Sekeping Hati (Bagian 2)
Sekeping Hati
#Part2
#pov_Putra
Selepas penolakan dari Laila sore tadi, sekeping hatiku seperti hilang separuh.
Selama ini aku menaruh harapan besar, aku yakin diterima. Dahulu, aku melihat sinar bintang harapan yang sama di pancaran matanya.
Oh.... bukannya sebagai laki-laki dewasa aku tidak menundukkan pandangan, akan tetapi karena kampus kami satu jurusan, hanya berbeda dua tingkat, aku sungguh belajar mengenalinya semenjak ia menjalani masa orientasi mahasiswa baru beberapa tahun yang lalu.
Diantara ribuan bintang di langit, tentunya akan ada satu bintang yang menarik perhatian kita.
Begitu pula denganku, Laila itu seperti sebuah bintang terang di langit malam yang gelap, sama seperti namanya 'Najmi'. Gugusan bintang. Ia adalah kumpulan kemuliaan berkumpul menjadi satu. Ia nampak terang benderang ketika sekelilingnya kurang bersinar.
Nasabnya bagus, orang tuanya adalah pendiri sekaligus Kiyai pondok pesantren Wildanul Muttaqin di Kudus, sebuah Pesantren penghafal Al-Qur'an dengan jumlah santri sekitar tiga ratus santri.
Aku sudah membaca informasi mengenai Laila semenjak empat tahun yang lalu. Tepat saat Laila mengumpulkan biodata peserta kepada panitia orientasi Mahasiswa Baru.
Aku ditakdirkan menjadi koordinator peserta pada masa itu. Semua peserta aku kelompokkan sesuai klasifikasi yang diarahkan oleh rapat umum panitia.
Netraku terhenti saat membaca biodata lengkapnya, Lailatu Najmi, lulusan salah satu boarding school cukup terkenal di Surakarta. Ia fasih berbicara bahasa Inggris, prestasinya menghafal 30 juz Al-Qur'an semenjak kelas dua SMA, berwajah anggun meneduhkan (nampak dari foto yang tertempel di biodata).
"Putra, eh kamu melamun?"
"Sudah selesai belum? pengelompokan peserta BOTANI-nya?" , aku mendadak lupa apa kepanjangan BOTANI itu sendiri, Bekal Orientasi Angkatan Terkini? Atau..... Apa ya?
Lamunanku menepi setelah aku berpikir tentang kriteria wanita. Kata baginda Nabi Muhammad wanita itu dinikahi karena empat hal yaitu karena kecantikannya, keturunannya, hartanya, agamanya. Paling utama karena agamanya. Laila memiliki keempat-empatnya. Sempurna di mataku.
Aaaagh... Kenapa aku mendadak amnesia tentang tugas utamaku sesaat? Tepat ketika membaca biodata mahasiswa baru bernama Lailatu Najmi.
Apakah aku simpati kepadanya?
Apakah aku terkesima dengan gadis berjilbab hitam dengan wajah anggun dan ayat-ayat Al Qur'an mengelotok di luar kepalanya?
Dengan gugup aku menjawab pertanyaan rekan satu kepanitiaanku itu, aku sejenak menetralisir pikiran. Aku segera meneguk air mineral tiga tegukan. Supaya tetap waras.
"Sik..Sik..sik, sebentar lagi, sepuluh menit lagi, ya!"
"Oke, Put.. bagian kesekretariatan ingin segera selesai menginput data sesuai kelompok, sekaligus memberikan nama pendamping per kelompoknya."
"Siiiiip, tenang, Bro. Masih dua hari lagi, kan?"
Begitulah kisah pertama kalinya aku terkesima dengan aura shalehah Lailatu Najmi.
###
Sore ini, aku pulang ke rumah dengan agak gontai. Setelah lamaranku ditolak Laila.
Bagaimana aku tidak tahu bahwa ia sudah dijodohkan?
Selama ini semua tampak normal dalam pandangan mata dan persepsiku.
Aku mengetuk pintu rumah dengan mengucapkan salam tiga kali.
Ibu dengan tersenyum datang dari balik pintu. Membukakan pintu dan menjawab salamku ketika masuk rumah. Aku mencium tangan beliau.
Ibu segera menyambutku dengan berbagai pertanyaan, sama seperti biasanya.
"Waalaikumussalam, dari mana kamu, Nak? Bapak sudah menanyakanmu semenjak tadi."
