Dion berlari, terjatuh, bangkit dan terjatuh lagi. Dia melihat Anton dan Yudi sudah kabur menjauh berada di garis paling depan. Dion tersungkur, tidak ada yang menolongnya lagi. Tubuhnya tidak sanggup untuk berdiri, bernapas saja sulit apalagi berlari. Dion pasrah. Dia melihat rombongan semakin mendekat. Dion hanya bisa berdoa saja, berharap dia tidak mati di tempat. "Toloooong!" Dion menjerit. Mereka semakin dekat, tidak ada orang di sekelilingnya yang dapat menolongnya. Tiba-tiba ada sesuatu menimpa kepalanya, rasanya sakit sekali. Setelah dilihatatnya ternyata itu adalah batu yang mengenai kepalanya. Sakit sekali, beberapa detik kemudian, ada lagi batu yang mengenai kepalanya, dan terus mengenai kepalanya.

Mereka sudah ada di depan Dion dan langsung mengeroyoknya. Dion tidak bisa berbuat apa-apa sampai akhirnya dia jatuh pingsan. Dion tidak sadarkan diri selama dua jam. Saat Dion membuka matanya dan samar-samar dia melihat bayangan tubuh besar dan tegap berada di sampingnya. Dikedipkannya matanya lagi untuk melihat lebih jelas, setelah ditegaskannya itu ternyata Pak Jono. "Jangan banyak bergerak," Pak Jono memegang kepala Dion. Dion menyadari ada perban di kepalanya dan luka memar di seluruh tubuhnya. Rasanya sangat sakit dan ngilu. Pakaian putih birunya sudah tidak berbentuk, robek-robek, dan penuh bercak-bercak darah.

Dion baru menyadari ternyata kepalanya bocor dan luka memar di sekujur tubuhnya adalah akibat pukulan dari anak-anak itu. Beruntung Pak Jono datang tepat waktu, kalau tidak Dion mungkin sudah berada di tempat pemakaman umum. Tak lama kemudian kedua orang tua Dion datang dan langsung memeluknya. Mereka memeluk Dion erat, ibunya memeluk Dion sambil menangis. Dion tidak bisa bergerak dan hanya tersenyum simpul. Karena masih bisa bertemu dengan orang-orang tercinta dan sangat menyayanginya.

Sawahladuang, 01052021