Murdianah,SP

Guru di SMKN 1 Pringgasela Lombok Timur NTB. Bersama kanker terus belajar, berjuang, menentang dan menang. Hidup menjadi manusia baru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Inaq Menah

Inaq Menah

Inaq Menah

Inaq Menah menjejer barang dagangannya di atas malak (lapak anyaman dari bambu). Suasana pasar hiruk pikuk. Mobil, sepeda motor, angkutan umum, cidomo lalu lalang. Jalan penuh berjejal itu semakin terasa sempit karena beberapa kendaraan turut parkir di tempat itu. Para pedagang sayur-mayur memadati tepi jalan dengan dagangannya, di depan deretan pertokoan yang berhadapan dengan pasar.

"Angkak jak panas lalok jelo ne (kenapa panas sekali hari ini)," keluh inaq Menah sambil mengipas-ngipas dengan ujung jilbabnya. Yang diajak bicara hanya menatapnya aneh.

"Baruk sak sampai wahm jak ngeluh (baru sampai kamu sudah ngeluh)," ujar Inaq Sulhi sambil meneruskan kesibukannya menata barang dagangannya.

"Tadi si Ruslan terlambat bangun," inaq Menah berusaha menjelaskan. Si Ruslan adalah anak Inaq Menah yang sehari-hari bekerja sebagai sopir carry (angkutan pedesaan) jurusan Kabar-Rumbuk - Paokmotong. Dan tentu Inaq Menah tidak perlu mengeluarkan ongkos alias gratis jika hendak ke pasar, demikian juga saat pasar usai.

"Inaq, berapa harga kelor ini seikat?" tiba-tiba seorang gadis telah berdiri di hadapan Inaq Menah.

"Biasa nak, seribu," jawab Inaq Menah sambil berusaha tidak melihat ke tangan gadis yang sibuk memilih-milih kelor yang masih segar.

"Tiga ikat dua ribu ya Inaq?"

"Ee....selapuk ape-ape nane bih taek ajin baiq, selapukn mahel (apa-apa sekarang harganya sudah naik nak, semua mahal)," Inaq Menah berusaha menjelaskan

"Tujuh ikat lima ribu sudah inaq ya, boleh ya?" Ulang si gadis tadi

Inaq Menah menggeleng. "Ambil sudah enam ikat lima ribu. Mule sikq tendakn baiq (memang itu modalnya nak)"

"Mahalnya Inaq," tukas gadis itu sambil meletakkan kembali sayur kelor yang dari tadi telah dipilihnya.

Inaq Menah mengusap peluh yang membanjir di keningnya. Fikirannya melayang pada anak semata wayangnya Ruslan yang berstatus duda karena ditinggal pergi istrinya begitu saja.

"Lan, kamu kan sudah bisa mencari uang sendiri? Bekerjalah dengan tekun dan giat dan bilang sama Fatmi supaya lebih sabar dulu menunggumu. Kalau kamu rajin, insya Allah dua tiga bulan lagi pasti sudah terkumpul uangmu untuk biaya pernikahanmu" Inaq Menah berusaha membujuk. Tapi Ruslan malah mendengus.

"Brembe inaq ne (bagaimana ibu ini), Inaq fikir penghasilanku dari nyopir ini berapa? Belum untuk setoran dan bensin. Belum untuk biaya makan kita sehari-hari. Kadang untuk ikut sekedar minum secangkit kopi dan sebatang rokok saja aku tak punya uang, Inaq" keluh Ruslan.

Inaq Menah terdiam mendengarnya. Ingin ia menyahut, bukankah selama ini ia yang membeli beras, dan keperluan sehari-hari dari hasilnya menjual sayur? Dan tak jarang ia melihat Ruslan duduk-duduk nongkrong di warung kopi berlama-lama bersama teman-temannya yang lain? Tapi Inaq Menah memilih diam saja. Ruslan anak satu-satunya, biarlah sekali-sekali kemauannya dituruti, dengan harapan perkawinannya kali ini bisa langgeng seumur hidup.

"Berapa harga bawang ini, Inaq?" Tiba-tiba seorang calon pembeli lain sudah hadir di depan Inaq Menah. Inaq Menah menatapnya. Seorang yang berpenampilan rapi, tampak sejuk dipanang dengan jilbab lebarnya, anggun bersahaja. Sepertinya seorang Guru.

"Tiga ribu saja," jawab Inaq Menah. Ibu muda itu memilih 10 ikat bawang, membayarnya dan segera berlalu.

Inaq Menah menghitung uang yang diperolehnya hari itu. Sesaat Inaq Sulhi memandang ke arahnya dengan rasa iri.

"Masih bisa beli beras hari ini ya, Inaq Menah?" tanyanya dengan nada sinis.

Inaq Menah menatapnya, tak mengerti. "Ya, Alhamdulillah, kami masih bisa makan tiga kali sehari, meskipun lebih sering hanya dengan lauk sayur kelor dan sambel colet (sambel terasi dengan jeruk monte diatasnya)," jawab Inaq Menah penuh rasa syukur.

Inaq Menah terdiam, dalam hati kembali ia bersyukur karena ternyata masih banyak yang nasibnya kurang beruntung dibanding dirinya.

***

Rosita turun dari engkel (mini bus) jurusan Pancor- Mataram yang membawanya ke pasar, dia pun sempat turun juga di pasar sebelumnya. Temannya Rita dan Dion melanjutkan perjalanan dengan tujuan pasar yang lain.

Rosita merapikan jilbabnya yang tertiup angin dan memandang berkeliling. Perhatiannya tertuju pada sekumpulan inaq-inaq pedagang sayur yang menggelar dagangannya di depan pasar dengan beratapkan kelabang (anyaman dari daun kelapa).

