GENRE

Tahun 2021 saya bertekad kembali berkarya. Saya pikir, tinggal membuka laptop lalu tulis, tulis, dan tulis. Namun yang terjadi ternyata hanya melamun, sambil berpikir “Mau menulis tentang apa?”. Ya, lagi-lagi saya terjebak pada dua kubu: fiksi dan non fiksi.

Selama ini kecenderungan karya saya adalah fiksi, khususnya puisi dan cerpen. Menulis puisi adalah pembebasan dari perasaan yang terpenjara. Puisi adalah curahan hati, suara dari dalam jiwa , namun dalam cara penyampaiannya (mungkin) tidak terlalu vulgar. Puisi membutuhkan penafsiran pembaca untuk sampai pada pemahaman yang dimaksud penulis. Oleh sebab inilah, saya suka menulis puisi.

Buku kumpulan cerpen saya terbit 2017. Menulis cerpen menempatkan saya menjadi sutradara. Inilah yang saya sukai. Kapan seorang tokoh mati, jatuh cinta, menangis atau tertawa, ya gimana saya dong, saya kan sutradaranya. Menulis cerpen membuat saya dapat melakukan atau menciptakan dialog yang (mungkin) tidak dapat dilakukan dalam dunia nyata. Jawaban saya pada pembaca:Itu bukan pribadi saya, lha wong cuma cerpen kok.

Lalu, apa salahnya dengan fiksi? Nah, itu dia!

Tetap saja saya merasa bersalah. Problemnya ada di tema. Mayoritas puisi dan cerpen saya berputar dalam tema percintaan. Percintaan orang dewasa. Jelas bukan konsumsi siswa SMP. Sampai hari ini, ada konflik batin yang belum selesai: “Guru SMP kok karyanya tentang percintaan melulu. Coba bikin dong yang lebih akademis.”

Jleb, kan?

Pemikiran itu terus berputar dan menjadi gaung dalam kepala saya. Ada beban moral bahwa sebagai guru, karya saya harus mendidik dan berfaedah.

Saya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Ya, sepertinya saya akan jatuh bangun untuk belajar menulis non fiksi. Mungkin serupa artikel.

Doakan ya.