Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 26 TANJUNGPANDAN. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 17.

“Mbak, ayo masuk. Tidak baik di luar malam-malam.” Mbak Ratih mendekatiku yang sedang duduk di pinggir kolam.

“Tidak apa-apa Mbak, lebih enak di sini.”

Mbak Ratih tersenyum. “Sabar ya Mbak, Mas Bagas memang begitu sifatnya. Apalagi sejak ....”

“Sejak apa Mbak?” Aku merasa penasaran.

“Ah, enggak Mbak, maaf.” Mbak Ratih seolah tersadar kalau dia telah salah bicara.

“Mbak tahu tentang Natasya, pacarnya Mas Bagas?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tidak bisa kututupi.

Aku tahu tentang Natasya saat secara tidak sengaja ada foto yang terjatuh dari dompet Bagas. Saat Bagas mengajakku untuk mengepas baju pengantin. Aku mengambil foto itu dan melihatnya. Seorang gadis yang sangat cantik. Hidungnya mancung. Senyumannya sangat manis terlihat menyenangkan bagi siapa saja yang melihatnya.

“Cantik sekali,” pujiku tanpa sadar. Bagas yang sedang menyetir melihat ke arahku. Dia seperti terkejut saat melihat foto yang kupegang. Bagas langsung merebutnya dari tanganku. Raut wajahnya tegang. Terlihat sekali kalau dia tidak suka melihatku memegang foto itu.

“Dari mana kamu dapat foto itu?” tanya Bagas dengan tatapan curiga.

“Dia siapa? Pacar kamu?” tanyaku dengan sikap tetap tenang dan memberanikan diri menatap bola matanya.

“Bukan urusanmu!” Bagas terlihat begitu marah dan geram. Dia melajukan kendaraannya sehingga membuat aku ketakutan.

“Maaf, tadi foto itu jatuh dari dompet kamu. Aku mengambilnya dan ingin memberikan sama kamu,” jawabku dengan suara ketakutan. Bagas seperti tersadar. Dia memelankan laju kendaraannya dan menatapku.

Aku diam. Kalau begitu penting wanita di foto itu. Kenapa Bagas tidak menikahinya?

Akhirnya aku tahu kalau wanita di foto itu namanya Natasya. Aku mengetahui nama itu saat Nadia yang mengatakan kalau selera Bagas turun karena memilih untuk menikahiku yang berbeda jauh dengan Natasya pacar Bagas.

“Terserah apa yang kamu katakan, yang pasti Bagas telah memilihku untuk jadi istrinya,” jawabku saat itu pada Nadia.

“Mbak, ayo kita masuk,” ajak Mbak Ratih. Lamunanku buyar.

“Mbak, aku tahu. Mbak Ratih pasti tahu cerita Mas Bagas. Apa Natasya sering kemari, Mbak?” Mbak Ratih terdiam.

“Tenang saja, Mbak. Aku sudah tahu kok.”

Mbak Ratih menatapku. “Iya Mbak, dulu Mbak Natasya memang sering kemari. Orangnya sangat cantik. Tapi sering sakit-sakitan. Mas Bagas sering mengantar dia bolak-balik ke rumah sakit.” Aku terkejut mendengar cerita Mbak Ratih.

“Terus Mbak?” Aku merasa penasaran mengapa mereka berpisah dan tidak sampai menikah.

“Maaf Mbak, tidak pantas membicarakan orang yang sudah tiada.”

“Maksud Mbak Ratih?”

“Iya, Mbak Natasya meninggal karena sakit kanker yang di deritanya. Mulai saat itu Mas Bagas selalu uring-uringan dan sering marah-marah tidak jelas.” Aku terdiam. Sungguh tidak pernah kusangka ternyata Bagas memiliki pengalaman yang sangat menyedihkan. Kini aku bisa mengerti.

“Mbak, tolong jangan bilang ke Mas Bagas kalau saya yang cerita,” ucap Mbak Ratih.

“Iya, Mbak. Tenang aja.”

“Kalau begitu, saya masuk dulu, Mbak. Takut Ibu manggil.” Aku mengangguk dan membiarkan Mbak Ratih berlalu dari hadapanku.

Aku menekuk kedua kakiku dan menaruh wajahku di atas kedua lutut. Tangan kananku memainkan air di kolam.

Saat aku menengadah, tampak langit malam begitu cerah. Bintang berkelap kelip begitu indah. Tanganku terulur ke atas. Ingin rasanya meraih salah satu bintang yang paling terang. Namun, itu mustahil bisa kulakukan. Terlihat begitu dekat. Tapi sebenarnya begitu jauh. Sama seperti hubunganku dengan Bagas. Kami terikat dalam satu hubungan. Namun, perasaan kami tidak bisa terhubung. Ada jarak yang membentang dan sangat sulit untuk dilewati. Mungkin tinggal menunggu waktu sampai kapan akan terus bertahan.

“Dasar, masa kecil kurang bahagia!” Terdengar suara di sampingku. Aku tak ingin mengindahkannya. Tanpa menoleh aku segera bangkit dan segera beranjak untuk masuk.

Bagas berusaha menjajari langkahku. “Tidak sopan ya, sama suami seperti itu.” Aku menoleh.

“Kita kan hanya pura-pura menikah,” jawabku sambil berusaha menjauh. Malas untuk menanggapi ucapannya yang selalu menyaki perasaan.

“Tidak ada yang pura-pura!” Bagas mencekal tanganku. Membuat aku terkejut dan sedikit takut. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang. Mataku menyipit.

“Sudah malam, aku mau tidur.” Aku berusaha melepaskan tanganku. Namun, Bagas tetap mencekal tanganku. Ada rasa sakit yang kurasakan. Saat kami melewati ruang tengah. Mama ternyata ada di sana.

“Kalian dari mana?” tanya Mama. Wanita itu tersenyum melihat tanganku yang masih dalam genggaman tangan Bagas. Laki-laki itu seperti tersadar dan segera melepaskan pegangannya.

“Ini menantu Mama, malam-malam di luar.” Aku terdiam mendengar Bagas mengadu pada Mama.

Mama menatapku. “Kenapa?”

“Enggak apa-apa, Ma. Enak di pinggir kolam, dingin dan langit cerah,” jawabku.

“Oh, iya. Tapi sekarang sudah malam. Istirahat dulu.”

“Iya, Ma. Aku ke kamar dulu.” Aku segera pergi ke kamar. Bagas mengikutiku. Saat masuk kamar tak kulihat lagi tumpukan kado yang tadi berantakan. Kamar terlihat rapi. Tempat tidur juga sudah bersih, tidak ada lagi hiasan bunga mawar. Aku menyangka Mbak Ratih yang merapikannya.

“Kado aku tarok di kamar sebelah,” ucap Bagas menjelaskan tanpa kuminta.

“Oh!”

Aku masuk ke kamar mandi sekalian mengambil wudhu. Aku belum sempat salat Isa. Saat keluar dari kamar mandi. Kulihat Bagas sudah merebahkan diri di tempat tidur. Aku segera salat. Aku merasa AC sangat dingin. Tapi aku tidak berani untuk menurunkannya. Berada dalam balutan mukena terasa sangat nyaman. Selesai salat aku merasa sangat mengantuk. Kubaringkan tubuhku di atas sajadah. Terasa nyaman dan tanpa kusadarj aku terpejam dan tertidur.

Saat tengah malam terbangun. Dan ternyata aku sudah di tempat tidur. Bagas tampak meringkuk di sofa. Aku bangkit dan berjalan ke arahnya. Kutatap wajahnya yang terlihat begitu lelap. Hatiku terenyuh. Ternyata Bagas perhatian padaku sampai dia rela tidur di sofa. Tangan Bagas bergerak. Aku bergegas kembali ke tempat tidur dan menggulung diri dengan selimut tebalku.

Malam kembali berlalu. Kupejamkan mata. Berharap semuanya akan baik-baik saja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillaah, keren ceritanya, sukses bu Nelly Kartina

27 Mar
Balas



search

New Post