Musni,S.Pd

Lahir Bukit Nenas 19 April 1981 Dinas di SDN 003 Bukit Kapur Dumai Provinsi Riau Memiliki 3 anak dengan 2 putra dan 1 putri Sandhika Alvabimayu, Salsab...

Selengkapnya
Navigasi Web

Duri dalam Sekam

Duri dalam Sekam

Izinkan aku bahagia satu kali saja. Aku lupa kapan terakhir kali aku bahagia. Bahagia seperti kata asing yang hampir saja hilang dari kosakata pada otakku. Cukup lama aku telah kehilangan memori bahagiaku, hingga 15 tahun menjadi waktu yang lelah untuk menemukan kembali momen itu. Sayatan luka terus menggerogoti hati yang kian membeku walau secara fisik aku sekuat batu.

Tak ada kata lelah dalam hidupku namun lillah pengganti setiap sesak mulai bermain dikelopak jiwaku. Tak ada target dalam hidupku, semua berjalan mengalir seperti telaga biru.

Pernikahan seperti inikah yang kau mau? jerit hatiku. Sosok suami seperti itukah pilihanmu? Lelaki yang begitu tenang, tak pernah menggebu-gebu disetiap menjejaki perjalanan bersamamu. Tidak ! lelaki tenang memang pilihanku tetapi bukan sedingin salju. Dia memang lelaki ideal mendampingiku tapi sikapnya mencabik-cabik setiap relung hatiku.

Ya, dia suami terbaikku tetapi lelaki asing bagiku. Dia lelaki baik dalam memperlakukanku, namun selalu aneh dalam bersikap. Jauh dari sifat emosional apalagi tempramental. Tutur bahasanya tak pernah menyinggung perasaanku, namun sayang, perhatiannya tak pula pernah untukku. Terbesit dalam benakku, adakah wanita lain dalam hidupmu?, apakah aku bukan pilihan hatimu?. Tidak sempurnahkah aku dihadapanmu?. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul dalam isi kepalaku, namun tak sepatah kata pun mampu kulepaskan dari bibirku.

Hingga disuatu pagi yang cerah, saat azan subuh berkumandang, ku pandangi tubuhnya yang tegap walau tidak tinggi untuk ukuran lelaki terbaring diruang TV di atas springbed yang ku beli beberapa bulan yang lalu sebagai kenangan hasil proyek kecilku. Aku ingin membangunkan tidurnya namun aku terlalu takut menyentuh tubuhnya. Kulihat wajahnya yang penuh kelembutan terbaring tanpa beban. Tangannya yang kokoh memeluk erat guling hijau milikku, ahh, kapan pula dia mengambil dari kamarku. Kutatap pelukkan eratnya pada gulingku, ya rabb, andai dia tahu aku yang butuh pelukkan itu untuk menghangatkan hatiku yang sedingin salju, aku yang terlalu ingin digenggam erat untuk mendamaikan hatiku, aku yang ingin berbaring tepat diatas lenganmu untuk mencari perlindungan disetiap ketakutanku tentang hari esok. Aku istrimu yang seharusnya pantas memperoleh perlakuan semua itu.

Lamunanku terhenti saat jeritan tangis sikecil memecah ruangan rumahku, dia terjaga dari tidurnya dan menatap sinis padaku karena membiarkan tangisan anakku memecah kesunyian pagi dalam lelap tidurnya. Matanya mengisyaratkanku untuk pergi meninggalkan sosok suamiku yang sekian menit ku tatap dengan 1001 pertanyaan. Dalam hatiku berkata bagaimana jika suatu saat aku akan meninggalkan mu bukan untuk keruangan kamar tapi pergi jauh dari kehidupanmu, apakah kau akan masih pada tatapan yang sama?.

Kuangkat sikecil pada gendonganku, ku tenangkan anakku dari tangisannya, “Diamlah anakku sayang, berhentilah menangis, kau masih terlalu kecil untuk ketakutan disetiap kesendirian, biar ibu saja yang menangis untuk setiap kesendirian dikamar ini”, bisik lirihku pada anak bungsuku.

2,5 tahun aku sendiri terbaring dikamar ini tanpamu, namun tak setetes pun air mata jatuh dibantalku, bukan karena tipe ku penyabar tapi karena aku mulai tegar. Saat sikecil tenang dari tangisnya perlahan mulai tidur kembali, ku letakkan ia diatas tempat tidurnya, ku hangatkan tubuhnya dengan selimut lembut sebagai pengganti pelukkanku, agar tidurnya nyaman. Aku pun bergegas keluar kamar untuk berwudhu. Langkahku terhenti saat ku lihat suamiku tengah duduk dihadapan meja kerjaku diruangan TV, ku lihat dia menatap isi laptopku dengan microsoft word sebagai layar yang terbuka, dia membaca tulisanku sambil menyeruput kopi diatas meja.

“Sejak kapan mama suka minum kopi, bukannya mama nggak suka pahit,” ucapnya. Didalam hatiku berkata, “ ehmmm, kopi ini masih kalah pahit dari kehidupan yang kau suguhkan untukku”.

