Muslimah, S.Si

Seorang ibu juga guru yang mengeja kata dalam cerita bahagia. Hidup di lingkungan Pesantren Bahrul Ulum Bandung dengan mengajar Matematika di SMP Hidayat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Sekeping Hati (Part1)
Sekeping Hati

Sekeping Hati (Part1)

Sekeping Hati

Namaku Laila, Lailatu Najmi. Aku seorang putri kyai pondok pesantren Wildanul Muttaqin di Kudus.

Semenjak lulus SMA aku sudah dijodohkan dengan Hafidz seorang penghafal Al Qur'an sekaligus penerus pondok pesantren di keluarganya.

Dengan berat hati Abah mengizinkanku kuliah di Biologi.

"Nduk, beneran kamu ingin kuliah jurusan Biologi?"

"Inggih, Bah", aku duduk terpekur, tidak berani menatap wajah Abah.

"Apa tujuanmu kuliah Biologi?"

"Laila ingin mendekat dengan Allah SWT setelah memahami berbagai ciptaan-Nya, Abah"

"Apa menurutmu dengan melihat alam semesta dan men-tafakurinya saja masih kurang?"

"Ada jiwa penasaran dalam diri saya, Abah".

"Misale opo, Nduk?"

"Laila ingin melihat makhluk-makhluk kecil dari balik mikroskop, agar Laila menjadi orang beriman yang lebih tunduk dan patuh pada jalan yang lurus, Abah...".

"Niatmu baik, Abah memberimu izin, tetapi dengan syarat, apa kamu akan sanggup?"

"Syaratnya pripun, Abah?"

"Syaratnya ada dua. Pertama kamu kuliah sungguh-sungguh, di sana jaga diri baik-baik".

Aku mengangguk setuju.

Itu akan mudah bagiku.

"Syarat yang kedua, kamu tidak boleh jatuh cinta dengan siapapun, tidak boleh pacaran. Pacaran itu dosa, selain itu juga karena Abah sudah berjanji dengan kyai Shobron di Magelang untuk menjodohkanmu dengan putranya, namanya Hafidz seorang santri yang juga penghafal Al-Qur'an sekarang sedang kuliah tafsir Hadist di Al Azhar".

Mataku berkaca-kaca, ada bahagia sebab aku sebagai putri kiyai diijinkan oleh Abah untuk kuliah di jurusan Biologi, namun ada sedih menggelayut, mengingat perjodohan yang tidak pernah meminta pertimbanganku.

Aku belum pernah bertemu dengan Hafidz secara langsung, aku hanya melihat fotonya sekilas yang ditunjukkan Abah.

Kulitnya coklat, wajahnya bulat, dengan perawakan tinggi besar, berambut lurus dipotong cepak, namun tampak pancaran iman di wajahnya. Ketampanan Hafidz bukan seperti pesona tokoh Fahri dalam novel ayat-ayat Cinta, tetapi aku harus menuruti apa kata Abah, jika tidak, bisa runyam semua urusan.

###

Sekilat kenangan tentang izin kuliah itu melintas, juga saat aku masih sering menenteng tas ranselku di awal kuliah. Tas yang penuh berisi modul perkuliahan juga lembaran-lembaran laporan praktikum Biologi. Kini, sebentar lagi aku akan wisuda.

Aku masih ingat waktu awal berorganisasi di kampus, badan sering berpeluh karena outbond ke Kaliurang. Menyibak semak menyusuri sungai, juga menerobos hujan dalam basah kuyup yang membuatku menggigil. Jogja bagian Utara yang terkenal sejuk dan dingin. Lereng gunung Merapi dengan pepohonan yang rimbun, nampak hijau dari kejauhan.

Sayangnya, saat di kampus ada sosok yang membuatku terpukau. Ia seorang kakak tingkat yang karismatik.

Seringkali aku hanya bisa melirik sekilas, ekor mataku menangkap akan wajah teduh dengan suara bariton yang berwibawa. Namanya Putra Adi Wijaya, seorang kakak tingkat yang cukup menarik bagi sebagian pengurus organisasi kemahasiswaan jurusanku. Dahulu, dia pernah menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Biologi.

Bisa jadi, aku hanyalah satu dari sekian mahasiswi yang sering membicarakannya di sela-sela aktifitas mahasiswa yang padat.

Aku hanya mengobati diri, juga menawarkan hatiku bahwa catatan takdir kami berbeda.

Terbentang jarak antara aku dan kak Putra, juga perbedaan prinsip keluarga. Meski hanya sebagian orang yang mampu memahaminya.

Seperti sebuah goresan takdir yang tidak nampak, namun cukup berpengaruh dalam hidupku.

Sampai kini aku sudah skripsi, teman-teman di kampus tidak ada yang mengetahui bahwa aku sudah dijodohkan oleh Abah kepada Muhammad Hafidz Abdillah yang kini telah menjadi seorang sarjana tafsir hadist lulusan Al Azhar, Cairo.

