Cinta Andara
Part. 12
Malam semakin larut. Aku tak jua bisa memejamkan mata. Ingatanku melayang pada Rama. Apa mungkin laki-laki itu serius dengan ucapannya yang mengatakan kalau dia memang sengaja kembali ke Belitung karena ingin bertemu denganku?
Dara, jangan ge-er lo! Aku jadi senyum sendiri.
Kenangan masa kecil saat masih bersama memang tak kan pernah kulupakan. Rama yang selalu membela saat ada yang menggangguku. Pernah dia nekat berkelahi melawan anak yang mengataiku sebagai ‘anak pembawa si*l'. Dia menghajar anak itu hingga babak belur. Sampai akhirnya Rama di skorsing tiga hari dari pihak sekolah. Namun, sejak saat itu tidak ada lagi yang berani mengejekku.
Sosok Rama saat ini tidak jauh berbeda. Sikapnya masih tetap lembut dan selalu perhatian. Tidak seperti Bagas yang selalu kasar dan mau menang sendiri.
Dara, kok kamu membandingkan Rama dan Bagas? Jangan-jangan...
“Astaghfirullahalazim.” Aku segera istigfar.
Jangan macam-macam Dara, jangan membuat Kakek dan Nenek kecewa.
Segera kupejamkan mata sambil berzikir dalam hati sampai akhirnya keheningan malam membawaku ke alam mimpi.
Aku melihat seorang laki-laki yang tersenyum menatapku dari kejauhan. Wajahnya begitu mirip denganku. Dia melambai seperti memanggilku untuk mendekat. Aku ingin berlari menghampiri, tapi tiba-tiba Kakek datang menarik tanganku dan mengajakku pergi meninggalkan tempat itu.
Aku masih merasa penasaran dan menoleh ke tempat laki-laki itu berdiri. Namun, tidak tampak siapa-siapa di sana. Kemudian aku terbangun. Ternyata itu hanya mimpi. Aku menarik nafas panjang.
Kuambil ponsel di atas nakas untuk melihat jam. Karena memang aku tidak punya jam dinding di kamar. Tadinya pernah ada tapi sejak baterainya habis dan aku malas memggantinya, akhirnya jam nya rusak. Ternyata sudah pukul 04.15 dini hari. Berarti sebentar lagi Subuh.
Aku kembali teringat mimpiku.
Siapa laki-laki itu? Apakah itu sosok Ayahku? Aku merasa begitu penasaran.
Nanti siang aku berencana untuk merayu Nenek dan menanyakan tentang Ayah pada wanita itu. Semoga saja Nenek tidak marah dan sakit lagi. Bukankah sebagai seorang anak perempuan kalau menikah lebih baik yang menjadi wali nikahnya adalah ayahnya sendiri kalau masih ada. Selama ini Nenek dan Kakek tidak pernah mengatakan kalau Ayahku sudah meninggal.
Azan Subuh sudah berkumandang. Aku segera keluar kamar untuk ke kamar mandi. Aku memang terbiasa mandi dulu sebelum salat Subuh. Rasanya badan lebih segar.
Kakek terlihat mau berangkat ke masjid. Nenek sudah mengenakan mukena. Sepertinya Wanita itu tidak tidur lagi setelah salat tahajud.
Saat air mengguyur tubuh rasanya begitu segar. Setelah mandi aku langsung mengambil wudhu.
Aku salat di kamar. Di akhir salat kupanjatkan doa.
“Ya Allah lembutkanlah hati Nenek, tunjukkanlah siapa Ayahku dan pertemukan kami kalau dia masih hidup. Kalaupun dia sudah meninggal tunjukkan di mana kuburannya. Dan juga aku mohon berikanlah aku petunjuk dalam memilih laki-laki yang akan menjadi jodohku. Dekatkan dia yang memang kau tetapkan sebagai jodohku. Namun, Jauhkan dia kalau hanya untuk menyakiti aku. Aamiin.”