Rosita berjalan mendekat. Dalam saku gamisnya telah tersedia dua puluh lembar kupon yang akan ia bagikan kepada Inaq-inaq ini.

"Bu, maaf bisa saya mengganggu sebentar?, saya dari Himpunan Mahasiswa Hamzanwadi (HIMMAH) NW Pancor, hari minggu ini akan mengadakan acara di depan Masjid Jami' At-taqwa Pancor jam 10 sampai jam 12 siang," Rosita memperkenalkan diri.

"Arak acara ape jak Baiq?"

Rosita pun mengeluarkan lembaran-lembaran kupon tadi dari saku gamisnya sambil tersenyum simpul.

"Niki (ini), Bu, seperti yang tertulis di lembaran kupon ini, besok hari minggu akan ada pembagian sembako gratis untuk warga yang sangat membutuhkan, sekalian ada pengajian oleh Bapak Tuan Guru. Nah, sekarang kupon ini saya bagikan kepada Ibu-ibu setiap orang satu lembar. Nanti, waktu datang ke Masjid kuponnya jangan lupa dibawa ya, Bu? Setiap orang akan mendapat, beras, minyak goreng, gula pasir dan mie instan," kata Rosita menjelaskan sambil membagi-bagikan kupon.

Beberapa orang Inaq-inaq yang sudah menerima kupon mengangguk-angguk sambil saling menengok satu sama lain. Mereka sepertinya tidak tahu baca tulis.

"Ndk sampe de pada lupak Ibu-ibu, enggih! (jangan sampai Ibu-ibu lupa ,ya!) nanti acaranya dari jam sepuluh pagi sampai jam dua belas siang. Jangan sampai ada yang tidak datang," jelas Rosita sambil bersiap-siap pergi.

***

"Papuq Menah! Papuq Menah!" Seorang pemuda paruh baya berlari-lari menemui Inaq Menah.

"Arak ape Anam, angkak me sak uyut lalok noh (ada apa, kenapa kamu berisik sekali)," tergopoh-gopoh Inaq Menah menghampiri pemuda itu. Api tungkunya dimatikan, padahal ia sedang menanak nasi.

"Tuaq Ruslan, Papuq!" Anam berusaha mengatur nafasnya yang naik turun.

"Ada apa dengan Ruslan?" Inaq Menah dengan setengah berteriak. Dilihatnya wajah Anam yang tegang.

"Paman Ruslan, tadi tertabrak. Carry yang dibawanya diserempet truk, lalu terguling masuk sungai di jembatan desa Padamara. Sekarang Paman Ruslan sudah dibawa sama orang-orang ke rumah sakit Selong."

"Innalillahiwainnailaihiroji'uun...." Inaq Menah gemetar, ia meremas-remas ujung jibabnya yang lusuh.

"Kata Ibu saya, Papuq harus segera ke rumah sakit. Paman Ruslan tadi pingsan, banyak mengeluarkan darah," kata Anam menjelaskan.

Antara sadar dan tidak, Inaq Menah terburu-buru masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet lusuhnya yang isinya pun tak seberapa.

***

Rosita melihat kiri-kanan, mencari-cari rumah yang alamatnya terteta dalam secarik kertas di tangannya.

"Hhhh...ternyata susah juga ya nyari rumah di kampung padat seperti ini, letaknya nggak beraturan, " katanya pada diri sendiri.

Sudah hampir setengah jam lebih mahasiswa FKIP Universitas Hamzanwadi Pancor itu menyusuri kawasan Desa yang keberadaannya cukup jauh dari pusat kota Lombok Timur. Tapi rumah yang dicarinya tak kunjung ketemu.

Akhirnya Rosita sampai di depan sebuah rumah berdinding pagar, beratap ree (jerami padi) dan berlantai tanah. Seorang wanita tua yang sedang asyik mengulat pagar (membuat pagar dari bambu) sedang khusu' dengan pekerjaannya. Rosita segera menghampirinya.

"Assalamu'alaikum, Bu...betul ini rumahnya Inaq Menah penjual sayur di Pasar Paokmotong itu?" tanya Rosita kepada Ibu tua itu.

"Arak perlu ape (ada perlu apa)?" Ibu itu malah balik bertanya.

"Ini, Bu, Insya Allah besok ada pembagian sembako di Mesjid Pancor, untuk para lansia dan orang-orang yang sangat membutuhkan. Kebetulan kemarin waktu saya ke pasar, katanya Inaq Menah sudah duluan pulang. Jadi beliau belum kebagian kupon untuk pengambilan sumbangan ini," kata Rosita sambil memperlihatkan kupon di tangannya. Serta merta wajah Ibu di depannya berubah ceria.

"Angkak ndekm muni leman onek, Baiq (kenapa tidak ngomong dari tadi, nak)! Saya Inaq Menah!" kata Ibu itu sambil cepat merebut kupon dari tangan Rosita. Rosita tersenyum nyengir.

"Kalau begitu saya permisi dulu Bu...Insya Allah kita bertemu lagi besok di Mesjid." pamit Rosita.

Inaq Sulhi tersenyum-senyum gembira. Sekarang sudah ada dua kupon di tangannya. Anam yang kebetulan melihat kejadian itu tertawa ringkih yang langsung dipelototi oleh inaq Sulhi. Dan cepat-cepat pemuda itu berlalu dari tempat itu.

***

Beberapa istilah

Inaq/amaq: panggilan untuk Ibu/Bapak; tuaq: paman; baiq : panggilan untuk anak perempuan biasanya dari gelar untuk bangsawan sasak

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post