Meramu Klise Menjadi Karya Kreatif
Cinta,
Tak pernah usang ia kemas hidup dalam kisahnya
Tak pernah rela ketika hanya bercanda dengan tawa
Tapi ikhlas berkubang hanya dengan duka
Pun demikian, sedikitpun ia tak dapat dilepaskan
Berbicara tentang cinta, betapa pun banyaknya waktu yang digunakan untuk itu, selalu saja terasa singkat dan sekejap. Dengan teman, saudara, sekadar iseng dalam rumpian, sampai pembicaraan serius di media massa, karya fiksi, bahkan seminar-seminar tak luput dari tema “cinta”. Klise memang, namun memiliki muatan tersendiri bagi yang terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu, bukan suatu yang belebihan jika tema cinta selalu menjadi bahan perbincangan dari waktu ke waktu. Senantiasa mewarnai berbagai macam bentuk bacaan fiksi, entah prosa, puisi, maupun drama. Dari roman, novel, novelet, cerpen, bahkan pentigraf. Dari yang Cuma picisan sampai yang betul-betul “nyastra”. Hal itu dilatarbelakangi oleh fakta, bahwa tema cinta dalam cerita selalu saja berterima. bagi siapa saja di mana saja.
Hanya saja, bagaimana menciptakan cerita fiksi yang dapat diterima, tapi tidak menjemukan bagi pembaca? Karena jika cerita cinta hanya menyajikan kebiasaan dan tidak ada keunikan sama sekali, karya tersebut akan terasa tawar dan tidak menggoda. Padahal unsur “menggoda” itulah yang membuat sebuah karya terbaca.
Ada beberapa kriteria yang bisa dijadikan tolok ukur untuk memodifikasi tema klise tersebut menjadi karya kreatif yang berterima dan (tentu saja) bernilai sastra. Pertama, cerita itu harus memiliki dua dimensi fungsi yang seimbang dan saling mendukung. Dimensi hiburan (dulce) tidak boleh lebih kuat daripada dimensi pendidikan (utile). Menurut Wellek dan Werren (1989) bahwa fiksi berkualitas yang memberi hiburan dan pendidikan dapat digunakan sebagai menu utama untuk mengembangkan minat baca masyarakat. Jika fiksi itu hanya bermuatan dulce saja, maka pembaca tidak akan mendapatkan sesuatu yang berharga, selain hiburan yang dalam sekejap hilang dari ingatan. Aspek ulite-lah yang membuat suatu fiksi mampu mempertahankan kesan mendalam pada pembacanya. Sebaliknya, jika utile terlalu dominan, fiksi tersebut akan menjadi bacaan berat yang tidak semua orang mau dan mampu membaca dan memahaminya.
Kriteria kedua, fiksi yang baik harus mengandung pilar-pilar cerita, seperti tema, tokoh, alur, latar, dan gaya Bahasa yang kuat. Pilar-pilar yang kuat tersebut harus diperkaya dengan mahkota nilai-nilai kemanusiaan, seperti demokrasi, solidaritas, daya juang, etos belajar, dan etos kerja. Nilai-nilai tersebut harus serupa vaksin, menyebar kuat dalam jiwa pembaca, sehingga mampu berkontribusi dalam membangun banteng karakter yang baik.
Kriteria dan unsur tersebut seharusnya juga dikemas dalam kepaduan yang kreatif dan sinergis agar dapat memunculkan karya yang membumi. Dengan demikian, tema cinta yang sesungguhnya klise akan tampil dalam nuansa dan warna yang kaya bagi penikmatnya.

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren dan trmksh ilmunya bu. Terimakasih sdh mampir ke blog sy. Slm kenal dan mhn izin follow ya.
Sama-sama, Bu Yayah. Terima kasih juga
Hebat...SGT bermanfaat sebagai bahan tulisan.
Ah, njenengan bisa saja
Kerenn ... Terimakasih ilmunya Bund. Sangat menantang
Terima kasih, Bu Tuti