Randy mengangkat sepatu roda dan meletakkannya di kaki ranjang, tersenyum sekilas dan menyuruh istrinya untuk melanjutkan tidur. Istrinya mengangguk, membalikkan badannya agar nanti bisa berbaring menghadapnya. ini Membuat Randy langsung merebahkan diri dan berbaring menghadapnya. Mengusap lembut rambut panjangnya yang tergerai. Ini adalah bagian yang paling Randy suka. Memandangi wajah lugu istrinya kala tertidur nyenyak. Randy membalikkan tubuhnya sekilas. Melepaskan jam tangan yang masih melingkar, juga merogoh kantong. Tadi, Randy juga membawa serta kalung itu saat turun. Memerhatikan lagi sekilas bagian belakangnya sebelum akhirnya menaruh benda tersebut ke laci meja, untuk kemudian melirik istrinya. Di sana, sebuah nama terukir indah. “Maaf, tapi Randy tidak bisa melanjutkannya lagi,” ucapnya suatu hari. Randy yang sedang membawa seplastik es kelapa langsung diam mematung. Tadi, saat Randy keluar dan melihatnya hanya duduk di kelas selama jam istirahat, Randy membelikan minuman ini untuknya. Randy bahkan tidak membeli sesuatu apa pun untuk dirinya karena sudah beberapa hari ini Randy memutuskan untuk berpuasa, menyisihkan uang saku demi membelikannya sebuah hadiah.

Hadiah itu, Randy bahkan telah membelinya semalam. “Kenapa?” Tanya Randy bingung. Bagaimana tidak, selama ini kami selalu Akur, ia bahkan terus saja tersenyum setiap kali Randy meneleponnya dan berbincang selama beberapa jam. Kami tidak memiliki masalah apa pun sehingga tidak perlu mengakhiri hubungan ini. “Maaf,” jawabnya pelan. “Kenapa?” Tanya Randy lagi. Dia menunduk dalam. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. bibirnya terkatup. begitu juga matanya yang agak sipit terus memerhatikan lantai kelas lamat-lamat. “Apa Randy telah melakukan sesuatu yang salah?” “Tidak,” jawabnya cepat. “Lalu?” Dia meliriknya. Menggigit ujung bibirnya. “Setiap kali kami saling menanyakan isi hati, Randy mencoba untuk mengatakan pada nya untuk mencintai Randy. Hanya saja … setiap kali Randy mencobanya, maka Randy hanya mendapati semua itu tidak pernah ada.” Dia memalingkan wajahnya. “Maaf, Randy tidak bisa,” lanjutnya. “Tidak apa-apa, mungkin kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti,” sanggahku yang terkesan memaksa. Dia menggeleng. Meyakinkan diriku bahwa sekarang atau nanti, semuanya sama saja. Gadis berkulit putih itu bahkan tetap tidak mengubah keputusannya setelah Randy meminta padanya untuk bertahan sehari lagi.

Ada yang ingin Randy berikan padanya. Dia mengangkat kepalanya. Matanya yang sipit seperti sengaja dilebarkan olehnya. “Randy tidak menerimanya untuk meminta apa pun,” ucapnya. Pergi meninggalkannya yang hanya berteman dengan suara hembusan angin juga deru kendaraan dari jalan raya di depan sekolah. Randy hanya bisa mematung. Hingga malam hari Randy menghubunginya, hendak meminta maaf atas kata-katanya yang terdengar sedikit kelewatan. Tapi percuma, dia tidak meresponsnya sama sekali. Mengabaikan panggilan teleponnya yang mungkin sudah hampir 15 kali. Di sana, di ruang yang Randy tinggali sekitar delapan menit lalu, sebuah loteng yang gelap. Randy merenggangkan jari-jarinya, menatap kalung yang niatnya akan diberikan padanya besok. Lantas membuang benda itu sekuat tenaga, meninggalkannya dengan sebuah nama yang sengaja Randy minta tukang kalung untuk mengukirnya kemarin malam. Randy hampir lupa nama itu hingga akhirnya Randy membacanya lagi tadi.

sawahladuang, 27042021