Mujiatun, S.Pd.

Saya seorang guru Bahasa Indonesia di SMPN 2 Banjit, Waykanan, Lampung. Saya lahir di Banyuwangi pada tanggal 10 November 1972. Mulai menempuh pendidikan di tin...

Selengkapnya
Navigasi Web

HIKMAH DI BALIK WABAH CORONA

Hikmah di Balik Wabah Corona

Karya: Mujiatun, S.Pd.

Sore ini cerah, langit terang tanpa diwarnai hujan sejak pagi. Semburat warna jingga melukis langit semesta. Angin semilir pun menyapa pucuk dedaunan bunga di belakang rumahku, menambah syahdu suasana. Aku paling suka menikmati senja di pondok baca belakang rumah sembari membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an untuk menanti saatnya berbuka puasa. Tak terasa sekarang sudah masuk puasa Ramadan hari kelima. Suasana bulan suci kali ini sungguh berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Kini, tak ada ibadah yang dilaksanakan di masjid, semua harus dilakukan di rumah masing-masing. Imbauan pemerintah untuk tetap di rumah saja bertujuan memutus mata rantai penularan wabah covid-19.

Bukan hanya ibadah yang harus dilakukan di rumah, tetapi kegiatan pembelajaran pun demikian. Sebagai seorang guru, aku merasa prihatin dengan kondisi ini karena tak dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Namun, apa mau dikata, Allah sedang memberikan ujian kepadaku dan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dengan membaca bismillah kujalani semuanya dengan tenang dan ikhlas, yakin pasti ada hikmah di balik semua ini.

***

Sore ini aku kembali duduk termenung di pondok baca belakang rumah. Hati ini resah memikirkan imbauan pemerintah tentang keharusan melaksanakan kegiatan belajar dan mengajar dari rumah. Itu artinya, pembelajaran secara daring akan dilakukan, padahal tak semua guru di sekolah tempatku mengabdi ini paham betul dengan seluk-beluk teknologi informasi. Jangankan membuat bahan ajar dalam bentuk video, melakukan panggilan video saja kadang masih gagap.

Covid-19 telah memaksa semua lapisan masyarakat untuk melek teknologi informasi. Beruntung aku pernah mendapatkan pengetahuan dan keterampilan ini di diklat yang dilaksanakan oleh Kemdikbud dan Pustekkom. Beberapa kali aku mencoba membuat bahan ajar dalam bentuk video yang menyajikan langsung rekaman seolah sedang mengajar seperti biasa. Kadang juga kubuat materi ajar seperti salindia presentasi, ada beberapa gambar dan lagu. Semua ini kulakukan untuk membuat anak-anak didik lebih antusias dalam belajar dan juga mengenalkan teknologi pada mereka.

“Wah, Ibu keren!” celetuk Anis, gadis cilik dengan rambut hitam lurus sebahu.

“Iya, Bu. Materi jadi tidak membosankan dan lebih mudah dipahami,” sahut Budi, si cerdas pemilik tubuh gempal yang selalu duduk di bangku paling depan.

Mendengar ucapan mereka, terbit rasa puas dan bangga. Ternyata tidak sesulit yang kubayangkan. Awalnya, hati ini gamang saat akan mengajak anak-anak itu sesekali belajar dengan menggunakan video. Ada ketakutan jika ternyata materi lebih sulit dipahami, atau penampilanku terlihat membosankan.

Tanpa sadar, senyum ini mengembang mengingat Anis dan teman-temannya. Kehadiran mereka selalu bisa membuat hati ini cerah. Akhirnya, kegalauan tentang kesiapan para guru menghadapi pembelajaran jarak jauh pun hilang seketika.

***

Pagi itu, kepala sekolah mengumumkan bahwa mulai besok seluruh kegiatan belajar dan mengajar resmi dilakukan dari rumah. Tentu saja hal ini menimbulkan ketakutan tersendiri bagi rekan-rekan seprofesi.

“Bu, bisa ajari saya cara membuat video?” tanya Bu Dian. Rekan satu profesi ini termasuk yang kurang melek teknologi, tetapi semangatnya untuk selalu belajar sangat luar biasa.

“Bisa, Bu Dian. Nanti kita akan coba buat video bersama, ya.”

“Terima kasih, Bu.” Tampak kelegaan luar biasa di wajah manis itu.

“Sama-sama, Bu.” Aku tersenyum. Lega juga rasanya bisa membantu.

Mulai besok akan menjadi tonggak sejarah dimulainya pembelajaran jarak jauh di sekolah kami. Kalau dulu aku membuat media belejar berupa video hanya untuk memotivasi para murid, sekarang malah jadi keharusan untuk memenuhi target kurikulum yang sudah dibuat.

Pengumuman resmi dari kepala sekolah tak pelak membuat semua guru mulai belajar tentang aplikasi yang bisa digunakan untuk pembelajaran jarak jauh. Aneka kejadian lucu pun mewarnai proses kami untuk bisa mahir menggunakan sederet aplikasi itu. Bahkan, tak jarang tertawa terpingkal-pingkal saat menyadari ternyata kami begitu tertinggal dengan perkembangan teknologi. Zoom, Google Meet, dan Microsoft Team, semua nama aplikasi itu terdengar asing di telinga hingga membuat beberapa teman mengernyitkan dahi dan bertanya, “Memangnya betul ada aplikasi macam begitu?”

Sontak hal itu menimbulkan gelak tawa, sebelum berkutat lagi belajar cara menggunakan aplikasi-aplikasi berbasis teknologi informasi itu. Semua infomasi bisa disampaikan melalui ruang rapat virtual yang dibuat, bahkan komunikasi dua arah pun bisa diwujudkan. Fasilitas lengkap dalam aplikasi tersebut membuat proses belajar dan mengajar bisa berjalan dengan baik.

***

Kegiatan belajar dan mengajar jarak jauh di minggu pertama dan kedua masa swakarantina, kami jalankan melalui grup WhatsApp karena aplikasi ini yang paling familier. Materi yang kubagikan dalam bentuk video pun bisa diterima dengan baik oleh murid-murid. Hampir tak ada beda dengan pelaksanaan kelas biasa. Anak-anak tetap aktif bertanya ketika ada yangtak dimengerti. Setiap kali kelas akan berakhir, aku selalu menanyakan tentang kendala yang dihadapi.

[Apa kalian bisa memahami materi dengan baik hari ini?] Sebuah emotikon senyum pun kusertakan.

[Bisa, Bu.] Anis seperti biasa selalu menjadi murid yang aktif, disusul dengan pesan yang sama dari teman-temannya.

Namun, ada sebaris pesan dari Ita—murid pendiam dengan prestasi gemilang. [Bu, kalau seandainya saya tidak bisa mengikuti kelas seperti ini setiap hari bagaimana?]

Dahiku mengernyit mencoba mengartikan pesan tertulis yang baru saja dikirimkannya di grup. [Kalau Ibu boleh tahu … kenapa, Ita?]

[Orang tua saya sudah tidak bekerja, Bu. Jadi, untuk beli kuota internet juga terbatas.]

Sebaris pesan yang membuatku terasa seperti tersengat listrik. Sebuah kenyataan yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya, tetapi mungkin sudah banyak terjadi di luar sana. Tanpa sadar, air mata ini menetes membasahi pipi. Membayangkan Ita bisa ketinggalan pelajaran karena kuota internet yang tak selalu ada, membuatku sedih. Gadis pendiam itu memang tak seaktif Anis atau Budi, tetapi prestasinya tak diragukan lagi.

[Bagaimana, Bu?]

Ita mengirimkan pesan lagi. Kemudian, beberapa pesan yang sama mulai bermunculan di layar empat belas inci di depanku. Aku bergeming, seolah tak memiliki jawaban satu pun untuk pertanyaan mereka. Orang tua yang hanya mencari nafkah dari berjualan kue di sekitar sekolah, atau penjaga toko, memang banyak yang kehilangan pekerjaan karena wabah ini. Tentu saja membuat mereka kesulitan secara ekonomi. Jangankan untuk membeli kuota internet, untuk makan sehari-hari saja harus menguras tabungan yang mungkin jumlahnya tak seberapa.

[Bu, saya juga tidak punya ponsel android. Ini pinjam tetangga. Kadang jadi nggak enak kalau terus-terusan pinjam, Bu.] Pesan dari Doni terasa makin menacapkan duri di dalam dada ini.

Jujur, aku tak punya solusi terbaik untuk masalah yang mereka hadapi.

[Bagaimana kalau materi Ibu kirimkan melalui WhatsApp biasa? Dengan begitu, kuota tidak tergerus karena harus selalu ada di dalam kelas. Nanti jika ada kesulitan tentang materi pelajaran, bisa chat Ibu. Mau bagaimana lagi, saat ini kita harus mematuhi imbauan pemerintah. Kalian tetap semangat, ya!] Batinku pilu saat menuliskan jawaban itu. Namun, tak ada yang lebih baik yang bisa kulakukan.

[Terima kasih, Bu. Iya, kami tetap semangat, Bu.] Ita menjawab pesanku.

***

Keluhan dari Ita dan beberapa temannya menghantui setiap malamku. Ingin rasanya memeluk mereka semua. Bagaimanapun, mereka sudah seperti anakku sendiri, tak rela jika ada satu saja yang mengalami kesulitan saat harus menjalani pembelajaran jarak jauh saat ini.

Anak-anak yang masih semangat sampai dengan minggu ketiga menimbulkan kelegaan tersendiri di hati. Memang beberapa ada yang tak bisa hadir selama kelas berlangsung. Mereka hanya muncul saat presensi awal, lalu izin undur diri untuk menghemat kuota. Tantangan berikutnya adalah saat memberikan kuis, mau tak mau kuota harus ada. Di luar dugaan, orang tua para murid memahami kondisi ini sehingga menyediakan kuota untuk anak mereka agar bisa menyelesaikan kuis yang kuberikan di laman Quizizz. Hati ini pun haru bercampur bahagia saat mengetahui nilai rata-rata yang diperoleh mereka adalah delapan puluh. Sebuah prestasi yang luar biasa mengingat semua ini dilakukan secara jarak jauh.

Kuakui, kerjasama yang hebat telah terjalin antara guru, murid, dan orang tua murid. Bahu-membahu menghadapi tamparan wabah ini demi tetap mewujudkan kualitas generasi penerus yang hebat. Anak-anak itu memang hebat dan tangguh, membuat kami para guru pun menjadi termotivasi untuk mengajar lebih baik. Tiga minggu melaksanakan belajar dan mengajar secara daring, ternyata menimbulkan kerinduan tersendiri terhadap mereka. Canda tawa, keseruan, dan keusilan yang biasa mewarnai kelas tak terjadi di era pembelajaran daring ini.

***

Satu bulan telah berlalu masa swakarantina. Materi sudah selesai dibahas dan kelas daring pun telah usai. Namun, anak-anak didikku masih minta diberi tugas untuk menambah nilai karena tak ada ujian apa pun yang harus mereka tempuh sebagai syarat kelulusan kali ini.

“Bu, beri kami tugas tambahan supaya nilai kami lebih bagus lagi,” pinta Anis.

“Kalian ingin tugas tambahan seperti apa?” tanyaku.

“Apa saja, Bu, yang penting bisa menambah nilai kami,” sahut Budi.

Aku memutar otak untuk mencari tugas yang ringan dan menyenangkan, tetapi tetap mempunyai bobot nilai. “Bagaimana kalau tugas membuat pantun? Tapi setiap pantun yang kalian buat harus ada pesan moralnya.”

“Wah, keren. Temanya tentang apa, Bu?”

“Apa saja. Yang penting itu tadi, harus ada pesan moralnya. Setiap anak harus membuat dua pantun. Waktunya dua minggu, ya,” jawabku sambil tersenyum. Setiap wajah mereka selalu menerbitkan kebahagiaan tersendiri di relung hati ini.

Dalam waktu dua minggu, naskah pantun pun telah terhimpun dari lima puluh anak. Semua karya mereka bagus hingga aku merasa sayang bila hanya tersimpan dalam fail laptopku. Sebuah ide terlintas, membuat pantun-pantun ini menjadi sebuah buku. Akhirnya, kukirimkan naskah itu ke salah satu penerbit buku ber-ISBN milik temanku. Setelah direvisi dan dilengkapi dengan kata pengantar, daftar isi, dan sinopsis buku, karya anak-anak didikku pun menjadi sebuah buku berjudul Telaga Kasih. Rasa syukur tak terhingga kupanjatkan kepada Allah Sang Pencipta semesta karena di tengah wabah corona seperti ini, aku dan anak-anak didik masih diberi kesempatan untuk belajar dan berkarya dari rumah.

Alhamdulillah,ya, Allah … di balik musibah ini ternyata banyak hikmah yang Engkau berikan pada kami. Nikmat mana lagi yang bisa kami dustakan, ya, Allah ….

Tak sadar pikiran ini mengembara ke masa melaksanakan kelas daring bersama anak-anak. Kebanggan pun perlahan menyusupi batin ini saat teringat kembali buku karya mereka. Aku mendesah pelan mengingat sambil mengusap air mata yang jatuh begitu saja membasahi pipi.

“Bu … Ibu baik-baik saja? Kok terlihat seperti melamun.” Suara Wira, putra sulungku, menarikku dari lamunan sesaat.

“Eh, maaf. Ibu cuma merenung, kapan pandemi ini akan berakhir,” jawabku sambil tersenyum. “Ibu udah kangen sama anak-anak didik Ibu. Kangen sama canda ria mereka, walaupun kadang mereka juga jahil dan bandel.”

“Iya, Bu. Wira juga rindu dengan anak-anak didik di sekolah. Rindu juga dengan teman-teman guru, dan suasana di sekolah,” ucapnya dengan tatapan yang terlihat menerawang.

“Betul, Nak. Kita sama-sama guru, kerinduan terhadap anak didik memang tak terelakkan, Tapi apa boleh buat, semua ini sudah menjadi kehendak-Nya. Kita berdoa saja, semoga Allah segera mengangkat wabah ini, negeri kita kembali damai.” Aku berusaha meyakinkan.

“Iya, Bu. Aamiin, ya, Allah!” jawab Wira sembari mengusapkan kedua telapak tanggan di wajahnya.

Sayup terdengar azan berkumandang, kami pun segera masuk rumah dan menuju meja makan untuk berbuka puasa bersama dengan keluarga tercinta. Suami dan dua orang putraku yang lain, Raihan dan Rafi, menyambut kami dengan senyum penuh kebahagiaan.

SELESAI

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post