Tahun 1991, kalau aku tidak salah. “munyuk” adalah kata dalam bahasa Jawa yang pertama ku hafal dan ku ingat se-umur hidup ku. Bagaimana tidak, ketika aku yang hanya anak berusia 11 tahun di antar oleh ayahku (bahasa kerennya “diasingkan” ) ke pulau seberang untuk menuntut ilmu, bukannya sambutan hangat dari teman-teman baru yang ku dapat, tapi malah panggilan yang sangat menyakitkan “ munyuk “.

Aku tak tau dan tak faham mengapa “dia” musuh besar ku sewaktu mondok di pondok pesantren An-nur Yogyakarta, menggunakan kata-kata itu untuk memanggilku. Padahal dia adalah satu-satunya santri yang berasal dari kota yang sama dengan ku Pekanbaru kota bertuah. Ya... walaupun dia lebih senior karena lebih dahulu masuk pondok tapi dalam usia, aku lebih tua dua tahun. Apa mungkin dia merasa cemburu, karena aku selalu di anak bawangkan.?...ntahlah.

Hari-hari ku lewati dengan tantangan harus bisa berbahasa Jawa secepatnya, dengan satu tujuan, membalas ejekannya dengan menggunakan bahasa jawa juga. Alhasil, setengah tahun aku di Jawa, aku bisa menguasai bahasa jawa, mulai dari yang halus sampai yang kasar, khususnya yang bisa digunakan untuk mengejek “nya”.

Tidak sampai disitu saja, ternyata bahasa jawa menguasai lidahku. Sehingga ketika pulang kekampung halaman, lidahku agak kaku menggunakan bahasa ocu yang adalah bahasa ibu ku. aku sering ditertawai oleh adik-adik dan orang tua ku karena ocu ku medhok. Onde mande...

seandainya saja dulu ayah ku mengantar ku ke Mesir atau ke Inggris, sudah tentulah aku hebat bahasa Arab atau Inggris. Tapi apalah daya, ongkos Cuma bisa buat nyeberangi selat sunda.