Selesai salat segera kulipat mukena dan kembali merebahkan tubuhku ke tempat tidur.
Ting! Terdengar notif pesan masuk di whatsapp. Kuambil ponsel di atas nakas. Ternyata dari Rama. Mungkin dia mendapat nomor ponselku dari Deo.
Rama: Assalamu’alaikum, Dara... maaf kalau aku mengganggu. Aku dapat nomor kamu dari Deo.
Aku: Waalaikumussalam, oh iya Rama. Enggak kok.
Aku menambahkan emotikon senyum.
Rama: Dara, boleh aku main ke rumah Nenek? Aku juga mau menyampaikan salam dari Mama dan Papa untuk Nenek dan Kakek.
Aku: Iya, pasti boleh. Aku juga sudah bilang sama Nenek kalau kamu ada di Belitung.
Pesanku langsung centang biru. Tak lama, sudah ada lagi balasan Rama
Rama: Ok, nanti siang aku ke rumah ya.
Aku membalas dengan emotikon jempol. Tiba-tiba perutku terasa sakit. Biasa rutinitas pagi. Kuletakkan ponsel dan berlari ke kamar mandi. Hampir saja menabrak Mak May yang sedang membersihkan ruangan.
“Kakak!” pekik Mak May.
“Maaf, Mak. Kebelet!” Aku langsung masuk. Ke toilet. Terdengar suara Nenek.
“Kebiasaan anak itu. Padahal sebentar lagi sudah jadi istri.” Mendengar itu aku jadi senyum sendiri seraya menutup hidung. Maklum kemarin aku makan rendang jengkol lumayan banyak.
Keluar dari toilet, aku menghampiri Nenek di dapur. Diam-diam kucium pipi wanita tua itu dari belakang. Membuat Nenek kaget.
“Dara! Kamu suka bikin Nenek jantungan.” Aku hanya tertawa.
“Ya enggak lah Nek. Nenek harus tetap sehat.”
“Sudah sarapan dulu.” Nenek menyajikan nasi goreng buatannya ke meja makan. Tidak lupa menyendokkan nasi goreng ke dalam piring dan mengantarkan pada Kakek yang sudah duduk di teras samping sambil menikmati secangkir kopi gula aren kesukaannya.
Aku mengikuti Nenek.
“Nek, Kek. Nanti siang Rama mau main kesini. Katanya kangen.” Kakek menatapku. Dia seperti sedang mengingat siapa sosok Rama yang kuceritakan.
“Rama anaknya Pak Jaksa? Teman SMP kamu dulu kan?” tanya Kakek.
“Iya Kek. Tapi Rama hanya datang sendiri,” jawabku.
“Kamu jangan terlalu dekat. Nanti Nak Bagas cemburu,” ucap Nenek. Wanita itu begitu menyayangi Bagas. Hanya perasaan Bagas yang dia pedulikan. Sementara tak pernah tahu bagaimana perasaan cucunya karena perlakuan calon menantu kesayangannya.
Aku kembali ke meja makan untuk menyantap nasi goreng ikan asin buatan Nenek yang selalu terasa enak. Beda jauh dengan buatanku. Aku pernah mencoba untuk membuat sendiri. Rasanya berbeda jauh. Hambar.
“Assalamu’alaikum,” terdengar di luar orang mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam,” Aku menjawab salam itu. Namun aku tetap duduk. Di depan sudah ada Mak May yang sedang membersihkan ruang tamu. Aku meneruskan menikmati nasi goreng.
“Aduh yang lagi makan.” Aku terkejut mendengar suara di belakangku. Ternyata Bagas. Aku hanya tersenyum. Bagas duduk di hadapanku.
“Mau ikut sarapan tapi cuma ada nasi goreng,” ucapku sambil berusaha berasa basi.
“Mau, aku memang sengaja mau ikut sarapan di sini.” Aku langsung menyendokkan nasi goreng ke piring yang memang sudah ada di meja makan.
