#Tagur 30 Hari Menulis - Hari ke-1

Oleh: Munawaroh, S. Pd.

Tidak seperti biasa, hari itu Neng Melli banyak melamun. Sesekali menatap awan, kadang pandangannya lurus ke depan. Emak meyakini, ada sesutu yang mengganggu pikiran anaknya. Tapi tak berani mendekat. Selain ceria, Neng Melli cenderung sensitif. Rasanya dipengaruhi pikirannya. Maka Emak tak ingin menambah beban pikirannya dengan pertanyaan. Emak diam sambil menyeruput teh hangat dari balik jendela.

"Ibu Melli harus masuk kerja. Mulai besok. Sesuai keputusan Pak Menteri, usia 45 tahun ke bawah harus masuk untuk tatap muka. Mengajar dengan protokol kesehatan. Maksimal 50 persen.", begitu kalimat yang didengar Neng Melli dengan seksama dari Kepala Sekolah. Neng Melli protes. Sebab surat yang diterima diterjemahkan dengan apa adanya, tidak melihat kondisi sekolah atau keadaan guru-guru yang ada. Neng Melli bertanya, "Usia 45 tahun ke atas, jika sehat, kenapa harus di rumah? Dan usia 45 tahun ke bawah, jika sakit-sakitan, kenapa harus mengajar di sekolah?".

Neng Melli meradang. Dia menuntut keadilan. Meminta kebijakan. Sebab cuma dia yang tahu, bahwa dia seorang yang penyakitan. Selain batuk pileknya yang awet karena cuaca, Neng Melli malu untuk mengungkapkan, bahwa saat ini dia sedang mengidap suatu penyakit. Penyakit yang menjadi aib untuk banyak orang. Dia tak sanggup membayangkan, jika nanti di sekolah dia harus berdiri sepanjang hari. Sebab, dia tidak akan bisa duduk dikarenakan bisul yang ada tepat di bokongnya. Duh... sengsaranya.

(Kumainkan rasa sederhana untuk bisa memahami)