"Tadi Putra habis dari laboratorium, kemudian ada diskusi sejenak di kampus, Bu. Putra mandi dulu ya, Bu. Badan sudah gerah, lengket semua di kaos dalam."
Aku asli Jogja bagian selatan, selama kuliah aku tidak pernah indekost.
Setelah lulus, aku memang masih di kampus membantu beberapa proyek dosen sekaligus menjadi asisten dosen. Selain itu, aku sedang mencoba peruntunganku untuk mendapatkan beasiswa S2.
Bapak sebenarnya ingin aku kuliah pascasarjana dengan biaya dari beliau. Ekonomi Bapak cukup stabil sebagai pengusaha batik Jogja dengan beberapa outlet beliau di Malioboro dan pasar Bringharjo serta setiap pekan melayani pengiriman batik ke pasar baru Bandung dan Tanah Abang. Tentunya akan cukup untuk membiayai kuliah pascasarjana untukku. Namun, aku ingin belajar mandiri.
Akan terasa lebih berkah bagiku jika aku tidak selalu bergantung kepada kedua orang tuaku. Meski mereka mampu dan ridho. Aku pun belajar berwiraswasta dengan berjualan pernak - pernik Jogja dan jasa traveling Jogja secara online.
Bapak tiba-tiba berbicara ketika aku melangkah ke ruang tengah dan menyalami beliau penuh takzim.
"Putra, gimana kabar pendaftaran beasiswamu?"
"Dereng wonten kabar, Pak."
"Mugo-mugo ketompo, ya. Bapak selalu mendoakanmu?".
"Aamiin, matur nuwun, Bapak".
Aku mohon izin dan berlalu dari Bapak yang duduk di ruang tengah, naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarku.
Aku ingin mandi sore, aku segera menyambar handuk yang tertata rapi di balkon.
Bapak memang terbiasa menikmati sore dengan memakan kudapan ringan disertai minum teh manis hangat aroma melati. Teh tubruk racikan ibu, kesukaan Bapak.
###
Aku berlama - lama di kamar mandi.
Apakah aku patah hati?
Ataukah aku frustasi?
Ataukah aku perlu mengucapkan innalillaaahi?
Aku belajar menerima kenyataan hari ini.
Supaya kesegaran segera menyusup ke dalam pori-pori di kepalaku, aku menyiram kepalaku dengan air menggunakan shower, keramas menggunakan shampo yang mengandung menthol.
Kalau mandi pagi, aku jarang menggunakan shampo ini, sebab sensasi dingin menthol-nya membuat kulit kepalaku terasa semriwing jika terkena angin pagi.
Sepengetahuanku, menthol dalam shampo, sejatinya terbuat dari ekstrak daun mint.
Daun mint merupakan tumbuhan yang memiliki segudang manfaat. Selain sebagai pengharum dan pelengkap rasa, daunt mint juga bermanfaat bagi kesehatan dan kecantikan.
Indonesia sendiri dikenal sebagai negara tropis yang kaya akan rempah-rempahnya. Cara menanamnya cukup mudah, tinggal distek batangnya, tanam di media tanah bercampur sekam padi, mint akan tumbuh dengan mudah.
Biasanya tumbuhan sejenis daunt mint ini akan lebih mudah jika dikembangbiakkan di daerah yang dekat pegunungan, seperti di lereng Merapi, di daerah Dieng, juga Lembang dan Ciwidey di Bandung dan beberapa daerah lainnya.
Selesai mandi aku membuka gawaiku. Aku cari nama Laila dalam chat Wa. Aku mengintip dia sedang online atau tidak.
Aaaagh..aku membatalkan niatku untuk mengirim pesan kepadanya.
Masalahnya bukan pada Laila, pemegang kebijakannya ada di tangan abahnya.
Aku sudah berjanji pada Laila untuk mendatangi Abah. Akan tetapi, jika ini ibarat strategi perang untuk memenangkan putri raja, aku akan mudah dikalahkan jika aku datang dengan tangan kosong.
Apa keunggulanku di mata abahnya Laila?
Aku hanyalah seorang sarjana Biologi, dengan pengalaman pesantren hanya saat usia SMP dan SMA.
Karena aku yang waktu itu susah diatur, Bapak mengirimku ke pesantren boarding school di Klaten yang dipimpin oleh ustad Abdul Muin. Harapan Bapak terwujud, aku menjadi anak yang lebih lunak setelah pesantren. Akan tetapi, apakah itu sudah cukup?
Berpikir Putra, berpikir !
Bukankah engkau pemenang?
"Setiap manusia itu lahir dari persaingan ketat calon manusia. Jumlah sel yang disemburkan dari calon ayah itu berjumlah jutaan."
"Jadi, kalau ada manusia lahir dan saat dewasa ia menyerah kalah, ia mestinya malu pada sel kecil yang memenangkan persaingan dari jutaan rekan lainnya yang telah gugur ketika ia memenangkan pertarungan, hingga lahirlah dirinya."
Pengantar dari doktor Suwignyo dalam materi kuliah anatomi manusia seolah - olah terngiang kembali di telingaku petang ini.
###
Semalaman aku berpikir, saat aku terasa letih, penat dan dihampiri rasa 'aku tertolak', aku memperbanyak istighfar.
Aku teringat dengan logika kerang mutiara. Mengapa kerang mampu menghasilkan mutiara?
Sebab ia mendapat ujian masuknya pasir dalam dirinya. Perih dan luka ia bungkus dengan kekuatan dari dalam dirinya, hingga ia tumbuh menjadi mutiara.
Aku membaringkan diriku di atas tempat tidur pada pukul dua dinihari, setelah aku memanjangkan sujudku di atas sajadah.
Bada Isya tadi, aku tetap makan malam bersama Bapak dan Ibu seperti biasanya, aku tidak ingin luka ini menjadi penyebab sedihnya ibu. Adik bungsuku Lintang, masih bersekolah di boarding school yang ada di Godean, sedangkan Mbak Tari kakak sulungku sudah berumah tangga, ikut bersama suaminya, menetap di Jakarta.
Aku belum ingin bercerita. Terlebih kepada Bapak, aku berusaha menjaga rahasia hatiku. Aku masuk ke dalam goaku.
Kemungkinan besar jika bapak tahu masalah penolakan ini, Bapak akan menjawab 'Perempuan di dunia ini tidak cuma satu. Masih banyak perempuan shalehah yang lainnya, yang bersedia untuk kamu nikahi'.
Aku berpikir keras, tengah malam setelah membaca Al Qur'an, penawar kegalauanku, aku membuka google chrome, aku ketik "Kiyai Shobron Magelang". Data yang ditampilkan cukup lengkap.
Aku pernah mendengar nama itu terucap dari lisan Laila ketika kami sedang ada acara field trip pencarian vegetasi unik di bukit Menoreh.
Laila peserta, sedangkan aku sebagai pendamping kelompok. Dalam acara itu sebenarnya Laila tidak bertanya kepadaku, namun bertanya kepada Wening, teman sekelasnya yang berasal dari Salaman, Magelang.
"Wening, apa rumahmu dekat dari sini?"
"Udah kita lewati , Laila. Monggo pinarak. Mampir!"
"Kamu pernah pesantren juga, Wen? Bacaan Al Qur'an-mu bagus."
"Aku pernah mondok, tetapi cuma sebentar. Cuma kuat satu tahun. Aku sakit-sakitan. Bapakku dulu santri lama."
"Nyantri dimana?"
"Nyantri di pesantren salafiyah. Masih dekat rumah. Kalau pingin ke pesantren yang besar di Magelang bisa anjangsana ke Kiyai Shobron. Santrinya banyak, hampir seribu. Ada Diniyah, Tsanawiyah dan Aliyah-nya juga. Kalau kamu mau, aku bersedia mengantar kamu ke sana, mereka sangat welcome."
"What's? Kiyai Shobron, kayaknya itu teman abahku."
Ekspresi kaget dan pertanyaan Laila tentang Kiyai Shobron itu, dulu aku kira hanya kekaguman saja akan pesantren yang santri yang hampir seribu.
Ternyata kemungkinan sebab perjodohan itulah Laila sangat antusias. Sudah biasa di kalangan kiyai, menikahkan anaknya dengan putra kiyai pula.
Seperti zaman-zaman terdahulu, para raja menikahkan putri mereka dengan putra raja.
Aku tunggu mesin pencari bekerja, jantungku berdetak-detak. Menunggu mesin pencari menampilkan semua informasi terkait Profil kiyai Shobron Magelang.
Berhasil.
Ada nama pesantren sekaligus alamat lengkap yang dimaksud Laila.
Fiks, aku harus menemui Hafidz terlebih dahulu.
-bersambung-
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar