Muh. Syukur Salman

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku Ingin Jadi Pacarmu

Aku Ingin Jadi Pacarmu

Jilbab yang tersingsing karena ditiup angin laut itu menambah kecantikan wajahnya. Langkah kakinya terus menelusuri tanggul yang membatasi pantai Parepare dengan Jalan Mattirotasi. Ku parkir motor Honda Astreaku di dekatnya. Senyum merekah setelah melihat kehadiranku di hadapannya, seolah-olah kami telah saling kenal. Dia terus berjalan meninggalkanku, tanpa sepatah kata pun terlontar dari mulut mungilnya yang indah.

“Ehmm....., adik!” aku menegurnya sambil berlari mendekatinya. Dia menoleh sebentar sebelum kembali berjalan tak perduli kepadaku. Tanggul di Jalan Mattirotasi memang cukup panjang untuk dijalani, apalagi langkah kaki perempuan itu sangat pendek dan lambat. “Kok, jalan aja?” tanyaku tetap di belakangnya. Dia tidak membalik. Aku perhatikan jalan gadis itu semakin lambat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Apakah karena dia kedinginan ditiup angin laut yang saat itu senja mulai keperaduannya.

Tiba-tiba......”Eh! Kenapa?” kuberhasil menadah tubuhnya yang lunglai. Wajahnya pucat pasi, sementara matanya memejam. Secara hati-hati aku turun dari tanggul dengan tetap merangkul tubuhnya yang lemas. Beberapa penduduk sekitar telah mengerumuniku.

“To..Tolong yang perempuan, bantu aku.”

“Bawa di rumahku saja yang dekat.” Bapakitu berlari membuka pintu rumahnya, sementara gadis itu diangkat ke dalam rumah oleh empat orang. Dia diletakkan pada sebuah rosban sementara bapak itu mengambil bawang merah dan mendekatkannya pada hidung gadis tadi. Jilbab yang masih terpasang di kepalanya terpaksa dilepas agar dia tidak kepanasan. Rambut panjang yang terurai dari balik jilbab menambah kecantikannya.

“Siapa dia, Dik?” tanya bapak itu kepadaku.

“Aku tak tahu, Pak.”

“Maksudmu?”

Aku pun menceritakan dari awal sampai gadis itu pingsan.

Tidak seberapa lama, kulihat tangan gadis itu mulai bergerak dan matanya pun mulai terbuka. Mata itu bergerak-gerak mengamati sekelilingnya. “Aku...aku....”

“Kau berada di rumahku, Nak. Tadi kau pingsan, jadi kami membawamu kemari.” Bapak itu menjelaskan.

Dia secara refleks bangun dari tidurnya dan menarik jilbab yang ada di sampingnya. Jilbab itu yang ternyata membuatnya sedikit galau. Dengan cekatan dia pakai kembali jilbab putih itu di kepalanya. “Kacamataku?”

“Ini, aku pegang.” Kusodorkan kacamata itu kepadanya.

“Kau...kau telah menyentuh tubuhku?” katanya gusar.

“A..a..aku terpaksa.” Jawabku segera.

“Ia, kalau tidak ada dia... mungkin kau kecebur ke laut tadi.” Bapak itu menambah.

Gadis itu berdiri. “ Aku sudah sehat, terima kasih semua. Sekarang aku mau pulang, Pak. Assalamu’alaikum.” Tanpa basa basi lagi dia pun melangkahkan kakinya keluar rumah. Aku dan bapak itu saling berpandangan. Kami agak heran melihat tingkah gadis tadi.

“Kalau begitu... aku pamit juga, Pak.” Aku salami bapak itu dan meninggalkannya.

Memang agak jauh ku parkir motorku dari rumah bapak itu, tapi belum sempat menghalangi pandanganku pada seseorang yang berdiri di samping motorku. “Mungkinkah dia? Ada apa lagi ini? Bikin khawatir saja.” Pikirku. Langkahku kupercepat.

“Motor anda, bukan?”

“Ya, itu motorku.” Jawabku segera. Aku tidak memperhatikan lagi kecantikannya, yang ada dalam pikiranku ada rasa was-was kalau-kalau......

“Bisa menolongku sekali lagi?” tanyanya sambil memegang stir motorku.

“Maksud anda?” panggilan adik tidak kulontarkan lagi, keinginanku untuk mengenalnya telah sirna akibat kejadian tadi.

“Antarkan aku pulang, yah. Dekat saja, di Agussalim.”

Dengan pikiran ingin menuntaskan kejadian ini cepat, aku sanggupi permintaannya. Aku memboncengnya. Hati-hati sekali aku membawa motor, takut kalau-kalau dia pingsan lagi.

“Namaku, Ratna.” Tiba-tiba dia membelah suara deru motorku dengan memperkenalkan namanya.

“A.. aku ... Idris.” Jawabku dengan sedikit rikuh.

“Aku berterima kasih, kau menolongku tadi. Aku ingin.....Eh, rumahku yang bercat merah itu, yah.”

Aku mengangguk, tapi pikiranku terus pada kata-kata Ratna yang terputus tadi. “Tadi... kau..... ingin apa?” tanyaku memberanikan diri sewaktu tepat berada di depan rumahnya.

“Apa? Aku tidak bilang apa-apa. Tapi..... tunggu yah, aku masuk dulu.” Ratna berlari masuk ke rumahnya, sementara aku menanti dengan risau gerangan apa yang dia ambil. Kulihat Ratna kembali berlari menuju dan memasukkan sesuatu ke dalam kantong bajuku. “Eh... nanti dilihat , yah!” katanya sewaktu aku ingin mengambil sesuatu itu.

Ku tambah gas motor agar cepat sampai di rumah. Langsung saja kurogoh kantung bajuku setelah masuk kamar. Ku buka lembaran kecil kertas putih itu, dan ku baca, “Aku ingin jadi pacarmu.” Melayang khayalan ini membayangkan Ratna dengan wajah cantiknya yang terlindungi jilbab putihnya. Aku bahagia.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantapsss..lanjutkan..keren pak ceritanya

09 Sep
Balas

Wuih keren... kenapa gambarnya di ganti Pak?

08 Sep
Balas

Ha ha ha

09 Sep



search

New Post