Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Cinta Andara

Cinta Andara

Part. 15

“Bagas, Nenek titip Dara, ya. Tolong kamu jaga dia dan perlakukan dengan baik. Nenek harap kehadiranmu bisa menggantikan sosok ayah yang tak pernah dimilikinya. Tegurlah dengan cara baik-baik kalau dia salah. Bilang sama Nenek kalau ada sikapnya yang tidak baik.”

Bagas mengangguk. ”Iya Nek, semoga saya bisa menjadi imam yang baik untuk cucu Nenek.

Hah! Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu.

Pandangan Nenek beralih padaku. Kuseka bulir bening yang mengalir dari sudut matanya yang sudah berkerut.

“Dara, status kamu saat ini sudah menjadi seorang istri. Belajar untuk selalu menghargai suamimu. Jangan lagi berbuat sesuka hati. Jalankan lah kewajibanmu sebagai seorang istri. Belajarlah untuk bersikap dewasa.”

“Iya, Nek. InsyaAllah aku akan selalu ingat pesan Nenek. Nenek dan Kakek sehat-sehat ya.” Kupeluk erat wanita yang selama ini sangat aku sayangi. Rasanya begitu berat untuk meninggalkan kedua malaikat yang telah mrngasuh dan menyelamatkan hidupku.

Nenek merenggangkan pelukannya dan mencium pipiku. “Pergilah, suami kamu sudah menunggu,” ucap Nenek. Dia berusaha untuk tersenyum.

“Dara pergi dulu, Nek, Kek.” Kucium tangan keriput Kakek. Laki-laki itu tersenyum. Aku tahu dia tidak ingin aku melihatnya sedih.

Aku terkejut saat Bagas menggenggam tanganku dan mengajakku masuk ke mobil. Kubalas lambaian tangan Nenek dan Kakek sampai mereka tidak lagi terlihat.

Dua teman Bagas juga ikut bersama kami. Pak Cik Hasan mengantar kami ke Bandara. Dua puluh menit perjalanan menuju Bandara Hananjudin.

Di mobil aku hanya diam. Perasaanku rasanya campur aduk. Rasanya tidak percaya dengan hidup yang kujalani. Tak pernah kubayangkan sebelumnya kalau aku akan menikah secepat ini. Pernikahan tanpa cinta.

Mobil berhenti di depan terminal keberangkatan. Bagas menatapku. “Sudah, jangan sedih. Nanti kalau kangen tinggal pulang,” ujar Bagas.

Dia segera turun dan membantu Pak Cik Hasan mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Kami segera masuk. Ternyata Mama dan Ayah sudah di dalam. Senyuman lembut wanita itu sedikit menghiburku.

“Jangan sedih. Belitung -Jakarta kan dekat. Cuma empat puluh lima menit. Kalau kangen tinggal pulang. Iya kan, Yah?”

Ayah tersenyum. Bersama mereka aku merasa aman. Perjalanan lancar. Cuaca cukup bersahabat. Tidak ada kendala apa pun.

Aku menatap keluar jendela pesawat. Perasaanku campur aduk. Keinginanku untuk keluar dari kota kecilku sudah terwujud. Walau dengan cara yang tidak pernah kusangka.

“Dasar anak kecil, cengeng,” bisik Bagas yang melihat mataku merah.

Huh! Ingin rasanya membalas ucapan Bagas. Namun, aku tahan. Tidak enak bertengkar di depan Mama dan Ayah.

Dasar laki-laki tidak punya perasaan. Bukan menghibur malah mengejek.

“Maaf, Mbak tolong dibuka mejanya.” Beberapa pramugari cantik membagikan kue dan minuman.

“Terima kasih, Mbak.” Bagas tersenyum manis menatap Pramugari. Ada rasa cemburu yang kurasakan. Namun, segera kutepis.

Tidak, kami hanya terikat di atas kertas. Selebihnya Bagas dan aku akan berjalan masing-masing.

Tujuan kamu adalah kuliah, Dara. Hati kecil mengingatkanku.

Pesawat dengan lambang kepala singa yang kami tumpangi akhirnya bisa mendaratkan rodanya dengan sempurna. Kini aku sudah kembali ke ibu kota.

Bagas mengambil mobil yang dia titipkan di bandara. Fahri dan Nadia ikut bersama kami. Mama dan Ayah sudah lebih dulu. Karena Ayah harus segera ke kantor.

Celetukan Fahri membuat suasana tidak kaku. Nadia terlihat diam. Mungkin dia tidak nyaman dengan keberadaanku. Biasanya dia terlihat sangat akrab dengan Bagas. Bahkan tidak segan memeluk laki-laki yang sekarang sudah menjadi suamiku.

