TELAGA KASIH
TELAGA KASIH
(Karya Mujiatun, S.Pd.)
Hujan telah reda sejak segelas teh hangat di atas meja itu tandas. Awan hitam berarak ke arah barat, meninggalkan hawa dingin di penghujung Juni ini. Aku masih menatap sisa tetes air yang jatuh di balik kaca jendela. Kesepian selalu mencipta rindu tiba-tiba. Kenangan menjelma nyata saat aroma tanah basah memenuhi penciumanku. Kuhela nafas dalam-dalam dan kupejamkan mata sebelum bayangan itu kembali hadir. Bayangan ibuku tercinta setahun yang lalu.
“Kok, kamu belum wisuda juga, Intan? Bukankah sekarang sudah semester sepuluh?” tanya Bu Lia, tetanggaku.
“Rina udah enam bulan yang lalu diwisuda, kok kamu belum?” tanya Bu Tini, teman sekantor Ibu.
“Intan kakak kelas Bagas kan waktu SMA? Bagas udah wisuda tiga bulan lalu,” kata Bu Rita, guru SMA-ku.
Perih hati ini setiap kali ditanya dengan kalimat-kalimat itu. Tetapi lebih perih lagi bila menatap wajah Ibu yang pucat dengan tubuh tak berdaya setiap kali menjelang cuci darah. Sudah satu tahun ini beliau harus menjalani cuci darah dua kali seminggu karena penyakit gagal ginjal yang dideritanya. Hanya aku dan Rafi, adik bungsuku yang masih SMP menemani dan merawat Ibu. Bapak sudah tiada enam tahun lalu, ketika aku masih SMA. Kakak sulungku, Mas Bambang baru selesai kuliah dua tahun lalu dan kini menjadi tulang punggung keluarga. Mas Bambang bekerja di sebuah perusahaan swasta di luar daerah.
Kondisi Ibu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengajar. Oleh karena itu, sudah satu tahun ini Ibu cuti mengajar dari sekolah tempat mengabdi.
Seperti biasa, selepas salat Subuh Ibu duduk di teras sembari berzikir. Kubawakan segelas teh manis untuknya.
“Assalamualaikum, Ibu. Ini teh anget buat Ibu. Monggo diminum.” Kuletakkan gelas teh di atas meja dan duduk di sampingnya.
“Waalaikumsalam, Nduk. Matur suwun, ya?” Mata Ibu berkaca-kaca.
“Maafkan Ibu ya, Nduk? Ibu selalu merepotkan Intan.” Kudekap Ibu dengan kasih sayang.
“Ibu jangan berkata begitu, Bu. Ini sudah menjadi kuwajiban Intan.” jawabku.
“Karena mengurus Ibu, kuliahmu jadi terbengkalai. Teman-temanmu, bahkan adik-adik tingkatmu sudah selesai dan sudah wisuda. Sementara kamu, skripsi saja belum disetujui oleh dosen pembimbing.” kata Ibu makin mempererat pelukannya.
Semester lalu, memang sengaja kuajukan cuti kuliah agar lebih fokus merawat dan menemani Ibu. Kondisi beliau saat itu sangat lemah dan harus dirawat di rumah sakit selama hampir dua bulan. Alkhamdulillah, dengan perawatan intensif di rumah sakit, kondisinya membaik. Akhirnya, beliau diizinkan pulang oleh dokter dan cukup rawat jalan dengan dua kali seminggu cuci darah.
Di sela-sela merawat Ibu, kusempatkan menyelesaikan proposal skripsi yang sudah satu semester terbengkalai. Berkat doa beliau, dalam waktu enam bulan penelitian dan skripsiku selesai. Sekarang tinggal menunggu persetujuan dosen pembimbing saja. Tak apa, meskipun sekarang aku sudah memasuki semester sepuluh dan skripsi belum juga kelar. Bagiku, yang terpenting adalah kesehatan Ibu. Aku ikhlas dan bahagia bila melihat Ibu sehat dan tersenyum bahagia.
Pagi ini cuaca cerah dan udara pun terasa segar. Matahari bersinar terang, pucuk-pucuk palem berayun gemulai diterpa angin sepoi. Bahagia rasanya melihat Ibu sudah mandi dan tampak segar berjemur di teras depan rumah. Sudah kupersiapkan semua peralatan yang akan dibawa ke kampus, terutama naskah skripsi. Hari ini jadwal terakhir bertemu Pak Drs. Amran Halim, M.Pd. M.M., dosen pembimbing utama skripsiku. Gembira penuh harap, semoga kali ini skripsiku disetujui dan direkomendasikan untuk ujian bulan depan.
