Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 4

Aku masih berusaha untuk merayu Nenek dan Kakek untuk mengizinkan aku kuliah di kota lain.

“Nek, aku ingin mencari pengalaman hidup. Aku ingin bisa mandiri,” ucapku sambil berbaring di pangkuan Nenek.

Mata tua itu menatapku. “Tidak, untuk bisa mandiri tidak perlu ke kota lain. Kamu boleh pergi kalau kamu sudah menikah. Nenek dan Kakek tidak bisa lagi menahan kamu,” ucap Nenek dengan nada datar.

“Nenek....”

Aku bangkit dan memeluk bantal sofa. “Udah ah, capek! Nenek enggak bisa ngerti.” Kakiku segera melangkah meninggalkan Nenek dan Kakek yang menggelengkan kepala melihat kelakuanku.

Aku merasa putus asa. Aku iri dengan teman-teman lain yang bisa bebas menentukan tempat kuliah di mana saja. Banyak impian yang ingin aku raih. Aku tidak ingin selamanya hanya tinggal di kota kecil ini.

Aku duduk di dekat Mak May yang sedang menyetrika pakaian. Dia menyetrika sambil duduk di bawah. Tidak mau berdiri, walau sudah disediakan meja untuk menyetrika. Capek katanya kalau berdiri. Kalau duduk di bawah lebih nyaman.

Wanita itu menoleh dan menatapku sambil tersenyum lembut. Aku memainkan ponsel untuk mengusir rasa bosan.

“Mak, Umak udah lama ikut kerja sama Nenek?” Mak May mengangguk sambil tangannya terus menyetrika sampai pakaian rapi. Sejak kecil aku terbiasa memanggil Mak May dengan “umak” sebutan untuk ibu dalam bahasa Belitung.

“Iya, Umak sudah kerja sama Nenek sejak Ibu kamu masih sebaya kamu,” jawab Mak May.

“Ibumu cantik dan lembut,” lanjut Mak May. Aku tertawa.

“Beda sama aku ya, Mak?”

“Sama, sama cantiknya,” jawab Mak May. Mungkin dia membesarkan hatiku.

“Ibu dan Ayah menikah di rumah ini?”

Mendengar pertanyaanku, Mak May terdiam. Wanita itu terlihat ragu untuk menjawab. Dia hanya tersenyum dan mengangguk sambil melipat alas setrika karena sudah selesai.

“Udah, ya. Umak mau balik dulu.” Mak May segera bangkit sambil membawa pakaian yang sudah di setrika dan menyimpannya di lemari. Setelah menyimpan semua pakaian yang sudah di setrika. Wanita itu segera pulang.

Mak May memang tidak menginap di rumah, tapi dia ulang datang. Jadi pagi datang dan sore pulang.

Masih banyak yang ingin aku tanyakan. Namun, wanita paruh baya itu seakan sengaja menghindar. Apalagi saat melihat Nenek keluar dari kamar. Mak May buru-buru pergi.

Aku masih duduk di lantai sambil memainkan ponsel. Ponsel yang kuletakkan di lantai bergetar. Nada deringnya sengaja aku matikan.

Kutatap layar ponsel memastikan siapa yang menelepon. Kalau dari nomor yang tidak jelas aku malas untuk menerimanya.

Ternyata Ola yang menelepon. Pasti ada maunya. Aku sudah cukup hafal sifat anak satu ini. Karena kami berteman sejak kecil. Dari TK sampai SMA selalu bersama. Kenakalan demi kenakalan sering kami lakukan. Ola selalu membelaku saat ada mencoba mengata-mengataiku sebagai 'anak ha**m' atau anak yang di buang. Sedih dan sakit. Itulah yang sering aku rasakan saat ada yang mengejekku. Nenek dan Kakek selalu membesarkan hatiku.

Segera kuterima telepon Ola. Setelah mengucap salam, Ola langsung nyerocos menjelaskan maksud dia meneleponku. Aku sudah menduganya.

[Dara, aku butuh bantuan kamu nanti malam.]

[Bantuan apa? Kok malam? ]

[Aku mau ketemu sama Deo, kamu kan tahu Mama tidak akan mengizinkan aku keluar sendiri malam-malam.]

[Hadehhh, mau bikin aku jadi obat nyamuk?] terdengar tawa Ola.

[Pliss....Mau Ya, aku kangen sama Deo. Sudah seminggu ini kami tidak ketemu.]

[Iya, jam berapa aku jemput?]

Karena memang selalu begitu. Aku yang menjemput Ola ke rumahnya. Kemudian kami pamit pada Mamanya.

[Jemput jam tujuh, kita ke Kong jie. Nanti aku yang traktir.] Ola merayuku.

[Ya, iyalah masa aku harus bayar sendiri.]

Terdengar gelak tawa Ola.

“Siapa?” tanya Nenek saat aku menutup ponsel.

“Ola, Nek. Dia minta temani beli kado nanti malam,” sahutku. Terpaksa aku juga harus berbohong.

“Oh, kenapa malam-malam?” Nenek seakan menyelidik. Membuatku harus menambah daftar kebohongan ku.

“Iya Nek, sekarang Ola belum bisa karena masih bantu Mamanya jaga warung,” jawabku sekenanya. Memang benar sih, Mamanya Ola buka warung makanan. Tapi Ola sendiri jarang membantu di warungnya karena sudah ada pegawai yang menjaganya.

Kali ini Nenek sepertinya percaya dengan ucapanku.

“Sudah sore, tutup jendela kamar.”

“Iya, Nek.” Aku segera bangkit dan masuk ke kamar.

**

Setelah salat Magrib, aku segera bersiap. Ternyata di luar hujan gerimis. Ola sudah menunggu. Kalau orang lagi jatuh cinta tak peduli apa pun.

“Hujan, mau tetap pergi?” tanya Nenek saat melihatku sudah memakai jaket.

“Iya, Nek. Ola sudah nunggu,” jawabku sambil mengeluarkan motor matik yang dibelikan Kakek.

“Jangan lama-lama, kalau sudah dapat kadonya cepat pulang.” Nenek menatapku. Aku tahu sebenarnya dia berat untuk mengizinkanku pergi.

“Siap, Nenek, Assalamu’alaikum.” Kucium tangan Nenek.

Segera kupacu motor matic ku menuju rumah Ola.

Sepanjang jalan, mataku menatap lampu-lampu yang menghias jalanan. Dalam gelapnya malam dan rintik hujan, cahaya temaram terlihat sangat indah.

Kota kecilku terlihat sepi. Saat hujan seperti ini banyak warga lebih memilih berada di dalam rumah.

Ola sudah menungguku di depan rumah.

“Pergi dulu, Ma. Assalamualaikum.” Ola pamit pada Mamanya.

“Hati-hati ya, jangan terlalu malam,”

“Iya Tante, siap.”

Kami segera meluncur menuju Cafe Kong jie yang terletak di pusat kota. Gerimis sudah mulai mereda.

Deo sudah menunggu. Senyumnya mengembang saat melihat kedatangan kami. Lebih tepatnya saat melihat Ola.

“Sorry ya, ganggu waktu kamu. Soalnya malas ribut sama Mama kalau dia tahu aku ketemuan sama Deo.” Ola menatapku dengan rasa bersalah.

Kami segera masuk ke dalam Cafe. Ternyata di dalam cukup ramai. Kata Deo banyak tamu dari Jakarta. Aku langsung duduk di kursi.

“Kenapa kalian tidak jujur aja. Kan capek main kucing-kucingan terus.”

“Kamu kan tahu, Mamaku seperti apa. Kalau bisa semudah itu. Aku tidak perlu merepotkan kamu,” jawab Ola dengan nada sedih.

“Kamu sendiri, kenapa belum punya pacar?” tanya Deo.

Aku tertawa. Jangankan punya pacar. Keluar dari rumah saja ditanyain macam-macam sama Nenek. Lagi pula memang aku belum mau pacaran. Capek! Masih banyak mimpi yang ingin aku raih.

Aku menikmati makanan dan minuman yang telah ku pesan. Kami sengaja mengambil tempat di pojok bagian depan. Malas kalau masuk. Karena, aku paling tidak tahan dengan asap rokok.

Di dalam terdengar ramai. Aku seperti mendengar suara seseorang yang aku kenal. Aku berusaha mengingat.

“Hai, anak kecil kok keluar malam-malam?” Aku terkejut saat melihat Bagas berdiri di sampingku. Ola dan Deo menatapku. Mereka memang belum mengenal Bagas.

“Apaan sih, suka-suka akulah,” jawabku ketus. Bagas tertawa dan menarik kursi kosong di sampingku. Karena satu meja untuk berempat. Sementara kami hanya bertiga.

Aku merasa tidak nyaman, Ola menatapku seraya tersenyum.

“Ola, Deo. Kenalkan ini Kak Bagas.” Aku terpaksa mengenalkan Bagas. Mereka saling tersenyum. Aku menjelaskan siapa Bagas.

“Tidak mengganggu kan kalau aku gabung di sini?” tanya Bagas. Dia terlihat begitu santai. Dalam balutan kaos hitam terlihat semakin gagah.

“Kak Bagas! Kok di sini?” Gadis cantik yang pernah aku lihat waktu malam itu menarik Bagas.

Aku hanya diam dan pura-pura tak peduli.

“Ini kan yang kecipratan air kotor malam itu kan?” Wanita itu dengan tidak sopan menunjuk ke arahku. Pandangannya seolah meremehkan. Tangannya memeluk tangan Bagas dan seakan sengaja menempelkan pipinya ke bahu Bagas.

Ola dan Deo menatapku. Mereka terlihat tidak suka dengan tingkah wanita itu.

“Sudah, kita pulang yuk.” Aku mengajak Ola untuk pulang. Suasana menjadi tidak nyaman. Aku tidak mau terpancing emosi. Deo terlihat keberatan, tapi aku tidak mau mengambil risiko. Segera kutarik tangan Ola. Dengan berat hati Ola terpaksa ikut. Kami segera pulang. Tak kupedulikan tatapan Bagas.

Aku masih penasaran, siapa sebenarnya wanita itu dan apa hubungannya dengan Bagas?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post