Mujiatun, S.Pd.

Saya seorang guru Bahasa Indonesia di SMPN 2 Banjit, Waykanan, Lampung. Saya lahir di Banyuwangi pada tanggal 10 November 1972. Mulai menempuh pendidikan di tin...

Selengkapnya
Navigasi Web
IMPIAN SUCI
Menjadi Guru Adalah Cita-Citaku

IMPIAN SUCI

IMPIAN SUCI

(Karya: Mujiatun, S.Pd.)*

Bissmillah…Jumat barokah…

Lafal ini selalu refleks terucap setiap kali aku membuka pintu di pagi hari. Seolah sudah tersetting dalam memory harianku. Pagi itu, seperti biasa pukul 05.30 kubuka pintu. Perlahan kulangkahkan kaki ke teras. Kuhirup dalam-dalam udara segar pagi ini berkali-kali. Selama pandemi covid19 mewabah di negeri ini, udara pagi terasa lebih sejuk dan segar. Mungkin karena banyak kendaraan tidak jalan dan pabrik-pabrik ditutup sehingga tidak menghasilkan asap yang menyebabkan polusi udara.

Hujan baru saja reda, genting-genting masih basah. Ujung dedaunan di halaman sesekali masih meneteskan air sisa hujan subuh tadi. Air menggenang di beberapa bagian halaman rumahku. Angin semilir menambah kesejukan Jumat pagi ini. Sekali lagi kuhela nafas panjang, kutahan dalam-dalam lalu kuhembuskan seraya menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah. Setelah puas dan lega, aku kembali masuk ke ruang tengah. Di salah satu sisi ruangan itu, pandanganku tertumbuk pada sebuah foto yang terpampang di dinding. Fotoku ketika menerima ijazah SPG dari Kepala Sekolah tahun 1990. Meski telah 30 tahun lamanya tetapi aku tak pernah jemu menatapnya setiap saat. Karena, foto itu menyimpan berjuta kenangan perjuanganku. Perjuangan untuk menjadi seorang guru, dambaanku sejak kecil.

Aku terlahir dari keluarga yang sangat sederhana dan serba kekurangan. Kedua orang tuaku petani tradisional yang mengenyam pendidikan hanya sebatas kelas dua SD. Namun, aku memiliki impian yang luar biasa, aku ingin menjadi seorang guru. Menurutku, profesi guru itu sangat mulia karena berperan utama dan sangat penting dalam mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa agar menjadi insan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

Namun, keinginanku itu tidaklah mudah untuk dicapai, jangankan untuk menjadi guru, untuk melanjutkan sekolah setamat SD pun keluargaku tidak mampu. Kenyataan itu tidak pernah kusesali dan tidak menyurutkan cita-citaku. Aku selalu bertekad kuat untuk mencapai cita-cita itu. Oleh karena itu, setamat SD aku nekad ikut orang tua angkat yang bersedia membiayai sekolah meskipun semua itu tidak cuma-cuma.

Dengan hati getir kuutarakan niat itu kepada ibu dan bapak.

“Pak, Bu, Suci ingin melanjutkan sekolah setamat SD ini, boleh ya?” Tanyaku ragu.

“Melanjutkan sekolah?” Bapak balik bertanya penuh heran. “Jangankan untuk melanjutkan sekolahmu, Nak. Untuk makan kita sehari-hari saja gak cukup”, lanjut bapak berusaha memberiku pengertian.

“Iya Ndok,” begitu ibuku selalu menyapaku. “Uang dari mana untuk biaya sekolahmu?” lanjut ibu.

“Pak, Bu. Itulah yang ingin Suci sampaikan kepada Bapak dan Ibu. Pak Zainal beserta istrinya bersedia membiayai sekolah Suci, Bu.” Jelasku.

“Maksudmu Pak Zainal, dokter yang bertugas di puskesmas kecamatan itu?” Tanya bapak dan ibu serentak.

“Betul Pak, Bu. Mereka siap membantu biaya sekolah Suci asalkan Suci bersedia membantu pekerjaan rumah dan tinnggal di rumah mereka.” Jelasku.

“Jadi, Suci akan ikut mereka dan meninggalkan kami?” Kata Ibu lirih. Ada nada berat dan sedih di balik kata-kata ibu. Dan ada rona kecewa tergurat di wajah ibu. Sedih dan sesak dada ini, tak tega melihat mereka berdua bersedih hati. Sengaja kuutarakan niatku ini pada malam hari ketika kedua adikku sudah tertidur pulas. Agar mereka tidak turut bersedih.

