M.YAZID MAR'I, M.Pd.I

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Andai Kartini Masih Hidup

Dua hari baru saja berselang, moment sejarah “Hari Kartini”. Terbayang Kartini dengan kebaya, jarit, dan sanggul terpadu indah mempesona. Baju yang mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa. Pendidikan Belanda tak membuat sedikitpun nilai-nilai budaya irtu tergerus. Hiruk pikuk kegiatan memperingati hari kelahirannya 21 April mewarnai sekolah-sekolah, dan instansi-instansi pemerintah. Bahkan pagi itu pengedara sepeda motor yang memadati jalanan kota memakai baju ala kartini lengkap. Perempuan-perempuan yang tampak dari balik kaca mobilpun berbaju kartini. Sesekali ada pula yang mengganti sanggulnya dengan kerudung dipadu kebaya dan jarit, mencerminkan karakter budaya bangsa yang adilihung.

Tapi pagi ini, Minggu 23 April, baru saja terpaut dua hari. Pemandangan di Alun-alun kota Bojonegoro terbalik 180 derajat. Perempuan-perempuan remaja, ibu-ibu memadati seputaran alun-alun dengan pakaian yang amat minim superketat, hingga tampak betul ukuran bentuk dan lekuk tubuhnya serta warna buah dada. Seakan hari kartini yang diperingati dua hari lalu tak sedikitpun membekas dalam prilaku berpakaian. Masjid Darussalam yang menghadap alun-alun kota itupun tak menjadikannya tumbuh sebertikpun rasa malu akan prilakunya.

Mas! Istriku tampaknya tahu persis yang aku pikirkan. Sembari menikmati nasi pecel dipojok alun-alun itu bersama kedua anaknya, iapun mencoba menerka, apa yang sampean (kamu) saksikan pagi ini sudah berlangsung lama, bahkan volumenya kian meningkat saat alun-alun ini dilengkapi dengan taman-taman dan jalan khusus berbatu untuk olahraga. Perempuan-perempuan itu begitu bangga, dan sesekali berselfi ria, seakan membenarkan apa yang tengah diperbuatanya.

Dik! Ucapku. Emansipasi wanita, tentu yang dipahami Kartini saat itu adalah bagaimana memberikan kedudukan yang sama dan adil kepada wanita. Wanita berhak mengenyam pendidikan. Wanita berhak mengaktualisasikan dirinya dalam kegiatan social kemasyarakatan, bahkan politik, dengan tanpa sedikitpun menghilangkan kodratnya sebagai wanita yang harus mendidik dan mendampingi anak-anaknya untuk mengerti akan kebaikan, kebenaran, mimpi dan cita-cita bangsanya akan kemerdekaan yang telah lama ia dambakan. Kartini yakin dengan pendidikan yang layak seseorang akan menyadari pentingnya patriotisme, nasionalisme, dan liberty.

Hari ini kebebasan telah bergeser makna, kebebasan telah dimaknai dengan kebebasan berpakaian, kebebasan bergaul tanpa batas, yang tak jarang telah menurunkan martabat dan harga diri kewanitaanya, yang tak jauh beda dengan harga pakaian yang dikenakaanya. Semua cita-cita dan mimpi orang tua terhempas bersama kebebasan yang terkendali, kebebasan salah makna.

Anakku! Istrinya memperlihatkan salah satu dari sekian perempuan yang tengah berjalan yang tak jauh dari tempat nasi pecel itu dijajakan. Bagaimana pendapatmu dengan pakaian anak perempuan itu? Si kecil itupun menjawab auratnya terbuka ibu. Itu dosa masuk neraka. Tentu jawaban sederhana si kecil itu haruslah juga menjadi cerminan prilakunya dimasa mendatang. Ia, adik tetap harus berbusana yang menutup aurat meskipun adik nanti telah di kota dan jauh orangt tua. Andai Kartini masih hidup tentu di alun-alun itu akan terpampang tulisan "dilarang memasuki alun-alun kecuali berpakaian sopan!"

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus tulisannya lancar kaya air mengalir

24 Apr
Balas

makasih ibu, terus saja bimbingannya

30 Apr
Balas



search

New Post