“Ini makanlah. Tapi maaf hanya nasi goreng kampung.” Bagas menatapku. Mungkin dia merasa tersinggung. Namun, aku tak memedulikannya dan terus makan.
“Huk uhuk.” Bagas seperti tersedak. Wajahnya merah. Tangannya seperti meminta minum.
Nenek yang mendengar suara Bagas segera mendekat.
“Dara, mana minum untuk Bagas?” tanya Nenek.
Aku segera tersadar dan menuangkan air ke dalam gelas dan memberikannya pada Bagas. Dia langsung merebutnya dengan kasar.
Lama Bagas terdiam. Aku merasa bersalah.”Maaf,” ucapku.
“Kamu sengaja mau membunuhku, iya,” bisik Bagas. Dia takut kalau Nenek mendengar. Aku hanya diam. Malas untuk menanggapinya. Malas pagi-pagi sudah diajak berdebat. Kalau bukan karena takut di marahi Nenek, sudah kutinggalkan laki-laki ini.
“Ada apa, pagi-pagi kesini?”
“Kenapa? Enggak boleh?” ucap Bagas balik bertanya.
Ya Allah! Tidak ada manis-manisnya. Aku benar-benar kehilangan mood menghadapi Bagas dan memilih untuk diam.
Bagas kembali melanjutkan makannya yang tertunda sampai nasi goreng di piringnya habis tak bersisa. Dia menyodorkan gelas kosongnya padaku minta diisi lagi. Tanpa bicara aku mengisikan air ke dalam gelas dan meletakkan di hadapannya.
“Nanti kita akan memilih baju pengantin. Mama ingin melihat kamu mencobanya sebelum dia pulang.”
Aku tak menjawab apa pun. Perasaanku masih kesal melihat sikapnya yang selalu menyalahkan orang lain.
“Kok, diam?”
“Aku malas bicara dengan orang yang selalu menyalahkan orang lain.”
Bagas terdiam dan menatapku lembut.
“Maaf,” ucapnya.
“Bersiaplah. Mama dan Papa akan kembali ke Jakarta nanti sore. Beliau ingin berbicara dulu dengan kita berdua,” ucap Bagas lembut. Tidak seperti tadi. Aku kembali luluh. Apalagi mendengar Om Hendra dan Tante Yeni yang ingin bertemu.
“Iya, sebentar. Aku ganti pakaian dulu.” Kutinggalkan Bagas untuk kembali ke kamar. Kukenakan gamis berwarna biru yang kupadu dengan hijab pashmina.
Sejenak aku duduk di depan meja rias. Dan menyapukan bedak dan lipstik tipis.
“Assalamu’alaikum....” terdengar ada yang memberi salam di luar.
Rama! Aku langsung teringat pemuda itu yang katanya mau datang.
Bagaimana dengan Bagas. Aku takut laki-laki itu merasa curiga dan menuduh aku macam-macam. Aku segera keluar. Ternyata memang benar. Tampak Rama sedang duduk di ruang tamu bersama Kakek dan Nenek. Bagas juga ada di sana. Wajahnya terlihat berbeda.
Saat melihatku keluar. Bagas langsung mendekatiku.
“Sudah siap? Kita, sudah di tunggu Mama,” ucap Bagas cukup keras seakan sengaja ingin di dengar Rama.
Aku hanya bisa mengangguk. Rama menatapku.
“Maaf Ya, Rama. Kami harus pergi. Kebetulan ada janji untuk mengepas baju pengantin khas Belitung,” ucap Bagas pada Rama.
“Oh, iya. Silakan. Maaf ya sudah mengganggu,” jawab Rama.
“Enggak kok, kamu di sini aja dulu. Kan kangen ngobrol sama Kakek dan Nenek.” Aku meminta Rama untuk tetap tinggal. Rama tersenyum lembut menatapku.
“Iya, calon pengantin,” jawabnya. Ada rasa bersalah di hatiku.
Bagas menatap kami dengan pandangan tidak suka.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar