Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 18

Terdengar ketikan di pintu kamar. Saat itu aku baru saja selesai sakat Ashar. Aku segera membuka pintu.

“Ya,ada apa Mbak?”

“Ada kiriman tempat tidur baru dari Mas Bagas,” jawab Mbak Ratih. Aku merasa heran dan menatap tempat tidur yang ada di kamar.

“Oh, iya Mbak.” Aku hanya diam. Karena merasa tidak punya hak. Sebuah tempat tidur besar digotong oleh dua orang yang mungkin kurir dari toko. Aku hanya tersenyum kecut. Sementara Mbak Ratih meledek ku.

“Enak, Mbak tempat tidurnya besar.”

Aku tidak mengerti alasan Bagas mengganti tempat tidur dengan yang lebih besar. Mungkin karena ia tidak mau terganggu tidurnya. Dengan tempat tidur yang besar kami bisa berbagi tempat tanpa saling mengganggu.

Semakin besar tempat tidur semakin jauh jarak antara aku dan Bagas.

Hari beranjak malam. Di bawah sepi karena Mama dan Ayah menghadiri undangan kolega Ayah. Sebenarnya aku diajak. Namun, kutolak dengan halus. Tidak enak kalau datang tanpa Bagas.

Setelah salat Isa aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Aku terbangun dan merasa khawatir melihat tempat tidur di sebelahku masih kosong. Bantal dan guling masih rapi pertanda belum tersentuh pemiliknya.

Kuambil ponsel yang kusimpan di atas nakas. Kutatap nomor Bagas. Ingin rasanya menghubungi laki-laki itu dan menanyakan keberadaannya. Namun, itu urung aku lakukan.

Tidak ada gunanya kamu khawatir, Dara, ucap hati kecilku. Aku menghela napas. Kuletakkan kembali ponsel di tempat semula. Kembali kubaringkan tubuhku dan memejamkan mata.

Baru saja mataku terpejam. Terdengar suara bel pintu. Aku membuka pintu kamar. Ada rasa takut untuk turun ke bawah. Terlihat Mbak Ratih tergopoh-gopoh membuka pintu. Aku masih tertegun di pintu kamar. Untuk melihat siapa yang datang tengah malam begini. Kalau Bagas, dia tidak mungkin memencet bel. Karena dia membawa kunci rumah.

Belum selesai aku menebak siapa yang datang, sosok itu akhirnya muncul. Aku terkejut melihat Bagas yang terlihat di bopong Fahry dan seorang perempuan. Nadia, ya perempuan itu Nadia.

Aku bergegas turun ke ruang tamu. Nadia yang melihat kedatangan ku tersenyum sinis. Dia terlihat semakin memeluk Bagas.

Aku tak mengindahkannya. Segera ku dekati suamiku. Aroma alkohol menguar membuat perutku mual dan hampir muntah. Namun, segera kutahan. Aku menatap Fahry. Meminta penjelasan pada pemuda itu tentang apa yang telah terjadi.

“Jangan terlalu dipikirkan, dia hanya mabuk.” Fahry seakan berusaha menenangkan perasaanku. Nadia tersenyum melihatku yang tidak bisa melakukan apa-apa. Fahry dan Nadia membawa Bagas ke kamar. Aku hanya bisa mengikuti keduanya.

Fahry membaringkan tubuh Bagas. Dia tidak memberikan penjelasan apapun. Malah seakan terkesan ingin secepatnya pergi. Nadia menatapku dengan tatapan sinis sebelum dia ditarik Fahry yang mengajaknya untuk segera pergi. Aku terkejut saat wanita itu masih menyempatkan untuk mencium pipi Bagas.

Nadia tertawa melihat keterkejutanku. Sepertinya dia juga mabuk.

“Daa... “ ucapnya sambil melambaikan tangan. Fahry menarik tangannya dan segera turun. Aku melihat ke bawah. Mbak Ratih madih duduk menahan kantuk menunggu kedua teman Bagas itu pulang.

Aku kembali masuk kamar dan duduk di pinggir sofa memandangi wajah Bagas yang tertidur pulas. Aku ingat cerita temanku, katanya kalau orang mabuk itu biasanya akan berkata jujur.

“Natasya, jangan pergi,” ucap Bagas. Dia memegang tanganku. Aku berusaha melepaskannya. Dan pegangannya terlepas.

Ya Allah, apa yang terjadi? Hatiku terasa pedih. Aku berusaha menahan air mata yang terasa panas di kelopak mataku.

Dengan hati-hati aku bangkit. Membuka sepatu dan kaus kaki Bagas. Aku merasa ragu untuk membuka kancing bagian atas kemejanya. Aku terkejut saat tiba-tiba Bagas menarik ku kedalam pelukannya. Dia mendekapku erat. Pelukannya membuatku sulit menggerakkan tangan.

“Bagas, hentikan. Lepaskan aku....” Kucoba melepaskan diri dari dekapannya. Bukannya melepaskanku. Malah dia mulai menciumi wajah dan leherku. Semakin aku berontak, dia semakin beringas.

Suaraku hampir hilang. “Bagas, tolong hentikan!” Air mataku merebak. Aku tidak ingin terjadi seperti ini. Aku berontak!

Bau alkohol tercium dari napasnya.

“Natasya, sayangku....” ucap bagas dengan suara lirih. Aku terus berusaha untuk melepaskan diri. Bahkan baju kaos yang kukenakan sampai robek karena ditarik Bagas. Dengan sekuat tenaga, aku berusaha agar terlepas tanpa menimbulkan keributan di tengah malam seperti ini.

Namun, Bagas tetap memaksa. Aku takut dan tidak ingin semua yang aku takutkan terjadi. Sampai akhirnya aku putuskan untuk menampar wajah Bagas.

Plakkk!

Mungkin karena terkejut dan sakit. Bagas menatapku.

“Bagas lepaskan aku! Aku bukan Natasya!” pekik ku dengan amarah tertahan. Dengan sekuat tenaga kusentakkan tangannya dan menendang selangkangannya hingga pelukannya terlepas. Aku segera bangkit dan turun dari tempat tidur.

Aku berdiri di sudut kamar. Melihat Bagas sudah kembali terlelap. Bawaan mabuk hingga dia tidak merasakan sakit. Dia hanya meringis sebentar.

Aku menuju sofa dan membaringkan tubuhku di sana. Tanganku masih terasa sakit karena cekalan Bagas yang begitu kuat. Ada lebam biru bekas tangan di tangan kiriku.

Tak pernah kusangka akan seperti ini. Menyedihkan!

Kasihan sekali, kamu. Dara.

“Hey! Kenapa tidur di sofa. Tempat tidurnya tidak nyaman? Sengaja aku membeli tempat tidur besar. Biar kamu tidak merasa terganggu dengan suara dengkurku,” ucap Bagas.

Aku menatapnya. Kepalaku masih pusing karena baru bisa tidur menjelang subuh.

“Kamu sudah sadar?”

“Sadar? Aku malah bangun lebih pagi dari kamu.”

“Apa kamu ingat apa yang kamu lakukan semalam?”

Bagas menggeleng.

“O, begitu ya. Lain kali kalau mabuk jangan pulang ke sini. Balik saja ke apartemen kamu. Kasihan sama Mama dan Ayah kalau tahu kelakuan anak kesayangannya.”

Bagas terdiam. Lalu dia berbalik melihat kearahku. Dia melihat kaosku yang robek di dekat leher karena ditariknya. Memang belum sempat aku ganti.

“Tenang, saja kamu belum sempat melampiaskannya padaku. Aku tidak mau! Jika kita ingin melakukannya demi bayi. Aku ingin kita lakukan dalam keadaan sadar. Tidak dalam keadaan mabuk dan membayangkan wajah yang lain.” Kali ini aku tidak bisa menahan kesedihanku.

Bagas terdiam. Entah apa yang dia pikirkan. Aku segera meninggalkannya masuk ke kamar mandi. Aku ingin berendam air hangat untuk mengurangi pegal-pegal di tubuhku. Tanganku terlihat memar. Namun, aku masih bersyukur tidak sampai terjadi. Yang akan membuatku membencinya seumur hidupku.

Setelah puas, berendam. Perlahan kubuka pintu kamar mandi. Tidak ada siapa-siapa. Aku segera menuju pintu kamar dan menguncinya. Aku memilih baju lengan panjang untuk menutupi memar di tanganku.

Kupandangi wajahku di cermin. Sesosok wajah pucat terpantul di sana. Kuhirup napas dalam-dalam.

Ayo semangat, Dara. Kamu tidak boleh menyerah!

Setelah memenangkan diri. Aku membuka pintu. Aku terkejut karena ternyata Bagas sudah berdiri di depan pintu kamar.

“Kita sarapan dulu, sudah ditunggu sama mama dan Ayah,” ajak Bagas. Suaranya begitu lembut. Dia meraih tanganku. Aku menatapnya tapi dia pura-pura tidak melihat. Akhirnya aku hanya bisa menurut. Malu rasanya bertengkar pagi-pagi.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap ulasannya bundaSalam literasi dan ijin follow, jika berkenan follow back bunda

29 Mar
Balas

Terima kasih Bun. Salam literasi. Udah Follow balik

01 Apr



search

New Post