“Bu, Intan pamit dulu ke kampus, ya? Mohon doa Ibu, agar skripsi Intan disetujui hari ini,” pintaku kepada Ibu sembari mencium telapak tangan dan memeluknya.
“Aamiin ya Allah. Iya, Nduk. Doa Ibu selalu untukmu. Semoga Allah selalu menolong anak sholehah sepertimu.” jawab Ibu membalas pelukanku.
Kustater Mio merah kesayanganku, yang selama 5 tahun ini setia menemani pulang pergi ke kampus. Seraya menarik gas motor kuucapkan salam buat Ibu.
“Assalamualaikum, Ibu.” kataku sambil mengklaksonnya.
“Waalaikumsalam, Nduk. Hati-hati, ya?” sayup terdengar suara Ibu di balik helmku.
Tiga puluh menit kukendarai Si Merah, akhirnya sampai juga di parkiran kampus. Masih sepi, baru ada beberapa motor mahasiswa dan dua mobil dosen. Kulirik jam tangan, baru pukul 08.00 WIB. Pantas saja masih sepi, Inova Pak Amran pun belum tampak.
Aku berjalan menuju lantai tiga kampus ke ruangan Pak Amran. Kutunggu di depan ruanmgan beliau dengan duduk santai di bangku panjang yang telah disediakan. Sesekali pandanganku tertuju ke arah tangga. Pak Amran menjanjikan bertemu pukul 09.00 WIB.
Kulirik kembali jam tangan yang melingkar di lengan kiriku. Saat ini menujukkan pukul 09.35 menit tetapi Pak Amran belum tampak jua. Sementara bangku panjang yang kududuki sudah penuh dengan para mahasiswa yang tampak gelisah hendak berkonsultasi. Mereka semua adalah adik tingkatku. Satu pun tak ada di antara mereka yang seangkatan denganku.
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00 WIB tetapi Pak Amran belum datang juga. Para mahasiswa makin tampak gelisah menanti kehadiran beliau. Kuberanikan diri masuk ruangan konsultasi dan bertanya kepada Bu Diana, asisten Pak Amran. Bu Diana hanya memberikan saran agar kami menunggu 30 menit lagi, mudah-mudahan ada kabar dari Pak Amran.
Tiga puluh menit telah berlalu tetapi belum ada kabar dari dosen pembimbing. Tak lama, Bu Diana pun keluar ruangan menuju tempat tunggu kami.
“Maaf, Adik-Adik mahasiswa, Pak Amran hari ini tidak bisa hadir. Beliau menghadiri rapat luar biasa di rektorat saat ini. Silakan kembali Senin depan.” jelas Bu Diana kepada kami.
“Astagfirullah halazim…” gumamku demi mendengar penjelasan Bu Diana.
Aku pun harus menelan pahitnya rasa kecewa yang ketiga kalinya dalam satu bulan ini. Sudah tiga kali menghadap tetapi tak pernah berhasil menjumpai dosen pembimbing. Sebagai seorang dosen yang juga rektor di salah satu perguruan tinggi suasta di kota ini, Pak Amran memang sangatlah sibuk dengan urusan pendidikan di kampus dan rektorat. Bagiku, memperoleh rasa kecewa seperti ini sudah biasa. Aku selalu berusaha ikhlas menerima semuanya. Akan tetapi, bayangan wajah Ibu yang murung begitu mendengar jawabanku dari kampus akan membuatku merasa sangat bersalah. Harapanku tadi, pulang akan disambut dengan senyum bangga Ibu karena skripsiku telah disetujui dan siap mengikuti ujian bulan depan. Namun, apa mau dikata? Aku hanya dapat berusaha dan Allah-lah yang menentukan segalanya, termasuk peristiwa hari ini.
“Assalamualaikum, Ibu,” kusapa Ibu dengan senyum ceria meski dalam hati menahan rasa kecewa. Aku tak mau beliau yang begitu gembira menyambutku tiba-tiba akan murung karena kabar kurang enak dari kampus.
“Waalaikumsalam, Nduk, ayo minum dulu. Ini udah ibu buatkan jeruk peras kesukaanmu.” suara Ibu lembut menenangkanku. Seolah beliau tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatiku saat ini.
“Njeh, Bu. Matur suwun. Ya Allah, Ibu kok repot-repot begitu?” jawabku sembari duduk mendekatinya. “Maaf, Bu. Intan mengecewakan Ibu lagi hari ini. Sudah menunggu dua jam tetapi dosennya tidak bisa datang.” jelasku kepadanya.
“Iya, Nduk. Ibu maklum. Bukan cuma kamu yang mengalami hal seperti itu. Ibu pun dulu juga begitu. Skripsi yang sesungguhnya, memang merupakan perjuangan dan ujian bagi penulisnya. Bukan hanya ujian kecerdasan dan ketekunan tetapi juga ujian kesabaran dan ketabahan dalam memperjuangkan hidup. Ibu yakin, kamu pasti bisa. Kesabaran dan ketekunanmu selama ini akan berbuah manis di kemudian hari.”
Pencerahan ibu seperti itulah yang selalu membuatku semangat dan kuat. Kata-kata Ibu selalu menyejukkan hati dan menjadi energi tersendiri bagiku dalam menapaki jalan hidup ini. Aku pun yakin, di balik semua ini ada hikmah dan rencana Allah yang lebih indah daripada rencanaku. Maka, aku terima semua dengan ikhlas dan sabar.
Alkhamdulillah, benar kata Ibu. Kesabaranku akhirnya benar-benar berbuah manis. Setelah menghadap kembali pada waktu yang telah dijanjikan oleh Pak Amran, skripsiku pun disetujui dan mendapat rekomendasi ujian bulan depan. Lega rasanya hati ini, terlebih melihat senyum Ibu penuh haru mendengar kabar ini. Bahagia tak terkira tergambar di wajah Ibu yang selalu tersenyum meskipun menanggung penyakit yang luar biasa.
Ternyata, Allah masih ingin mengujiku sekali lagi. Belum pudar senyum bahagiaku karena skripsi telah disetujui oleh dosen pembimbing, tiba-tiba Ibu pingsan di kamar mandi subuh tadi. Segera kubawa Ibu ke rumah sakit dengan bantuan tetangga. Tiga jam kemudian, Mas Bambang pun datang setelah kukabari. Kondisi Ibu tiba-tiba drop dan kritis padahal belum waktunya cuci darah. Berdasarkan pemeriksaan dokter, Ibu harus dirawat secara intensif di rumah sakit dan harus menjalani operasi cangkok jantung segera. Operasi tersebut harus dilakukan di salah satu rumah sakit Jakarta dengan biaya yang luar biasa mahal. Serasa disambar petir mendengar penjelasan dokter tersebut. Namun, tak ada pilihan lain bagi saya dan keluarga selain mengikuti saran dokter.
“Ya, Allah ya Robb! Tolonglah Ibu, kuatkan dalam melalui masa kritis ini. Aku sanggup menerima cobaan apa pun dari-Mu ya, Allah tetapi jangan ambil Ibu dariku. Aku tak sanggup, ya Allah! Tolonglah pula kami, berikan kelancaraqn kepada kami dalam mengupayakan kesembuhan Ibu. Tiada daya upaya kami tanpa pertolongan-Mu ya, Robbi!” kucurahkan segala harapan kepada-Nya Sang Pemilik Segala Kuasa.
Telah dua minggu Ibu dirawat di rumah sakit tetapi belum ada tanda-tanda membaik bahkan kondisinya makin melemah. Sementara itu, minggu depan aku harus menghadapi ujian skripsi. Ya Allah, bagaimana mungkin aku meninggalkan ibu di rumah sakit dalam kondisi kritis? Apakah aku harus menunda ujian skripsi yang sudah kuperjuangkan selama delapan bulan ini? Ya Allah, apa yang harus kulakukan?
Setelah sholat Tahajud dan sholat Istiharoh, niatku bulat. Aku akan tetap menjaga Ibu di rumah sakit hingga membaik kondisinya dan menunda ujian skripsi semester depan. Tak apa, meski aku harus lulus dalam waktu sebelas semester. Bagiku, kesehatan Ibu lebih penting dari yang lainnya.
“Dek, biarlah Mas Bambang yang menjaga Ibu. Intan siap-siap saja untuk mengikuti ujian skripsi, ya? Sayang kalau harus menunda satu semester lagi. Meskipun menggunakan beasiswa tetapi waktumu sudah tersita tiga semester. Teman-teman seangkatanmu sudah lulus dan wisuda semua. Ayolah, semangat ya, Dek? Biarlah Mas yang jaga ibu.” pinta Mas Bambang.
“Maaf, Mas. Intan gak bisa ninggalin Ibu dalam kondisi seperti ini. Intan akan menyesal seumur hidup bila terjadi sesuatu kepada beliau,” butiran hangat mengalir di pipiku.
“Ya, sudah kalau itu maumu. Mas cuma bisa memberi saran saja,” begitu Mas Bambang menutup pembicaraannya.
Tiga hari lagi ujian skripsi akan dilaksanakan. Seharusnya aku sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk mengikuti ujian, termasuk mempersiapkan pikiran dan mental agar dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para dosen tim penguji. Namun, aku harus mengikhlaskan momen penting itu demi Ibu.
Tiba-tiba Pak Rinto, dosen sekaligus panitia ujian skripsi memberitahukan bahwa ujian skripsi ditunda hingga dua bulan yang akan datang karena ada sesuatu dan lain hal. Alkhamdulillah, ya Allah. Semoga sebelum aku mengikuti ujian kondisi Ibu sudah membaik.
Enam minggu sudah, Ibu dirawat di rumah sakit secara intensif pasca operasi cangkok ginjal. Berkat pertolongan Allah operasi berjalan lancar. Mas Yoga, anak angkat Ibu bersedia mendonorkan satu ginjalnya untuk Ibu. Hanya itu menurutnya yang bisa dilakukan untuk berbakti atas segala jasa Ibu selama ini. Saudara-saudara, kerabat dekat, warga setempat, dan sahabat-sahabatku di kampus semua mendukung dana untuk biaya operasi Ibu. Alkhamdulillah, kondisinya semakin membaik. Beliau sudah mau makan beberapa sendok bubur dan susu. Wajahnya pun sudah tampak merah dan tidak terlalu pucat lagi. Sudah mulai bisa diajak bicara. Hingga minggu ketujuh kondisi Ibu makin membaik. Maka, dokter pun mengizinkannya pulang. Dengan catatan, Ibu harus istirahat total dan tetap kontrol seminggu dua kali di rumah sakit yang telah dirujuk.
Tibalah saat ujian hari ini. Aku bahagia sekali melihat kondisi Ibu yang berangsur sehat. Hal ini membuat dokter rumah sakit tempat Ibu kontrol terheran-heran tak percaya. Berdasarkan pemeriksaan terakhir, ginjal Ibu dinyatakan mengalami perkembangan yang luar biasa. Semua orang tak percaya apabila tidak menyaksikan sendiri kondisi Ibu. Selama satu tahun ini harus cuci darah seminggu dua kali dan sekarang bisa sehat kembali seperti sedia kala. Memang, tak ada yang tak mungkin bila Allah berkehendak.
Atas izin-Nya, Ibu sehat kembali dan aku pun hari ini lulus dengan nilai A. Alkhamdulillah ya, Allah! Allahu Akbar. Aku sujud syukur selepas ujian dan diumumkan bahwa lulus dengan nilai A. Dengan hati gembira tak terkira, kukabarkan ini kepada Ibu di rumah. Beliau tampak tersenyum sumringah duduk di teras rumah menyambut kedatanganku.
“Ibuuuu…” Kupeluk Ibu dalam tangis bahagia.
“Selamat, ya sayang? Ibu bangga denganmu. Kamu bukan hanya cerdas tetapi kamu pun berhati mulia.” Ibu pun terisak-isak penuh haru.
Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Allah karena doa-doaku dikabulkan. Ibu kembali sehat dan aku pun lulus ujian tanpa harus mengabaikannya di runah sakit. Sekali lagi, kata-kata Ibu terbukti bahwa kesabaran dan ketabahan itu akan berbuah manis dan akan indah pada waktunya.
“Nduk, kamu kok menangis?” suara Ibu membuyarkan lamunanku.
“E…nggak, Bu. Intan cuma terharu. Intan bahagia karena Ibu sekarang sehat dan dapat kembali mengajar seperti semula.” jawabku sembari memeluknya.
“Alkhamdulillah, Cantik. Semua ini karenamu juga. Trimakasih ya, Sayang?” Ibu pun memelukku.
Selesai
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Alhamdulillah...Selamat buat Intan
Trimkash appresiasinya Mbak Erida.
Bukan hanya cerdas dan tekun tapi juga sabar, mantap, sukses ya bu
Alkhamdulillah, trimkash appresiasi dan komennya Mbak Mariani. Salam kenal dari Lampung.
Alhamdulillah..ibu kembali sehat..bravo buat Intan..Bagus sekali ceritanya bun...moga sukses selalu