Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta  Andara

Cinta Andara

Part. 10

Tak bisa kubendung air mata yang terus mengalir. Aku langsung masuk ke kamar. Perkataan Bagas begitu menyakitkan. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku begitu bodoh menerima usul Bagas kalau hanya akan membuat hidupku menderita?.

Tidak! Aku harus kuat. Perkataan Bagas tidak bisa membuatku kehilangan harga diri.

Terdengar pintu kamarku ada yang mengetuk.

“Dara, kamu ada di dalam?” Terdengar suara Kakek. Langsung kuambil tisu dan menghapus air mata. Aku tidak ingin Kakek melihat kesedihanku.

“Iya Kek, sebentar.” Aku membuka pintu kamar.

“Kok Pulang? Tadi calon mertua kamu nyariin,” ucap Kakek seraya menatapku lekat.

Kakek masuk ke kamarku. Dia melihat ponsel yang kusimpan di kasur dan mengambilnya.

“Ponsel kamu kenapa?” tanya Kakek sambil memperlihatkan ponselku yang sudah mati.

“Tadi jatuh Kek. Nanti biar aku bawa ke service, Mudah-mudahan masih bisa hidup.”

Kakek menatapku dengan tatapan lembutnya. “Sudah, tidak usah. Sepertinya itu rusaknya parah. Kalaupun diperbaiki pasti mahal karena banyak yang harus diganti.”

Aku terdiam. Bagiku ponsel sangat penting. Tanpa ponsel aku tidak bisa menjalankan bisnis online ku, untuk membeli ponsel baru tabunganku belum cukup.

Kutatap layar ponsel yang terlihat penuh dengan retakan. Ada rasa marah yang kurasakan. Dasar laki-laki kasar!

“Nanti Kakek belikan yang baru. Alhamdulillah panen lada kebun kita lumayan banyak tahun ini,” ucap Kakek.

Aku terharu. Kupeluk tubuh kurus Kakek.

“Tidak perlu, Kek. Aku masih punya tabungan.” Aku berbohong. Bagaimana mungkin aku tega membebani laki-laki yang telah begitu banyak berkorban demi membesarkan dan mengasuh diriku.

“Simpan saja tabungan kamu. Kakek memang sudah lama berniat untuk membelikanmu sesuatu kalau panen kita berhasil. Lagi pula untuk siapa uang Kakek kalau bukan buat kamu,” ucap Kakek tersenyum sambil mengusap pucuk kepalaku yang terbungkus hijab.

Air mata yang sejak tadi kutahan kini kembali mengalir. “Terima kasih, Kek. Maafkan Dara belum bisa membuat Kakek dan Nenek bahagia.”

“Dara, Kakek. Ternyata di sini. Di cariin Ayah.” Aku terkejut melihat Bagas sudah berdiri di depan pintu kamarku. Sikapnya terlihat begitu manis. Begitu pintarnya laki-laki itu bersandiwara.

“Eh, iya Nak Bagas. Tadi Kakek mencari Dara. Kakek telepon tidak diangkat. Jadi Kakek cari ke rumah. Ternyata benar dan ternyata dia pulang karena merasa kesal melihat ponselnya rusak karena terjatuh.” Kakek menjelaskan pada Bagas. Aku hanya diam.

“O, gitu ya Kek. Ya udah, Yuk balik lagi ke rumah. Sudah ditunggu.”

“Iya, kalian duluan. Kakek sebentar lagi menyusul.” Kakek menatapku.

Tidak ingin Kakek curiga, aku segera bangkit dan berjalan keluar kamar.

“ Iya Kek.” Aku terus berjalan tanpa menghiraukan Bagas yang mengikutiku. Laki-laki itu menjajari langkahku. Namun, aku terus berjalan. Malas untuk bicara pada orang yang egois.

Bagas menangkap tanganku membuat aku menghentikan langkah.

“Apa lagi? Kamu tenang saja. Aku tidak akan bicara lagi dengan teman-teman kamu,” ucapku datar.

Bagas menatapku. Beberapa orang yang lewat di jalan menatap kami. Aku kembali melangkah.

“Aku akan mengganti ponselmu yang rusak,” ucapnya lembut. Ada rasa bersalah dalam tatapan matanya, tapi aku tidak mau tertipu lagi.

“Tidak perlu. Aku masih sanggup membeli ponsel baru.”

Bagas merasa tersinggung dengan ucapanku. Namun, aku tak peduli. Terserah! Kalaupun dia ingin membatalkan pernikahan kami, aku siap. Bahkan itu lebih bagus!