Di sinilah kisah itu bermula.

###

Secara pribadi, aku ingin bebas menentukan pilihan hidup, termasuk pasangan hidup. Suami yang akan mengayomi, memenangkan hatiku.

Peliknya, saat aku sudah selesai sidang skripsi, Dinda sebagai sahabatku menyampaikan berulang, bahwa kak Putra menyukaiku. Serius. Ia ingin mendatangi keluargaku. Memintaku untuk diijinkan menikah dengannya. Aku sendiri tidak pernah menggubris pesan dari Kak Putra, aku sadar diri bahwa sulit bagiku untuk menjadi miliknya, kecuali..... takdirnya demikian.

"Laila, ini ada pesan dari Kak Putra"

"Hmmmm, apa siiih?"

"Kak Putra serius nih, ingin bicara serius dengan kamu"

"Bilang saja aku sibuk, ga ada waktu. Aku butuh menyelesaikan revisi skripsi".

"Laila, serius nih, aku buatin janjian ya".

"Jangan! Lebih baik tidak. Aku tidak ingin memberi sebuah harapan".

"Dari wajahmu, aku tahu, kalau kamu Laila tu Najmi juga ada rasa sama Kak Putra. Lalu, buat apa kamu menghindari dia terus menerus? Jangan membohongi diri Lai....."

"Aku tidak ingin berdosa. Juga tidak ingin mengecewakan".

"Sepertinya Kak Putra pun tahu, kalau kamu juga menyukainya, Laila....".

"Sudahlah.... Bilang sama dia untuk mencari yang lain"

"Tidak semudah itu keleeeesss..."

"Tetapi bisa dicoba Dindaaa".

"Ini masalah hati, say. Kamu tahu kan bahwa kak Putra itu cowok yang dingin, melankolik dan ..... TIDAK MUDAH JATUH CINTA"

"Iya aku tahu, karena sebab itulah aku tidak mau berdosa sekaligus durhaka".

"Jadi?"

"Ga perlu ketemu dia".

"Aku cariin waktu ya".

"Tak perlu Dinda, aku sangat sibuk sekarang". Aku mencoba menghindar, agar kami tidak pernah bertemu antara aku dan kak Putra untuk membahas tantang rasa yang ada di hati kami.

##

Suatu sore, dua hari sebelum aku pulang ke Kudus, entah bagaimana, saat aku dan Dinda sedang berdiskusi di meja taman kampus.

Tiba-tiba kak Putra datang.

Ia duduk di bangku kosong, tepat di hadapanku. Hatiku berkata 'gawat, harus segera kabuuuur'. Namun, Dinda bersikeras mencegahku saat hendak beranjak.

Terpaksa, kami berbincang bertiga, aku, kak Putra dan Dinda. Sepertinya diam-diam Dinda yang merencanakan tanpa persetujuanku terlebih dahulu.

Benar saja, kak Putra menyampaikan maksud hatinya, ingin serius mengajakku menikah, sedangkan aku sudah terpasung dengan perjodohan yang ditetapkan abah. Apakah aku harus berterus terang?

Putra adalah laki-laki yang baik, shaleh, wajahnya bersih, sudah lulus kuliah.

Sedangkan aku baru selesai yudisium, tinggal menunggu wisuda.

Semua berkasku untuk wisuda sudah lengkap. Abah memintaku pulang dua hari yang akan datang, lusa.

Kata Abah melalui video call "Kamu kalau sudah selesai kuliah, sudah selesai berkas wisuda, segera pulang, Abah bermimpi kamu diganggu oleh Harimau di kampus, Abah khawatir.... "

"Abah ini.... ada-ada saja, di kampus ga ada harimau, Abah".

"Loooh, jangan gegabah kamu, Nduk. Ini firasat seorang Bapak untuk putrinya, jangan-jangan ada yang mengganggumu di kampus".

"Mmmmm... Mboten , Abah", aku mencoba pura-pura tetap tenang. Seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.

"Tenan loooh, besok lusa aku minta lek Sarip menjemputmu, kamu siap-siap".

Aku di hadapan Abah seperti kerbau yang dicocok hidungnya, malam sesudah Abah menelepon, aku pun berkemas, memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Mencicil pekerjaan, agar aku tak kelelahan.

Bagitulah Abah, titahnya sakral bagiku.

##

Sore hari, dua hari sebelum kepulanganku.

Dinda ingin segala sesuatu menjadi terang, seterang lampu philips di ruang tamu kost tercinta. Dinda tidak tahu bahwa aku sudah dijodohkan, begitu pula kak Putra.

Perbincangan itu terasa berat bagiku.

Aku sendiri enggan, parti kami akan terluka masing-masing.

