Muhammad Sultan, S.Pd

Muhammad Sultan lahir di Kajang kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan pada tanggal 1 Agustus ...

Selengkapnya
Navigasi Web
SUBLIMASI RASA

SUBLIMASI RASA

Segenggam Asa dalam Gugus Rindu:

 

Bab 13: Sublimasi Rasa

 

Oleh : Sultan Chemistry 

 

Minggu-minggu setelah pertemuan itu berlalu dengan cepat. Nadhira menghabiskan waktunya di laboratorium, meneliti senyawa-senyawa baru untuk tesisnya, dan kembali fokus pada mimpinya yang selama ini terpendam. Namun, di dalam hatinya, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh apapun. Ruang itu, seperti senyawa gas yang menguap perlahan, tak lagi bisa disentuh, tapi tetap ada—tergantung di atmosfer perasaannya.

 

Ia mulai menjalani hidup dengan cara yang baru. Lebih banyak waktu untuk dirinya sendiri, lebih banyak waktu untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Ia menghabiskan waktu lebih banyak dengan teman-temannya, pergi ke seminar, dan sesekali menikmati malam dengan secangkir kopi sambil merenung.

 

Namun, ada satu hal yang selalu mengusik pikirannya: Kak Riyan. Mereka tidak pernah lagi berbicara sejak pertemuan itu. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan—hanya hening yang meresap di antara mereka, seperti proses sublimasi yang memindahkan senyawa dari padat ke gas tanpa melalui tahap cair. Cinta mereka seakan menguap tanpa meninggalkan jejak.

 

Suatu malam, ketika Nadhira sedang duduk di teras rumah sambil menatap langit yang dipenuhi bintang, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat masuk dari Kak Riyan:

 

"Nad, apakah kamu punya waktu untuk berbicara? Aku ingin mendengar kabarmu."

 

Nadhira memandang pesan itu, jantungnya berdegup lebih cepat. Ada kegelisahan yang menyelimuti dirinya. Ia tahu, pertemuan ini mungkin akan menjadi momen yang menentukan—apakah mereka akan terus berpisah, atau ada kemungkinan untuk kembali lagi.

 

Akhirnya, Nadhira memutuskan untuk membalas.

 

"Aku akan ada di kafe yang biasa kita kunjungi malam ini, Kak."

 

---

 

Di kafe itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Mereka duduk berhadapan di meja yang sama, di bawah cahaya lembut dari lampu gantung. Riyan menatap Nadhira dengan mata yang lebih dalam, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang belum terucapkan.

 

"Apa kabarmu, Nad?" tanya Riyan, suara itu terdengar lebih lembut dari sebelumnya.

 

"Baik, Kak. Aku... sudah mulai terbiasa dengan semuanya," jawab Nadhira, meskipun ia tahu ada bagian dalam dirinya yang masih terasa hilang.

 

Riyan mengangguk pelan. "Aku tahu ini bukan hal yang mudah. Tapi aku merasa kita harus berbicara tentang semuanya, Nad. Tentang kita."

 

Nadhira menatapnya, sedikit bingung. "Apa maksud Kak Riyan?"

 

"Aku... aku ingin kita berbicara tentang bagaimana kita bisa menemukan jalan kita masing-masing tanpa harus saling mengikat satu sama lain," kata Riyan dengan tegas. "Aku merasa bahwa kita berdua memiliki potensi besar. Cinta kita mungkin tidak harus berakhir dengan bersama. Mungkin kita harus menemukan cara untuk membuat hati kita sendiri menjadi stabil terlebih dahulu."

 

Nadhira terdiam. Kata-kata itu terasa seperti reaksi kimia yang lambat, yang membutuhkan waktu untuk mengendap dalam dirinya. "Tapi Kak, jika kita saling mencintai, apakah kita tidak seharusnya bersama?"

 

Riyan tersenyum, sebuah senyuman yang penuh pengertian. "Cinta bukan tentang bersama terus-menerus, Nad. Cinta itu adalah tentang memberi ruang. Kita bisa saling mencintai, tapi kita juga harus saling memberi kebebasan untuk tumbuh."

 

Ada keheningan sejenak di antara mereka. Riyan menghela napas, lalu melanjutkan, "Aku ingin kamu tahu, Nad. Aku tidak ingin menghalangimu untuk mengejar impianmu. Aku ingin kamu bahagia, dan aku ingin kita berdua tetap menjadi pribadi yang lebih baik, meski tidak lagi bersama."

 

Nadhira merasakan sesuatu yang berbeda dalam kata-kata Riyan. Ada kedalaman yang ia rasakan, seolah-olah mereka sedang melalui reaksi kimia yang membutuhkan perubahan besar—perubahan yang mungkin lebih sulit daripada apa pun yang pernah mereka alami sebelumnya.

 

"Aku mengerti, Kak," jawab Nadhira dengan suara pelan, namun penuh kepastian. "Aku tahu ini yang terbaik untuk kita. Mungkin memang kita perlu menemukan cara untuk tumbuh dengan cara yang berbeda."

 

Riyan menatapnya, lalu mengulurkan tangan. "Aku akan selalu mendukungmu, Nad. Dalam apa pun yang kamu pilih."

 

Nadhira menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasakan kedamaian. Mungkin ini adalah akhir dari bab yang mereka tulis bersama, namun juga awal dari perjalanan baru yang mereka akan jalani. Sebuah perjalanan yang lebih baik, lebih mandiri, dan lebih berdaya.

 

_____

 

Apakah kisah cinta Dr Riyan dan kandidat doktoral Nadhira akan berakhir sampai di sini?

Seperti reaksi kimia yang tuntas dalam satu tahap reaksi?

 

Ikuti terus kisah berikutnya yang makin menarik!

 

Butta Panrita Lopi, 11 Mei 2025

 

#Tantangan

#Cerbung

#DiksiKimia

#Sorotan

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang menarik

24 May
Balas

Alhamdulillah sudah update status hari ini

24 May
Balas



search

New Post