Muslimah, S.Si

Seorang ibu juga guru yang mengeja kata dalam cerita bahagia. Hidup di lingkungan Pesantren Bahrul Ulum Bandung dengan mengajar Matematika di SMP Hidayat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sekeping Hati (Bagian4)

Sekeping Hati (Bagian4)

Sekeping Hati

#ikhtiar

#part4

POV Putra

Rencanaku, pagi ini aku bergegas merapikan diri setelah shalat subuh berjamaah di masjid, membaca dzikir pagi, sarapan bersama Bapak dan Ibu. Setelah itu akan ke kampus dan meluncur ke Magelang. Semoga berhasil sesuai rencana. Namanya juga ikhtiar.

💌💌

Kenyataannya, saat aku hendak melangkahkan kaki keluar dari masjid, Pak Tejo menjajariku, ia mengajak ngobrol denganku.

"Mas, Assalamualaikum.. Pripun kabare?"

Ia menyalamiku dan memberi isyarat agar aku duduk bersamanya di suatu susut ruang utama Masjid Al Ikhlas. Aku mengangguk, menuruti permintaan beliau.

"Wonten nopo nggih, pak?"

(Ada apa ya, Pak?)

"Begini Mas.... Saya mau minta tolong. Itupun kalau Mas Putra bersedia membantu. Semoga Mas Putra ada waktu untuk ini."

"Ada apa ya, Pak? Sepertinya sangat penting?"

"Iya, ini berawal dari keprihatinan saya akan keadaan anak muda di sekitar lingkungan desa kita. Kalau Mas Putra ada waktu, tolong anak-anak muda dikumpulkan kemudian dibentuk remaja masjid. Dihidupkan kembali."

"Loh,, pengurus yang lama bagaimana, Pak? Terus terang, saya tidak berani melangkahi mereka untuk urusan ini."

"Mas Putra kan tahu sendiri, ketua yang lama serta Bendahara dan sekretarisnya itu dulu mendadak berpamitan. Mereka fokus bekerja sehingga kegiatan remaja masjid tidak tergarap lagi."

"Apa menurut Bapak saya sanggup? Saya juga bekerja di kampus, Pak. Malah pagi-pagi sekali saya biasanya sudah berangkat. Agar tidak terjebak macet di daerah Gondokusuman."

"Mas Putra tidak perlu terjun langsung secara detilnya. Kami sebagai DKM nanti memfasilitasi, kita kumpulkan lagi para muda mudi Islam yang ada di sekitar masjid ini, kemudian konsep yang Mas Putra buat disampaikan. Harapannya menjadi inspirasi dan Mas Putra bukan sebagai ketua, lebih berperan sebagai dewan formatur saja, Mas."

"Oke, kalau begitu, Pak. Terus terang kalau saya terjun sebagai ketua dan menggerakkan mereka, waktu saya belum tentu cukup. Akan tetapi, kalau merancang program dan membantu terbentuknya pengurus baru, akan saya usahakan."

"Sip kalau begitu, nuwun nggih, Mas Putra".

"Sami-sami, Pak."

Aku ingin segera berlalu, menyalaminya karena obrolan kami sudah cukup lama, selain membahas program pemuda, Pak Tejo juga mengajak diskusi mengenai pengembangan ekonomi untuk masyarakat desaku.

Saat aku sudah berdiri, tiba-tiba Pak Tejo berucap.

"Mas, sampeyan sudah punya calon istri?"

Aku hanya tersenyum simpul sambil mengucapkan "Pangestunipun, Pak."

"Kalau belum ada calon, bisa saya Carikan calon untuk Mas Putra."

"Mboten sah repot-repot, Pak."

Aku menolak halus. Segera berlalu dan berjalan kaki menuju rumah.

💌💌

Aku menghirup nafas agak dalam di depan rumah, sambil menikmati udara pagi yang segar,memanjakan mataku dengan memandangi taman ibu.

Duduk sejenak di teras rumah, sambil membaca beberapa chat yang masuk ke gawaiku.

Rumah ini tetap nyaman bagiku, aku akan berpikir berulang kali untuk meninggalkannya, hatta aku menikah, kecuali..... Jika aku harus menetap di tempat lain yang lebih memberi manfaat besar bagiku dan masyarakat tentunya.

Halaman rumah ini dipenuhi berbagai macam bunga, berwarna-warni jenis vinca, rose, zinnia dan anggrek. Balkon depan kamarku dan kamar Lintang juga diberi pot dengan tanaman yang menawan. Untuk tanaman hias di balkon ibu lebih memilih jenis tanaman seperti sansievera dan ada beberapa jenis tanaman lainnya.

Selain cantik dan ramah, ibuku memang bertangan dingin terhadap tanaman.

Setiap jenis tanaman yang beliau rawat selalu tumbuh subur dan menawan untuk dipandang mata. Aku sering diam-diam mengamati beliau merawat taman, bahkan untuk beberapa jenis bunga perawatannya istimewa agar daunnya mengkilat dirawat dengan mandi susu.

Mandi susu ini bukan di wastafel atau bath up, mandi susu yang aku maksud adalah dipercikan susu cair kemudian dilap menggunakan kain agak basah. Kinclong.

"Pagi-pagi kok sudah melamun, tho?"

Pertanyaan Bapak mengagetkanku.

"Oh..eh, Bapak..", aku berusaha menetralkan canggungku. Terciduk melamun sungguh tidak nyaman.

"Rencananya kamu hari ini sibuk apa, Le?"

"Cukup padat agenda hari ini. Doakan lancar semua, ya, mohon doa restu dari Bapak. Ada urusan cukup penting ke Magelang."

"Ada perlu apa ke Magelang? Mau kawin?"

"Rencananya Putra mau studi banding ke Pondok Pesantren milik Ustad Shobron, Pak. Pesantren Riyadhu Shalihin. Saya baca - baca di internet pesantren itu berkembang pesat, santrinya mencapai seribu."

"Lah opo kowe pingin bikin pesantren?"

"Siapa tahu anak-anak yatim dan dhuafa yang jadi anak asuh Bapak itu, bisa kita didik dan menjadi cikal bakal pesantren, Pak."

"Awakmu iki lucu, lulusan Biologi, lagi arep golek beasiswa S2 trus malah kepikiran pesantren kanggo bocah yatim."

Bapak meragukan pemikiranku. Bapak geleng-geleng sambil tersenyum.

Ataukah Bapak curiga dengan niat tulusku ke Pesantren Ustad Shobron untuk ngapain?

Iya juga aku itu aneh, tetapi setelah aku pikir-pikir panjang, itulah salah satu cara aku bisa ketemu Ustad Hafidz di pesantren Riyadhu Shalihin, Magelang.

"Mboten nopo-nopo, tho, Pak. Tidak semuanya mesti menggunakan kedua tangan kita. Kita bisa kok mencari relawan yang mau menjadi ustadnya, bisa menggunakan salah satu aset yang ada untuk rumah singgah cikal bakal pesantren Yatim Dhuafa tadi."

Bapak mulai manggut-manggut.

"Tapi kudu ikhlas tenan kui, cita-citamu ini mulia. Beneran kan kamu mau mewujudkannya? Ora mung anget-anget tai ayam, thok."

"Serius tho, Pak. Sejak kapan anak Bapak ini jadi tukang ngmpi."

"Ya wis, tak dukung."

Aku memang pernah membayangkan untuk mewujudkan tentang rumah singgah yatim dan dhuafa ini. Terlebih saat merancangnya dalam anganku akan kubangun untuk Laila nantinya.

Walau saat ini kemungkinannya kecil, namun tidak mengapa aku justru membangun cita-cita itu. Bersama kesulitan ada kemudahan.

###

Setelah urusa dari laboratorium selesai, aku mencuci muka dan berwudhu di Masjid Fakultas. Aku mematut diri di depan kaca. Mengganti baju kerjaku dengan baju Koko robbani yang sudah aku siapkan dari rumah.

Aku mengemudikan Avanza hitam yang biasa aku gunakan ke kampus, menuju jalan Magelang. Beruntung jalanan tidak terlalu padat.

Berbekal petunjuk dari google map aku bisa menemukan lokasi pesantren Riyadhu Shalihin dengan mudah. Hampir dua jam baru sampai.

Pesantren ini di depannya dijaga oleh seorang satpam. Berpagar tembok cukup tinggi dengan pos satpam di dekat pintu gerbang.

"Assalamualaikum, Mas. Mau menjenguk siapa? Kelas berapa? Membawa kartu wali"

"Waaah, saya mau shilaturahmi, bertemu ustad Hafidz, Pak."

"Sudah janjian sebelumnya?"

"Belum. Apa Ustad Hafidz ada?"

"Ada di dalam, Pak. Mohon maaf Bapak tinggalkan KTP di saya ya, ini sebagai prosedur dari kami. Agar tercatat dengan rapi siapa yang berkunjung ke pesantren."

"Oh, baik. Ini KTP saya."

Aku angsurkan KTP ke petugas pos keamanan pesantren.

Demi mendapatkan berbagai data dan fakta mengenai Hafidz aku rela sekaligus mencari ilmu tentang membangun pesantren ini.

Gedung-gedung pesantren nampak terawat, halaman utama tempat bermain para santri nampak bersih dan luas. Ada ruang tamu khusus untuk menjamu tamu.

Bahkan ada rumah khusus untuk menginap keluarga santri yang datang dari jauh.

Aku berdecak kagum setelah sekilas memandangi berbagai bangunan. Selain itu, aku spontan berucap "Apakah Laila berjodoh denganku atau dengannya?"

Baik denganku atau dengan Hafidz aku tidak boleh menyerah kalah. Aku perlu ikhtiar maksimal.

Aku membenarkan posisi dudukku sambil melihat foto keluarga Ustad Shobron di ruang tamu itu.

Ruang khusus tamu pesantren yang terpisah dengan rumah para ustad. Ruang tamu itu menyatu dengan rumah inap untuk wali santri dari jauh yang datang menjenguk putra putrinya. Aku membaca petunjuknya yang tertera di depan ruangan ini.

"Assalamualaikum". Sebuah suara cukup ngebass terdengar di telingaku.

Nampak seorang Ustad muda menyembul dari balik pintu ruang tengah.

Aku kaget, spontan berdiri. Menyalaminya.

"Waalaikumussalam, Ustadz. Perkenalkan saya Putra Adi Wijaya, dari Kasihan, Bantul."

"Ooooh... Saya Hafidz. Monggo-monggo pinarak...."

"Ada perlu apa ya Mas? Jauh-jauh datang kemari?"

"Saya mau minta tolong ke Ustadz, mau belajar sejarah juga."

"Bukan mau menitipkan santri?"

"Bukan, rencananya saya ingin belajar untuk membuat pesantren kecil-kecilan."

"Waah bagus itu, ngomong-ngomong Mas Putra kelihatannya pernah pesantren juga ya?"

"Alhamdulillah waktu SMP dan SMA saya pesantren di Kalten, trus kuliah di MIPA. Alhamdulillah sekarang sudah lulus."

"MIPA jurusan apa Mas? Saya ada kenal dengan salah satu mahasiswa disana, namanya Laila. Mungkin Mas Putra kenal?"

"Oh ..itu adik tingkat, Ustadz."

"Bukan satu angkatan ya?"

"Bukan. Jadi bagaimana ustadz bagusnya untuk manajemen pengelolaan pesantren yatim dan yatim dan dhuafa yang masih baru? Dengan santri sekitar 15 orang"

"Niatkan lillaahi ta'ala. Membimbing ummat ini. Biar Allah SWT yang memberikan jalan. Bukan karena dunia, tahta, harta maupun wanita."

Deg, hatiku seperti ada yang menusuk. Benarkah aku sudah lillaahi ta'ala?

Aku seperti tertusuk sembilu, tersindir mengenai niat kedatanganku.

Haruskah aku merelakannya?

Tekadku sudah bulat. Jangan berubah menjadi putus asa di tengah jalan. Putra kamu bisa. Aku menyemangati diri.

Obrolan kami berlanjut, ustadz Hafidz ternyata sangat welcome dan humble, dia sendiri menyodorkan kartu nama berisi nomor HP beliau.

Katanya saat aku berpamitan

"Jangan sungkan jika ingin bertanya pada saya, kita ini bersaudara. Kalau ada kesulitan yang perlu ditanyakan hubungi nomor hp saya langsung. Jika luang, biasanya saya langsung membalas."

"Syukran, Ustadz."

"Iya, hati-hati di jalan. Fii amanillaaah..."

"Aamiin. Assalamualaikum".

💌💌

POV Laila

Sayup-sayup aku menderas hafalanku di teras rumah Abah. Rumah Abah tepat berada di depan lapangan olahraga. Di sebalah lapangan ada masjid Ar Rozak. Masjid untuk shalat berjamaah seluruh santri. Santri putri di sebelah kiri, santri putra di sebelah kanan, diberi hijab dari kain berwarna coklat tua tanpa motif. Polos.

Aku melihat para santri bermain sepak bola di sore hari. Mereka selain thalabul Ilmi juga membutuhkan oleh raga.

Dinda sedang tidur di kamarku, setah seharian ia berziarah ke makam sunan Kudus, ia kelelahan dan berbaring lagi setelah shalat ashar.

Di ruang tamu Abah sedang video call dengan ustad Shobron, Karena loud speaker aku mendengar pembicaraan Abah bersama sahabatnya itu dengan cukup jelas. Nama abah Lukmanul Hakim, bersahabat dengan Ustadz Shobron semenjak pesantren di kyai Mamun semenjak mereka muda belia.

Saking akrabnya, ada niatan tulus untuk menyatukan antara aku dan Hafidz. Hatiku mencelos. Ada kecewa di mataku.

"Kyai, gimana kabarnya?"

"Apik, kang. Panjenengan pripun?"

"Laaah niku, aku itu berencana besok meminta Hafidz ke Kudus."

-bersambung-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen cerpennya. Sukses selalu. Salam literasi

14 Oct
Balas

Wow cerpen yang luar biasa keren dan sukses selalu dan barakallahu fiik

14 Oct
Balas



search

New Post