Cinta Andara
Part. 7
Bagas memilih duduk di sebuah gazebo yang berada di atas kolam ikan. Aku terpaksa mengikutinya. Kali ini aku setuju dengan pilihannya.
Suasana sangat sejuk dan asri. Gemericik suara air memang selalu memberikan ketenangan.
Seorang pramusaji mendatangi kami dengan membawa daftar menu.
“Ayo cepat pilih.” Bagas memintaku untuk memilih makanan pada daftar menu.
“Ayam bakar,” jawabku setelah sekilas melihat daftar menu.
“Minumnya Mbak?” tanya pramusaji.
“Air putih.”
Tak kupedulikan Bagas yang menatapku. Aku juga tidak peduli dia mau memesan apa.
Sambil menunggu pesanan datang, aku menyibukkan diri dengan ponsel. Walau tidak ada satu pun postingan yang menarik. Banyak postingan curhat dan cenderung mengumbar aib diri sendiri dengan tujuan mendapatkan jempol dan komentar dari pembaca. Postingan yang seperti itu kadang tak jarang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
“Makan dulu,” bisik Bagas begitu dekat di telingaku. Dia juga mengambil ponsel di tanganku. Aku mendelik kesal tapi terpaksa kutahan karena ada pramusaji yang sedang menyajikan hidangan yang kami pesan. Bagas tersenyum.
Aku memilih diam. Menu kakap asam manis yang dipilih Bagas terlihat begitu enak.
“Ini cobalah, enak.” Bagas memintaku untuk mencoba menu yang dia pesan. Mata kami bertatapan. Aku melihat ada ketulusan di sana. Dia mengambil daging ikan dan mendekatkan sendok itu ke mulutku. Aku seakan terhipnotis tanpa sadar aku membuka mulut dan siap menerima suapan nya.
“Enak saja minta di suapin, ambil sendiri! Kayak anak kecil aja!” Bagas menyuapkan sendok itu ke mulutnya sendiri. Tentu saja aku merasa terkejut dan kesal.
“Siapa juga yang minta di suapin. Enggak sudi!” Aku segera bangkit dengan perasaan kesal walau makananku belum habis, tapi tidak ada lagi seleraku untuk menghabiskannya.
Aku merasa malu dan merutuki diri sendiri. Mengapa bisa sampai tergoda. Sudah pasti laki-laki seperti itu tidak mungkin bisa bersikap romantis. Apalagi pada wanita yang tidak disukainya.
Mataku memanas, Baru kali ini bertemu dengan manusia seperti ini. Ingin aku segera pergi dan pulang sendiri, tapi aku benar-benar masih buta situasi ibu kota.
“Kok tidak dihanuskan makannya? Mubazir. Tidak baik membuang-buang makanan.”
Aku hanya diam. Malas untuk berdebat dengan manusia super egois. Bagas dengan santainya menghabiskan makanannya. Aku hanya bisa menunggu.
Pantas saja dia belok ke rumah makan. Bukan karena mendengar bunyi perutku tapi perut dia sendiri yang kelaparan. Buktinya semua makanan yang dipesan nya habis tak bersisa.
Sudah egois! Juga rakus! Lengkap sudah julukan yang aku berikan pada Bagas.
Bagas menatapku, tapi aku pura-pura tidak melihat. Siapa suruh jadi orang menyebalkan? Aku bangkit dan berdiri di sisi gazebo menatap ikan-ikan yang berenang di kolam. Rasanya cukup terhibur.
“Anak kecil, aku mau menawarkan kerja sama,” ucap Bagas sudah berdiri di belakangku. Aku membalikkan badan dan menatapnya. Tidak tahu apa maksud perkataannya.
“Kerja sama apa?”
Laki-laki itu tersenyum penuh misteri. Entah rencana apa yang ada di otaknya.
“Kamu kan tahu, kedua orang tuaku ingin agar aku segera menikah. Dan sepertinya Mama dan Papa menyukai kamu. Bagaimana kalau kita pacaran lalu menikah, tapi tentu saja semuanya hanya pura-pura.”
“Apa! Tidak Tuan Bagas! Aku tidak mau!” Tegas aku menjawab.
Bagas menatapku.
“Aku sudah tahu, Kamu pasti tidak akan mau,” ucapnya datar.
“Sebuah pernikahan itu adalah ikatan suci. Berjanji di hadapan Allah. Bagaimana mungkin kamu berpikir untuk mempermainkannya?” Aku menatapnya dengan pandangan tidak suka. Bagas terdiam.
“Aku juga punya keinginan seperti itu, tapi aku belum menemukan wanita yang bisa membuatku jatuh cinta. Entah sampai kapan? Sementara Mama sekarang sering sakit-sakitan karena memikirkan aku.”
Aku terdiam. Ternyata Bagas begitu peduli pada Mamanya, wanita yang saat ini juga aku sayangi.
Sejenak ada keheningan di antara kami.
“Teman-teman wanita kamu kan banyak. Masa tidak ada satu pun yang kamu pilih.”
Bagas menggeleng. “Mama dan Papa tidak pernah menyukai mereka.” Sejenak aku terdiam.
“Kalau aku mau mengikuti rencana kamu, apa yang aku dapatkan?”
Bagas menatapku?
“Kamu mau?”
Raut wajah Bagas berubah serius. Cara dia menatapku seolah menusuk dengan bola mata hitamnya yang tajam. Aku harus mengakui, dia terlihat sangat tampan.
“Kita hanya melakukan pernikahan di atas kertas. Dan pura-pura pacaran atau sebagai suami istri di depan orang-orang yang mengetahui hubungan kita. Di luar itu kita tetap pada kehidupan kita masing-masing.”
Aku terpikir ucapan Nenek yang katanya mengizinkan aku untuk bisa bebas bekerja atau kuliah di luar kota kecil kami kalau aku sudah punya suami.
“Ok, aku setuju. Tapi ada syaratnya.”
“Apa? Katakanlah. Berapa mahar yang kamu inginkan?” tanya Bagas yang kembali membuat aku merasa tersinggung.
“Bukan tentang mahar, tapi ada keinginanku yang selama ini tidak bisa kulakukan karena Nenek tidak mengizinkan.”
“Apa?”
“Aku ingin kuliah di sini di kampus idamanku.”
Tanpa menunggu lama, Bagas langsung setuju.
“Bukan hanya itu....”
Bagas menatapku. “Ngelunjak ya....”
Aku tersenyum licik.
“Aku setuju kalau kita tidak saling mengganggu privasi masing-masing. Jadi aku bebas berteman dan menjalin hubungan dengan siapa pun.”
“Memangnya kenapa? Apa kamu sudah punya pacar?” Bagas menatapku dengan tatapan tidak suka.
“Sekarang sih belum, tapi nanti bukan tidak mungkin aku akan menyukai seseorang.”
Bagas tampak berpikir. “Kita lihat saja nanti,” jawabnya dengan nada kesal.
Dia menarik tanganku. “Sekarang kita pulang. Dan mulai sekarang kita bersikap seolah kita pacaran.”
Aku melepaskan tanganku. “Kita belum mahram, jadi jangan pegang-pegang.” Bagas menatapku sekilas dan segera berjalan menuju mobilnya. Aku mengikuti laki-laki itu dari belakang.
Pikiranku masih belum begitu waras. Kok bisa aku menuruti rencana gila yang diusulkan Bagas. Namun, bayangan untuk bisa kuliah di kampus idamanku segera menjawabnya. Ini adalah cara satu-satunya untuk bisa mendapatkan izin dari Nenek dan Kakek.
Di dalam mobil aku mencoba menanyakan siapa teman wanitanya yang selalu ada bersamanya.
“Lalu perempuan yang waktu itu ikut ke Belitung bagaimana?”
“Mengapa bertanya? Bukankah kita sepakat untuk tidak saling ikut campur urusan pribadi. Jadi berhenti memikirkan yang bukan urusanmu.”
Aku mendelik dan merasa kesal dengan jawaban Bagas yang tidak ada manis- manisnya.
“Aku cuma bertanya, karena aku tidak mau dianggap orang ketiga dalam hubungan kalian. Kecuali kamu sudah menjelaskan kepadanya kalau hubungan kita tidak melibatkan perasaan.” Aku membela diri.
Bagas yang sedang memegang kemudi menghentikan mobilnya. Dia terlihat tidak menyukai pertanyaanku.
“Coba sekarang diam dan duduk yang manis.”
Aku merengut. “Terserah kalau kamu tidak mau menjawab. Tapi nanti cepatlah cari pendamping. Karena mungkin aku akan bisa menyukai seseorang sebelum hubungan kita berakhir.”
“Kamu bebas menyukai laki-laki mana pun.”
“Iya sih! Tapi aku paling tidak bisa menyakiti perasaan pasanganku kelak. Karena walau bagaimana pun tidak ada pasangan yang bisa menerima pasangannya punya ikatan dengan orang lain. Apapun statusnya. Beda dengan dirimu.”
Bagas terdiam. Dia menarik napas panjang. Mungkin merasa kesal mendengar ocehanku.
“Terserah kamu, tapi yang pasti aku tidak akan mengakhiri hubungan kita dalam waktu dekat. Kau mau apa dan bagaimana itu urusan kamu,” jawabnya dingin. Sedingin AC dalam mobil yang kami tumpangi. Namun hatiku terasa panas mendengar jawabannya, tapi kali ini aku memilih diam. Sampai akhirnya mobil Bagas memasuki halaman rumah mewah orang tuanya.
Benar dugaanku. Nenek tampak cemas menunggu kedatangan kami.
Bagas yang turun duluan dari mobil segera membukakan pintu mobil untukku dan mengulurkan tangannya. Sebelah matanya mengedip padaku. Membuat hatiku berdebar tak karuan.
Nenek dan Kakek sudah menunggu di teras. Juga Tante Yeni.
“Maaf, tadi kami mampir untuk makan siang dulu,” ucap Bagas. Tangannya masih menggenggam tanganku.
“O begitu, Nenek khawatir, takut ada apa-apa dengan kalian di jalan,” jawab Nenek.
“Tenang, Nek. Sekarang aku siap menjaga cucu Nenek,” jawab Bagas. Membuat aku tersipu. Tante Yeni mendekapku dan mengajak kami masuk.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar