Serenada di Pulau Seliu ( Part. 17. Ada Kesedihan)
#Serenada_di_Pulau_Seliu
Part. 17. Ada Kesedihan
Amara terbangun dari tidurnya, suara deru angin di luar terdengar begitu kencang. Gadis itu segera bangkit dan keluar dari kamarnya. Ia menuju dapur untuk mengambil wudu. Dilihat nya pintu dapur terbuka. Ia berniat untuk menutup nya.
“Pasti Umak lupa memasang palang pintunya, sehingga diterjang angin langsung terbuka,” ujarnya perlahan. Sebelum menutup pintu, ia melongok keluar. Gadis itu terkejut saat melihat ada percikan api kecil. Ia memberanikan diri untuk keluar dan melihat dari mana percikan api itu berasal. Amara terkejut saat melihat Pak Syukur sedang merokok. Laki-laki itu tidak melihat kehadiran Amara.
“Pak...Bapak merokok?”
Pak Syukur terkejut mendengar suara anaknya. Ia segera membalikkan badan dan membuang rokok yang tadi berada di tangannya.
“Amara... Kamu kenapa keluar, Nak?” tanyanya mencoba untuk mengalihkan perhatian Amara.
“Bapak masih merokok?” tanya Amara lagi. Pak Syukur tersenyum.
“Hanya sekali-kali, untuk mengusir dingin. Tadi Bapak habis memindahkan perahu, takut tiang tambatannya patah diterjang angin. Karena merasa dingin, Bapak membakar rokok,” jawabnya merasa bersalah.
Amara terdiam sejenak. Ia memegang tangan lelaki tangguh yang begitu dicintainya.
“Pak, Amara tidak mau melihat Bapak sakit seperti dulu...,” ujarnya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Pak Syukur.
“Iya, Nak. Bapak janji.”
“Bukan pada Amara, Pak. Tapi pada Bapak sendiri.” Amara tersenyum. Dulu Pak Syukur pernah sakit paru-paru yang menyebabkan laki-laki itu harus rutin minum obat selama 6 bulan tanpa putus. Amara tidak ingin itu terulang lagi pada bapaknya.
“Amara, ayo masuk. Nanti masuk angin,”ajak Pak Syukur melihat Amara yang kedinginan. Ia segera bangkit dari duduknya dan mengajak Amara masuk.
“Sebentar, Pak. Aku mau ambil wudu di sumur.”
“Oh, iya. Bapak timba air dulu.” Pak Syukur segera menimba air. Amara menatap Ayahnya. Ia merasa sedih. Besok ia sudah harus berangkat. Ada kebimbangan di hatinya.
“Udah, ini airnya.” Amara melamun, ia tidak mendengar kata bapaknya.
“Nak, cepat ambil wudu. Angin tambah kencang. Cepat masuk.”
“Eh, iye Pak.” Amara segera mengambil wudu. Pak Syukur masih menungguinya.
“Bapak, masuk aja dulu, Pak.” Pak Syukur hanya tersenyum. Ia belum beranjak dari tempatnya berdiri, menunggu sampai Amara selesai berwudu.
“Bapak juga mau wudu,” ujarnya sambil menimba air kembali.
“Kamu masuk dulu.”
“Iya, Pak.” Amara melipat kedua tangannya di dada, mengusir hawa dingin yang begitu menusuk. Terdengar ombak memecah di pantai. Sudah berapa hari ini nelayan tidak turun melaut, karena kalau bulan terang, ikan tidak mau makan. Nelayan sudah paham tentang hal itu. Jadi mereka memilih untuk melakukan aktivitas di darat. Atau membetulkan jaringan dan perahu.
Amara segera menunaikan salat tahajud. Melangit kan doa di sepertiga malam, memohon diberikan keteguhan hati agar tetap bisa melangkah. Ia yakin Allah akan memberikan lebih dari yang ia pinta.
“Ya, Allah... aku ikhlas kalau semua ini adalah takdirmu. Beri aku kekuatan. Kutitipkan kedua orang tuaku, semoga mereka selalu sehat selama kepergianku....” tak terasa air mata menetes di atas sajadah nya.