Beberapa jam berlalu, akhirnya kami tiba di rumah megah yang dulu sempat membuatku terpana. Bagaimana tidak. Rumah dengan dua lantai bergaya minimalis. Dengan warna putih yang mendominasi sebagian besar bangunan. Pohon palem besar dan tanaman hias tampak menghiasi bagian depan bangunan megah itu.

Fahri dan Nadia sudah turun di sebuah halte untuk melanjutkan pulang ke rumah mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Bagas seolah tidak ingin memulai obrolan denganku. Dan aku tidak peduli. Malah itu lebih baik dari pada mendengarkan ucapannya yang sering membuatku kesal.

Mama Yeni menyambutku dan meminta salah satu asisten rumah tangga untuk membawakan koper dan tas bawaan ku ke kamar Bagas yang berada di lantai dua. Kamar itu dulunya sering kosong karena Bagas lebih sering berada di apartemennya.

Aku pernah mendengar pembicaraan Bagas dan Ayahnya kalau dia tidak akan membawaku tinggal di apartemennya. Aku tidak peduli. Walau ada rasa penasaran. Aku merasa Bagas sepertinya menyembunyikan sesuatu di apartemennya. Tapi sudahlah! Bukan urusanku.

“Istirahat, dulu, Sayang. Capek kan,” ucap Mama Yeni. Aku hanya tersenyum. Aku tidak melihat keberadaan Bagas. Entah pergi kemana laki-laki itu.

“Ayo, Mama antar ke kamar.” Aku mengangguk. Kami berjalan menaiki tangga menuju kamar Bagas. Mama membuka pintu. Aku terkejut melihat sebuah tempat tidur besar yang ditata sedemikian rupa dengan taburan kelopak bunga mawar merah. Pemandangan romantis yang seolah menyindirku.

Mama Yeni tersenyum lembut. “Ayo masuklah. Ini kamar pengantin kalian. Semoga Mama segera dianugerahi seorang cucu.” Aku terdiam. Perlahan aku masuk ke dalam kamar.

“Istirahatlah. Mama keluar dulu.” Aku mengangguk.

Mama Yeni keluar dan menutup pintu. Aku masih terdiam, tidak tahu apa yang bisa kulakukan. Untuk duduk di atas tempat tidur aku tidak berani karena takut merusak hiasan yang begitu indah.

Mataku tertuju pada beberapa kotak yang bertumpuk di lantai. Sepertinya itu adalah kado.

“Bukalah, itu kado pernikahan kita dari teman-temanku.” Aku terkejut saat mendengar suara Bagas di belakangku. Tidak terdengar dia membuka pintu saat masuk. Memang sih pintu kamar ini bukan seperti pintu kamarku yang engselnya selalu berderit karena sudah lama tidak diberi minyak.

Bagas dengan seenaknya duduk di tempat tidur. Membuat hiasan kelopak mawar merah itu berserakan dan berjatuhan ke lantai. Tapi aku memilih diam. Karena aku sadar ini adalah kamar Bagas. Dia berhak melakukan apa pun.

Bagas ternyata menyadari kalau aku canggung berada di kamarnya. Dia menghampiri dan merengkuh pundakku dan mengajakku untuk untuk di tempat tidur.

Mataku masih menatap tumpukan kado yang jumlahnya cukup banyak dengan berbagai ukuran.

“Bukalah, itu milikmu,” ucap Bagas lembut. Aku menoleh dan memberanikan diri menatap wajahnya.

Laki-laki itu merebahkan tubuhnya. Aku menjadi bingung apa yang bisa dilakukan. Akhirnya aku memilih untuk duduk di bawah dan mulai membuka kado itu satu demi satu. Isinya sungguh membuatku terbelalak.

“Kamu belum pernah mendapatkan kado ulang tahun ya, seperti anak kecil saja,” sindir Bagas. Ternyata dia memperhatikan kelakuanku. Ada rasa sedih yang kurasakan karena sindirannya memang tepat.

“Iya, memang aku tidak pernah merayakan ulang tahun.”

“Sekali pun?” Aku mengangguk.

“Ya, Udah. Jangan sedih.” Bagas mengusap rambutku. Ada getaran yang kurasakan dan berharap sikap Bagas selalu seperti ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah.. Barakallah terima kasih Pak

22 Mar
Balas

Alhamdulillah Barokallah, karya yang luar biasa Bu Nelly, sehat dan bahagia selalu

22 Mar
Balas



search

New Post