“Jangan sok jual mahal! Kamu sengaja untuk membuatku merasa bersalah, kan?” ucapnya.

Aku menghentikan langkahku dan memberanikan diri menatap wajahnya. Walau rasanya jantungku berdetak kencang.

“Kamu yang tidak usah berbasa-basi.”

“Aku bertindak begitu karena kamu yang bersikap tidak sopan!”

“Kalau begitu apa yang harus kita pertahankan. Kita berdua memang tidak ada kecocokan.” Kutantang Bagas.

Bagas tampak semakin geram. Dia menahan tanganku.

“Maksud kamu, aku tidak pantas untuk perempuan seperti dirimu?” Aku menatapnya.

“Maaf, dari awal aku sudah katakan, kalau kamu bukan sosok laki-laki idamanku.” Kutinggalkan Bagas. Kalau bukan demi Kakek dan Nenek mungkin aku sudah pergi.

Bagas kembali menangkap tanganku. Aku tersentak dan hampir terlontar kembali makian dari mulutku, tapi kali ini tatapan Bagas begitu memelas.

“Tolonglah bersikap manis dihadapan Ayah dan Mama. Aku tidak ingin mereka kembali kecewa.” Mendengar ucapan Bagas, aku terdiam. Untuk kesekian kalinya aku menahan diri dan bersikap manis di hadapan Nenek dan Kakek.

Akhirnya aku terpaksa bertahan dan pura bersikap seolah-olah kami baik-baik saja.

Bagas tidak beranjak dari sampingku. Mungkin karena takut aku akan pergi lagi.

“Besok kita, akan mencari pakaian untuk akad nikah,” bisiknya. Aku bergeming tak ingin merespons ucapannya.

Bagas berbalik menghadap ku. Kedua tangannya berusaha memegang tanganku, tapi segera kutarik. “Maaf, aku bukan teman kamu yang bisa kamu peluk dan pegang seenaknya,” ucapku perlahan. Bagas segera menarik tangannya dan melipat kedua tangannya di dada bersedekap. Mungkin dia tersinggung dengan ucapanku. Namun, Aku tak peduli.

“Ok, Nenekmu sudah mewakili kamu dan dia tidak keberatan kita menikah lebih cepat,”ucapnya tersenyum penuh kemenangan.

“Sebenarnya, apa untungnya semua ini buat kamu? Mengapa harus aku? Bukankah teman-teman kamu lebih cantik. Dan kamu bisa membujuk Ayah dan Mama kamu untuk bisa menerima pilihan kamu?”

“Aku tidak ingin dipusingkan dengan pertanyaan tentang kehidupan pribadiku. Kedua orang tuaku lebih menyukai kamu dibanding teman-teman perempuanku.” Bagas menjawab dengan santai.

“Hanya demi status? Silakan cari yang lain saja. Soal Nenek dan Kakek itu urusanku.”

Bagas mendekatkan wajahnya. Membuatku jantungku kembali berdebar.

“Aku memilihmu karena kita sama-sama tidak memiliki kepentingan. Hanya keadaan yang mempertemukan kita.”

Dari jarak yang begitu dekat, Bagas terlihat sangat menarik. Alis tebal dan hidungnya begitu mancung. Tapi, diantara semua iris hitamnya adalah yang paling menarik perhatianku.

“Baik, tapi aku punya, satu syarat lagi,” pintaku tanpa memutus tatapan kami.

“Katakan! Kamu mau uang, rumah, mobil? Semua bukan masalah.”

Aku menggeleng.

“Bukan itu, syarat ku mudah dan kamu pasti bisa memenuhinya. Walau kita sudah menikah, aku tidak mau ada hubungan intim di antara kita. Apapun alasannya,” ucapku perlahan.

Bagas menyipitkan matanya, sepertinya dia kurang setuju dengan syarat ku.

“Kamu yakin?” tanyanya dengan senyum yang menyebalkan.

“Kamu tidak mendengar keinginan orang tua kita untuk segera bisa menimang cucu?”

“Cucu? Kamu yakin? Sepertinya kamu sendiri belum pantas untuk menjadi seorang ayah.” Bagas berusaha untuk menggenggam tanganku. Tapi, dia segera sadar kalau aku tidak pernah mau dipegang.

“Tidak, aku serius. Kau akan menjadi istriku. Aku ingin kau juga siap untuk menjadi ibu bagi anak-anak kita. Aku memang laki-laki brengs*k yang pernah kamu kenal. Tapi aku bukan tipe laki-laki yang bisa lari dari tanggung jawab.”

Mendengar jawaban Bagas, aku merasa pusing sendiri. Begitu cepat pikirannya berubah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post