Bener tooooh... Kak Putra mengeluarkan sebuah kotak, berisi cincin emas, entah berapa gram. Nekat. Aku mengetahuinya setelah ia membukanya.

Sambil membuka kotak, ia berkata ...

"Laila, bisakah kamu menerimaku?", Kata kak Putra.

Hatiku bergumam 'So sweet juga sebenarnya kak Putra, pemberani'.

Hatiku berdegup. Dinda senyum-senyum , mengangguk, isyaratnya menyuruhku menerima.

"Itu hal yang be-rat untukku....", aku menepis kotak itu dengan perlahan. Suaraku mengambang diantara desau angin sore hari di kota Jogja.

"Sebab apa?"

"Aku sudah dijodohkan semenjak lulus SMA. Jodohku sudah menunggu"

"Laila, kamu bercanda, kan?!!", tanya Dinda tidak percaya.

"Tidak, Din! Ini serius. Abah yang menjodohkan kami"

"Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Laila. Ini zaman kebebasan. Kamu bebas mengutarakan hakmu pada Abah dan Umma!", kata Dinda mencecarku.

"Aku hanya ingin berbakti, toh yang dijodohkan untukku laki-laki yang ba-ik", suaraku tercekat.

Kerongkonganku terasa kering.

"Mengapa kamu tidak pernah menceritakan pada kami, Laila?".

"Aku ingin tetap kuliah sewajarnya. Itu hanya hal pribadi, kan?".

"Tidakkah cinta bisa kita perjuangkan?", Cetus kak Putra.

"Maaf, setahu aku, tidak diperkenankan seorang laki-laki meminang di atas pinangan laki-laki yang lain".

"Bisakah engkau yang mengambil langkah untuk kita?", tanya kak Putra.

"Sayangnya hidupku untuk berbakti. Maaf, aku tidak bisa melakukannya".

"Bukankah takdir kita bisa kita usahakan, Laila? Aku akan datang kepada Abah untuk memintamu agar diijinkan bersanding denganku".

Aku melihat wajahnya sedikit berubah. Sebuah raut muka antara sedih, kesal dan kecewa, berbeda dengan waktu ia datang dan duduk dengan wajah berseri.

"Kak Putra, carilah orang yang lain, yang bisa menggenapkan hidupmu. Cukup bagiku itu sebagai jalan hidup kita!".

"Aku rasa hidup tidak seperti itu jika aku telah menjatuhkan pilihan".

"Ini bukan sebuah pilihan, ini tugas bagiku, sebagai Laila putrinya Abah".

"Bisakah engkau menjalani hidup tanpa rasa?"

"Aku pikir, aku hanya butuh belajar menerima. Tanpa perlu membandingkan suamiku nanti dengan siapapun".

"Tidak demikian untukku, apakah menurutmu, aku bisa meninggalkan jejak begitu saja?"

"Aku terpaksa harus demikian. Bukan lagi kompromi".

"Laila..aku bersungguh atas niatanku untuk kita".

"Lupakan aku, carilah orang lain. Catatan takdirku berbeda".

"Bolehkah aku datang kepada orang tuamu?"

"Jangan, aku tidak ingin banyak hal menjadi runyam. Cukup sudah bahwa ini tidak boleh dilanjutkan. Mungkin salahku sendiri, jatuh cinta bukan pada orang yang tepat".

"Aku tidak bisa begitu..."

"Lupakan bahwa kita pernah di titik yang sama. Anggap bahwa takdir kita berbeda".

"Harusnya aku yang berkata demikian, aku tidak pernah menyesal telah jatuh cinta pada Lailatu Najmi".

"Cukup sampai di sini! Aku perlu segera beranjak juga berbenah. Lusa aku pulang".

"Tidakkah masih ada kesempatan lain untuk berjuang atas nama cinta?"

"Aku tidak ingin menambah runyam. Lupakan aku. Jangan pernah menghubungi aku. Aku milik orang lain nantinya".

Aku lihat matanya berkabut, sayangnya aku tidak bisa mengambil langkah lain. Selain pasrah. Menerima Hafidz dalam kehidupanku.

Sesampai di kost entah berapa banyak tisu yang aku habiskan. Airmataku tumpah. Aku terisak-isak dalam tangis di atas bantal.

Aku tercekat, sebelum tadi sore pulang, saat aku beranjak dari kursi taman....

Saat beranjak dari kursi taman....

Aku mendengar sebuah kalimat tenang, mengalir seperti air sungai yang mengalir jernih. Namun, membuatku berdegup kencang.

"Aku seorang laki-laki! Sebelum janur kuning melengkung, aku akan datang kepada Abah....".

Akankah rencana Abah tetap berjalan sempurna?

-bersambung-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang luar biasa... tapi masih penasaran cerita selanjutnya, salam literasi...ijin saling follow bunda..

12 Oct
Balas

Terima kasih , sudah saya posting bagian kedua

13 Oct
Balas



search

New Post