Memang jarak rumahku dengan rumah keluarga Pak Zainal tidak terlalu jauh, hanya 15 km saja. Namun, bila sudah tinggal di sana tidak mungkin aku bisa sering-sering pulang. Tentu saja tidak diizinkan oleh keluarga Pak Zainal. Setelah berkali-kali kujelaskan maksud dan tujuanku ikut keluarga Pak Zainal, akhirnya dengan berat hati kedua orang tuaku pun mengizinkan.

Keesokan harinya, dengan menumpang ojek aku pun berangkat ke rumah keluarga Pak Zainal. Dengan berbekal pakaian secukupnya aku berpamitan dengan ibu dan bapak. Ada butiran bening yang menetes di sudut mata ibu. Dipeluknya aku, dan aku pun melepaskan rasa sesak di dadaku. Kedua adikku tersedu dan termangu, kupeluk mereka.

Aku tidak pernah mengeluh meskipun harus membantu pekerjaan rumah tangga orang tua angkatku mulai dari mencuci, memasak, dan membereskan rumah. Semua itu tidak menjadi beban bagiku. Tetapi, yang paling berat dan menjadi beban perasaan bagiku saat itu adalah, aku harus berpisah dengan orang tuaku. Untuk anak seusiaku, yang baru 13 tahun saat itu harus berpisah dengan bapak, ibu, dan adik-adik, rasanya benar-benar siksaan batin yang luar biasa. Namun, semua itu kuanggap sebagai cobaan dari Allah dan merupakan pengorbanan jika ingin berhasil mewujudkan harapanku di masa yang akan datang.

Akhirnya, dengan berat hati kutinggalkan keluarga tercinta dan ikut orang tua angkat demi cita-cita. Aku bersyukur kepada Allah dan berterima kasih sekali kepada orangtua angkatku, karena kebaikan dan ketulusan hati mereka aku dapat melanjutkan sekolah. Pak Zainal dan istrinya sangat baik kepadaku. Namun, sikap baik mereka ini justru menimbulkan rasa iri pada Rina, putri bungsu mereka. Rina sangat tidak suka dengan kehadiranku. Apa pun yang kulakukan selalu salah dan tidak baik di matanya. Setiap hari ada saja ulahnya agar aku ditegur dan dimarah oleh orang tuanya. Seperti yang dilakukannya padaku hari itu. Masakanku ditambah garam sampai keasinan. Sehingga aku ditegur oleh ibu.

“Suci, kamu sudah berkali-kali ibu ingatkan agar tidak terlalu banyak memberi garam pada masakan. Mengapa masih saja selalu keasinan?”Tegur ibu kesal. “Kamu mau kita semua kena darah tinggi dan tensinya naik?” lanjut ibu.

“Maaf, Bu. Tapi, tadi sudah Suci cicip tidak keasinan dan garamnya pun tadi hanya sedikit. Mengapa sekarang jadin keasinan ya?” Aku berusaha menjelaskan.

“Lho, kamu kok malah balik tanya? Kan kamu yang masak?” Jelas ibu makin kesal.

Ya Allah, ternyata semua itu ulahnya Rina. Sayur masakanku ditambahnya garam banyak sekali sehingga sayur menjadi sangat asin. Wal hasil, ibu pun jadi sangat marah padaku. Itu bukan kali pertama Rina berulah kepadaku tetapi sudah berkali-kali. Kadang-kadang cucian yang sudah bersih tinggal dijemur tiba-tiba kotor, dan aku harus membilasnya kembali. Padahal hari sudah siang dan aku harus segera berangkat ke sekolah. Dengan ulahnya itu, akhirnya aku terlambat sampai di sekolah. Dan itu sering sekali terjadi. Oleh karena itu, aku sering dipanggil dan dimarahi oleh guru baik di kelas maupun di kantor. Malu dan kesal rasanya, tapi apa dayaku? Ingin rasanya pulang kembali ke rumahku tetapi bagaimana dengan sekolahku? Itu benar-benar dilema bagiku saat itu.

Sejak itu, aku masuk SMP. Alkhamdulillah, dari semester pertama sampai dengan semester enam aku memperoleh peringkat pertama. Aku bahagia sekali karena prestasiku. Orang tua dan orang tua angkatku pun menjadi bangga dan bertambah sayang kepadaku. Bahkan, pada Ujian Nasional aku mendapatkan peringkat pertama di tingkat kecamatan dan peringkat kedua di tingkat kabupaten. Berkat pertolongan Allah, doa dari orangtua, dan prestasiku itu, aku diterima di Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) tanpa tes. Karena aku ingin menjadi guru, maka aku memilih SPG untuk melanjutkan pendidikanku saat itu.

Allah sungguh Maha Pengasih dan Maha Penolong bagi umat-Nya yang sungguh-sunguh memohon pertolongan seperti aku. Dari SMP suasta yang berada di daerah pelosok, alkhamdulillah tahun 1988 aku diterima di sekolah pavorit di Kota Palembang, bahkan tanpa tes. Dengan semangat pantang menyerah dan persaingan yang luar biasa ketat, meskipun aku berasal dari udik tetapi tak mau ketinggalan dengan teman-teman yang berasal dari kota. Aku selalu belajar keras untuk memperoleh prestasi yang memuaskan.

Alkhamdulillah, usahaku tidak sia-sia. Pada semester satu aku memperoleh peringkat pertama. Melalui prestasi ini aku diikutsertakan dalam program beasiswa berprestasi SUPERSEMAR oleh kepala sekolah, yaitu program Presiden Soeharto pada saat itu. Dengan syarat, harus dapat mempertahankan prestasi yang pernah diperoleh. Memang tidak banyak, hanya 20 ribu per bulan tetapi itu sangatlah berarti bagiku.

Kepala SPG-ku memang sangat cerdas dan bijaksana, beasiswa tersebut tidak diberikan tiap bulan melainkan akan diberikan setelah lulus ujian. Kareana pada semester satu dan dua prestasiku baik, maka aku diperbolehkan mengambil jurusan Guru TK ( Taman Kanak-Kanak ) oleh Ketua Jurusan. Dari 21 kelas yang ada di SPG, hanya ada 2 kelas untuk jurusan TK, yaitu 1 kelas untuk kelas dua dan 1 kelas untuk kelas tiga. Dan jurusan TK ini menjadi pavorit para siswa pada saat itu, terutama siswa putri. Oleh karena itulah, persaingan untuk masuk jurusan tersebut sangatlah ketat. Selain harus memperoleh peringkat 10 besar di kelas, syaratnya juga siswa harus benar-benar berbakat menjadi guru dan harus kreatif.

Setelah melalui perjuangan panjang selama enam semester di SPG, alkhamdulillah prestasi dapat kupertahankan. Sehingga aku memperoleh beasiswa SUPERSEMAR selama 3 tahun. Allah kembali lagi mengabulkan doa-doaku dan doa-doa orang tuaku. Pada Ujian Nasional tingkat SPG, aku dinyatakan lulus dengan meraih peringkat kedua di sekolah dan peringkat ketiga se-Kota Madya Palembang.

Aku dan keluarga kembali bersyukur dan bangga dengan prestasi tersebut. Selanjutnya, aku berencana pulang ke desa setamat SPG karena ingin langsung mengajar. Kebetulan di desaku baru didirikan sebuah TK dan belum ada gurunya. Rasanya bangga dan bahagia sekali saat itu, akhirnya impianku untuk menjadi seorang guru terwujud. Kupeluk kedua orang tuaku, kucium telapak tangan mereka sebagai ungkapan terima kasih dan syukurku kepada Allah.

“Ibu…kok nangis?” tanya putra bungsuku tiba-tiba sembari memeluk dari belakang.

“Ibu sedih ya?” tanyanya lagi sebelum aku sempat menjawab.

“Ibu gak sedih kok, sayang”. Jawabku sembari mengusap air mata.

“Tapi…kok, Ibu menangis?” Lanjutnya heran.

“Ibu cuma terharu, ganteng. Ibu ingat waktu sekolah dulu.” Jawabku.

“Wah, pasti ceritanya seru ya, Bu? Rafi mau dong diceritain. Ayo Bu cerita!” Rafi menarikku mengajak duduk di kursi.

“Baik sayang, nanti ibu ceritakan ya? Tapi, sekarang kita mandi dulu, lalu berjemur supaya…”, belum selesai kalimatku dengan sigap putra bungsu kesayanganku menjawab.

“Kebal dari covid19…!!!” Teriaknya kegirangan.

*Guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Banjit, Waykanan, Lampung

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post