Hanya diam, aku pun pergi meninggalkannya menuju kamar mandi untuk berwudhu. Aku hanya ingin mengadu pada rabbku, karena aku tahu hanya rabbku yang maha tahu seberapa berat beban hatiku, seberapa kuat ketegaran menghadapi sikapmu, sebesar apa keinginanku untuk berlari meninggalkanmu. Hanya rabbku yang pantas melihat sedu sedan ku, hanya rabbku yang layak melihat setiap butiran mutiara putih yang mengalir deras dipipiku, hanya rabbku yang mampu memelukku disetiap ketakutanku. Aku tak pernah berharap lebih dari mu, aku tak lagi berharap bahumu untuk menyandarkan setiap tangisanku, aku tak lagi berharap pelukkanmu untuk menenangkan kegalauanku saat lingkungan, sahabat, rekan kerja mulai mengusik hatiku dengan goresan luka pada sayatan pisau tanpa rupa seperti belasan tahun yang lalu. Aku berhenti berharap semua tentang mu.

***

Dengan keterbatasan ilmu seni membaca alquranku, ku didik anak-anakku mencintai alquran sebagai tuntunan disetiap perjalanan kehidupan. Pukul 19.00 wib handphone ku berdering, ku lihat layar hp ku sambil bergeming “ tumben, suamiku menelpon, ahh, apakah dia ingin menanyakan makanan kesukaanku dan anak-anakku, untuk dibawanya pulang.” Namun dia bukan bertanya itu, dia hanya ingin mengabarkan padaku kalau dia sudah diseberang lautan. Proyek tambang kecil-kecilannya sedang mengalami goncangan dan dia harus turun tangan menyelesaikan kemelut ditubuh perusahaan. Dan dia berjanji 2 minggu lagi pasti pulang saat hari ulang tahun pernikahan kami yang ke 15 tahun. Aku hanya menjawab seadanya, berpikir semoga ombak buas yang kau lihat ditengah lautan itu adalah aku, menghempas hingga kedasar lautan, menggulung-gulung alam hingga habis nafas kehidupan, memecahkan angin yang bertiup kencang dan menggulungmu hingga hilang tak kelihatan.

***

Pagi itu aku telah lengkap dengan baju dinas pemda ku, perlahan ku sarungkan khimar penutup kepalaku hingga menutupi sebatas lututku. Kurapikan lipstik berwarna soft yang sedikit keluar dari bibirku, ku lihat dari balik kaca suamiku masuk kekamar dan duduk disudut springbed sambil menatap ku. “ Mama cantik ya hari ini, papa bangga punya istri seperti mama”. Rasa nya nyesek waktu dengar suaranya, hai…kemana aja dari kemarin, nggak ada waktu ya buat memperhatikan istri, kau habiskan waktumu untuk diluar, untuk sahabat-sahabat mu, untuk pekerjaanmu, untuk kesenanganmu. Kau lupa aku disini masih butuh kamu, melewati waktu menghabiskan masa dengan tertawa, berlibur menghilangkan jenuh saat pekerjaan membebani seluruh pikiranku dengan duduk disebelahmu yang selalu siap membuka tutup botol aqua untuk kau minum saat perjalanan membawa aku dan anak-anakmu menikmati indahnya alam ciptaan rabbi. Tetapi semua itu sudah menjadi sebatas mimpi yang kau jaga saat aku terlelap tidur. Cerita kita tidak akan terulang kembali, dan aku hanya ingin kau mengerti.

“ Kado apa yang mama ingin, untuk hadiah pernikahan kita yang ke 15 tahun ini ? “ sambil berusaha memelukku dari belakang. Perlahan ku lepaskan tangannya dan kembali fokus pada polesan wajahku.

Aku mencuri pandang perlahan kutatap suamiku melalui kaca, hati kecilku berkata, “ Papa, Perceraian adalah kado terindah dari pernikahan kita, aku hanya tak ingin menambah daftar dosa dari ibadah panjang kita namun aku juga tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya”.

Aku balikkan badanku menghadapnya, kutatap matanya tajam, “pa, apa salah mama ? rumah ini bukan hotel pa, yang papa singgahi untuk tidur, mandi dan pergi lagi “. Perlahan pandangannya pergi meninggalkan tatapanku, dan berdiri menghindar dariku sambil berkata, “ tidak ada yang salah dari mama, waktu yang akan memberi jawaban dari semua ini, dan percayalah ini yang terbaik buat kita”. Bergegas dia menstater mobilnya meninggalkan aku dengan berbagai tanya.

Ya rabb, terbaik seperti apa menurutnya. Baik baginya tapi belum tentu baik bagiku. Ya rabb, aku hanya perempuan modern yang tak setangguh siti khadijah.

Tidakkah kau tahu, kematian itu sewaktu-waktu menjemputku ataupun kamu, tak inginkah kau membahagiakanku satu kali saja dalam hidupmu. Tidak layakkah aku bahagia satu kali saja sepanjang usiaku. Ya rabb, andai the hijau bisa melangsingkan emosi ku, aku ingin menghabiskan seluruh tegukkan teh digelasku, agar diet marahku berjalan sesuai batas kesabaran.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post