Muslihah, S.Pd.

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Ulang Tahun Mas Ilyas

Embun mengecup subuh. Bau parfum mas Ilyas yang disemprotkan pada pakaiannya cukup mengganggu penciumanku yang masih menikmati hangatnya selimut pagi. Mataku mengerjap, ku tahan napas agar bau yang cukup menyengat itu tidak sampai tercium lebih dalam, namun aku masih memanjakan diri di atas kasur berseprai merah muda, warna kesukaanku.

"Mah, bangun. Sudah subuh, bangun bangun bangun!" Mas Ilyas membangunkan aku dengan menggelitiki kakiku yang masih terbungkus oleh selimut.

Aku pun menggeliat bangun dan duduk sambil perlahan memperhatikan mas Ilyas.

"Selamat ulang tahun, Kakeeeek" kataku dengan semangat empat lima walau masih duduk bersila di atas kasur.

Sementara kulihat mas Ilyas mematut-matut di depan cermin sambil merapikan sarung dan kopiah. Mendengar ucapan ulang tahun untuknya, dia tersenyum. Sepintas memandangku dengan senyum yang sulit kuduga apa maknanya. Tapi sepersekian detik itu pun aku merasa ada yang tidak beres dengan senyumnya subuh itu. Dia kembali fokus pada cermin besar di depannya. Lewat cermin aku melihat dia membetulkan posisi kopiah, lalu mengaitkan kancing pada lengan baju kokonya, serta mematut-matut sarung yang dikenakannya pada bagian depan dan belakang.

"Dih, dikasih ucapan ulang tahun bukannya bilang makasih malah senyam senyum," kataku. Kumonyongkan mulutku.

"Ulang tahun ulang tahun."

" Ini tanggal berapa, nenda Kaleaaa?" Jawabnya, masih dengan senyum kurang manisnya.

"What? Emang tanggal berapa sekarang?" Aku balik bertanya. Perasaan cemas menjalari hatiku.

"Tua boleh, Mah. Tapi pelupa jangan," jawabnya jenaka. Senyum penuh ledekan itu membuatku tambah manyun.

"Tapi semalam Sarah bilang, hari ini ultah Bapak, berarti kan ini tanggal enam belas," kataku mencoba membela diri.

Ya, semalam, Sarah, istri dari anak sulung kami mengabarkan bahwa hari ini tidak bisa ke rumah untuk merayakan hari ulang tahun mertuanya karena sedang PPKM.

Segera ku raih ponsel yang kusimpan di dalam laci meja. Lalu kuaktifkan benda pipih berbentuk persegi itu dan segera kulihat aplikasi kalender.

Ya Tuhan, masih tanggal 15? Ini bukan 16? Ini yakin tanggal 15? Astaga, salah!

Seperti tahun lalu, kali ini pun aku salah mengucapkan ulang tahun karena diucapkan sebelum waktunya.

"Selamat sholat subuh, Nenda Pelupaaaa," katanya. Mulutnya maju ke depan beberapa inci untuk meledekku.

Mas Ilyas meninggalkan aku di dalam kamar. Langkah kakinya terdengar menjauh menuju pintu depan. Suara sarung yang beradu saat dibawa jalan itu pun semakin menjauh dari pendengaran ku. Tak lama kemudian anak kunci pun terdengar diputar, lalu pintu depan dibuka, diakhiri dengan suara handel anak kunci menandakan pintu pagar ditutup dari luar. Mas Ilyas menuju subuh berjamaah di mesjid.

"Kok bisa salah lagi?" Aku mulai bingung sendiri sambil merapikan bantal dan selimut.

"Kenapa terulang lagi?" Gumamku lagi. Tahun lalu....

" Selamat ulang tahun ya, Pak. Panjang umur, sehat terus, tambah sayang ama keluarga, dan..."

"Siapa yang ultah, Mah?" Kata mas Ilyas yang memotong pembicaraanku dengan sangat santai, pagi itu di dapur.

"Ya Bapak lah. Masa ultahnya hewan-hewan piaraanmu itu," aku melemparkan pandangan ku lewat jendela pada "istana" hewan piaraan mas Ilyas yang berada di teras belakang.

"Duh, Mamaaah. Wajah keliatan muda, tapi udah pikun. Akut lagi pikunnya. Berabe nih Mah kalo udah gini."katanya sambil senyum-senyum sarat dengan ledekan.

"Berabe gimana sih, Pak. Diucapin selamat bukannya bilang makasih malah....."

Aku ditinggalkan sendirian di dapur beberapa saat, lalu mas Ilyas kembali lagi dengan membawa kalender yang biasa terpasang di ruang tengah. Dia memberikan kalender itu padaku. Spatula yang sedang ku pegang untuk menggoreng tempe mendoan pun kuletakkan di dekat penggorengan dan aku segera menerima kalender tersebut. Mataku langsung tertuju pada deretan angka pada bulan Juli tanggal enam belas. Kulihat pula harinya. "Kamis?" kataku dengan suara pelan, " ini kan hari selasa," lanjutku, masih dalam hati. Lalu aku lihat di bulan Juni. Mataku membulat penuh manakala mendapati angka enam belas di hari Selasa tersebut berada di bulan Juni.

Tahulah aku, saat itu masih tanggal enam belas bulan Juni. Artinya, belum saatnya dia berulang tahun, artinya lagi hari ulang tahunnya nanti bulan berikutnya.

"Hah? Ini bukannya bulan Juli, Pak?" Tanyaku. Dan aku merasa konyol sekali saat itu karena bisa separah ini sifat pelupaku. Aku mengira saat itu adalah hari ke enam belas bulan Juli. Tanggal dan bulan istimewa baginya yang saat itu sudah berusia 58 tahun. Dan aku, istrinya yang dinikahi 28 tahun silam itu pun hanya bisa memamerkan gigiku sebagai tanda aku berusaha menahan malu.

"Uban di rambut kakeknya Kalea boleh banyak, tapi belum pikuuuunn," ledeknya lagi. Telapak tangannya yang lebar itu pun ditempelkan pada wajahku sehingga seluruh bagian wajahku tertutup oleh jari-jarinya. Aku membalasnya dengan "ancaman" spatula yang siap aku kibaskan.

Tawa kami pun lepas di dapur pagi itu, di sela-sela kesibukan kami mempersiapkan sarapan pagi, sekaligus bekal makan siang anak-anak di sekolah nanti.

" Tapi tenang aja, Mah. Walau pun mamah sudah mulai salah waktu kalo ngucapin ulang tahun Bapak, Bapak gak bakalan cari yang lain. Tenang yah, tenang." masih dengan candaan.

"Dih, ngegombal." kataku.

Romantis itu tak selalu identik dengan rangkaian kata penuh bunga, atau memamerkan kemesraan di depan orang lain. Hal-hal seperti ini pun aku menganggapnya sebagai bentuk romantis. Santai dan tidak mempermasalahkan apalagi marah besar dalam menyikapi sifat pelupaku yang semakin hari tidak semakin berkurang itu pun aku anggap bentuk cinta dan romantis.

Lamat-lamat kudengar suara pagar depan dibuka. Tanda mas Ilyas pulang dari mesjid. Aku segera gegas ke tempat wudlu. Bahaya besar jika tahu aku belum menunaikan dua rakaat subuh saat dia pulang. Bokong aku pasti jadi korban cubitannya.

Juni 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ada kemajuan berarti, Bu Mus. Tahun lalu ucapannya ultahnya maju sebulan. Tahun ini cuma maju sehari. Hehee. Senang membaca tulisan Bu Mus. Ibu berdinas di mana, Bu?

27 Nov
Balas

Keren cerpennya...salam literasi.

09 Sep
Balas

Terima kasih, Bunda

09 Sep

Bagus bunda cerpennya duh jadi membayangkan klo saya sdh nenek nenek apakah bakal seperti itu hehehe

11 Sep
Balas

Izin membalas komentar Ibu, Bu Nani. Kepada Bu Mus, saya juga minta izin. Seperti itu, interpretasinya banyak, lo, Bu. Seperti itu bisa romantisnya, bisa pelupanya, bisa .... Apa lagi, ya? Salam kenal, Bu Nani. Saya Bu Hermin, guru b. Indonesia SMAN 7 Cirebon.

27 Nov



search

New Post