itu berharap tidak hilang dan selalu bersamaku. Topeng itu amat sakral bagiku. Selain menggambarkan diriku yang lain, menurut harapanku. Topeng itu juga simbol dari diriku. Aku berdiri, mencoba mendengar suara langkah ibuku. Langkahnya makin jauh saja dari kamarku. Tapi aku merasa lega, dia sudah tak mengincar topeng ini.

Aku berdiri ke cermin, memakai topeng itu dan meloncat kembali sambil memegang golok. Entah kenapa rasanya enak saja kalau memakai topeng itu. Tambah ganteng saja rasanya. Aku sabetkan golok ke udara. Hoyaaa, cerrrr, cerminku pecah terkena sabetan tanganku. Tetapi aneh, kok tidak apa-apa, berdarah saja tidak. Aku segera membereskan pecahan kaca itu. Tak sengaja tanpa sadar aku menginjak pecahan kaca dengan kakiku. Rasanya tak ada yang luka, bahkan serpihan kaca itu tak terasa dan tak ada darah menetes. Daripada aku dimarahi ibu, aku segera membuang serpihan kaca itu dan membereskannya.

Esok siang, setelah aku pulang kerja, aku melihat asap api mengepul tinggi dari samping rumah. Penasaran, pasti ibu sedang bakar-bakar. Aku ingin membantunya. "Bu, sedang apa?" tanyaku heran. "Bakar topeng kamu yang di lemari," ucap Ibuku. Aku merasa sedih mendengar topeng itu dibakar. "Aku merasa ada yang tak beres dengan topeng ini, makanya aku bakar saja," ucap Ibuku. Topeng itu sudah habis jadi abu kini.

2022