MENULIS WALAU DUNIA TAK MENDENGAR
"MENULISLAH WALAU DUNIA TAK MENDENGAR"
Di suatu senyap waktu, di antara lembaran malam yang berdesir lirih, aku mendengar bisik aksara memanggil namaku. Bukan seperti panggilan biasa, melainkan getar lembut yang menyelinap ke dalam rongga hati. Ia tak menuntut jawaban, hanya menunggu ketulusan untuk menjawab. Sejak itu, aku merangkul sunyi sebagai ruang perenungan, dan menjadikannya jalan pulang menuju diri sendiri—melalui tulisan.
Menulis bukan sekadar menyusun huruf menjadi kata, atau kata menjadi paragraf yang indah. Menulis adalah ziarah jiwa—perjalanan batin menuju sunyi yang menggugah, tempat di mana luka-luka bisa dijahit dengan tinta, dan kenangan dijaga seperti nyala lilin dalam ruang gelap. Dalam menulis, aku belajar memahami bahwa konsistensi bukan perkara rajin, tetapi perkara cinta. Seperti hujan yang tak pernah absen menyapa bumi, begitu pula aku ingin hadir dalam dunia aksara—meski tak selalu deras, namun setia.
Buku Sang Pemuja Aksara lahir bukan dari ruang yang nyaman, melainkan dari pergulatan rasa, dari sepi yang tak ingin menjadi sia-sia. Ia adalah saksi bahwa ketekunan adalah bara kecil yang mampu membakar belantara keraguan. Dalam tiap kalimatnya, ada napas yang menyimpan rindu, ada denyut yang bergetar karena keyakinan bahwa tulisan—sekecil apa pun—tak akan pernah sia-sia jika ia lahir dari ketulusan jiwa.
Apresiasi dari penyair Khalid Al Rasyid, penggagas puisi semaris, adalah hembusan angin segar bagi perjalananku. Beliau, yang menggurat kata sehalus doa, menyampaikan kata pengantar dengan sentuhan yang menjadikan buku ini lebih dari sekadar kumpulan tulisan. Ia menjadi isyarat, bahwa jalan sunyi ini telah menemukan saksi. Bahwa dalam diam, ada yang membaca. Bahwa dalam tulis, ada yang mendengar.
Menulis secara konsisten, bagiku, adalah bentuk pengabdian. Pengabdian pada gagasan, pada semesta yang tak henti memberi inspirasi, dan pada diri sendiri yang terus berjuang melampaui malas, takut, dan letih. Sebab menulis adalah ikhtiar memanusiakan diri: memahat nurani, menyuarakan yang bisu, menyentuh yang jauh. Dan dari situ, lahirlah makna yang tidak hanya merupa kata, tapi juga menyulam kehidupan. Wahai jiwa-jiwa yang masih ragu, jangan tunggu sempurna untuk mulai. Menulislah, meski dengan satu kalimat yang jujur. Menulislah, meski dengan hati yang patah. Sebab dari patah, kita bisa membuat cahaya—asal kita setia.
__________________
"Bukan pena yang memilih kita, melainkan jiwa yang tak kuasa menahan rindu pada kata."
Sultan Chemistry
Bulukumba, 12 Juni 2025
Fic_ Penulis dengan buku "Sang Pemuja Aksara"
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap surantap Abangku. Sukses selalu
Wah tambah keren ya tulisannya.
Alhamdulillah sudah upload