Ibu masuk ke kamar Amara. Wanita itu sepertinya baru selesai salat. Ibu Rodiah duduk di pinggir tempat tidur Amara. Ada kesedihan saat ia melihat kover Amara yang sudah siap di pojok kamar.
“Mak....” Ibu Rodiah sedikit terkejut. Amara mengambil tangan ibu dan menciumnya. Ibu memeluknya begitu erat. Ia tidak bisa menahan luapan perasaannya.
“Do’akan Amara ya Mak.... “
“Iya, Sayang. Setiap saat Umak selalu mendoakanmu.”
Amara merenggangkan pelukannya. Ia tidak mau larut dalam kesedihan. Saatnya untuk bangkit. Ia ingin membuktikan, walaupun tinggal di pulau kecil tapi bukan berarti bisa diperlakukan semena-mena.
“Nak, ini untuk pegangan.”
Ibu Rodiah memberikan segulung uang berwarna merah yang diikat dengan karet gelang.
“Mak, tidak usah. Amara tahu keadaan Umak dan Bapak,” ujarnya sambil memberikan kembali gulungan uang itu ke tangan ibunya.
“Ambillah, Umak ada Bapak di sini. Tapi kamu di sana sendiri.” Netra wanita itu berkaca-kaca. Amara tidak mau mengecewakan ibunya.
“Umak, jangan nangis...,” bisik Amara. Disekanya bulir bening yang hampir menetes di pipi yang mulai berkerut.
“Iya, ini aku terima uangnya,” ujar Amara sambil tersenyum menatap Ibunya.
“Kamu, hati-hati ya, Nak.”
“Iya, Umak... percaya pada anakmu ini.” Amara memeluk dan mencium ibunya. Pak Syukur yang melihat kejadian itu hanya tersenyum. Ia berharap semoga Amara bisa bahagia. Lelaki itu merasa sedih dengan status yang disandang anaknya. Menikah tapi tanpa ada suami. Ia, merasa kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela hak mereka.
Pak Syukur juga merasa salah, karena berani menikahkan putrinya dengan seseorang yang belum jelas asal usulnya. Ia menyusut sudut matanya yang basah.
“Semoga kamu bisa menemukan kebahagiaanmu, Nak,” bisiknya perlahan. Ia segera turun dari rumahnya menuju mesjid. Karena, azan Subuh sudah berkumandang memecah kesunyian di pulau kecil mereka.
Angin juga sudah mulai reda. Menyisakan sampah daun mangga yang berserakan di halaman. Amara dan Ibunya juga kembali tenggelam dalam salat Subuh.
🍀🍀🍀
“Mak, Bapak... Kami berangkat. Nanti kalau sudah sampai akan kami beri kabar. HP nya jangan ditinggal jauh-jauh,” Ujar Dokter Bety. Ia memang memberi Ibu Amara sebuah HP agar nanti mereka bisa menghubungi Amara, atau sebaliknya.
Amara terharu dengan kebaikan Dokter Bety.
“Kak, Terima kasih ya,” ujar Amara pada Dokter cantik itu. Dokter Bety yang ingin dipanggil kakak.
“Berkas sudah dibawa semua? Jangan ada yang ketinggalan.” Dokter Bety mengingatkan Amara.
“InsyaAllah, sudah Kak.”
Amara, terus menempel dan mendekap Ibunya. Ada kesedihan di wajah keduanya. Begitu juga pada wajah laki-laki yang berdiri tidak jauh dari mereka. Namun, Pak Syukur tidak mau memperlihatkannya.
“Baik, kalau gitu kita segera berangkat.
“Bu Dokter, sini saya bawakan kopernya,” kata Tono yang sudah siap dengan gerobak motornya. Ia segera mengangkat koper Amara dan Dokter Bety ke atas gerobaknya.
Banyak warga yang mengantar kepergian mereka. Warga merasa kehilangan sosok dokter yang cantik dan baik hati.
Rudi mendekati Amara. Lelaki itu terkejut saat mendengar kabar kalau gadis pujaannya akan ikut berangkat bersama Dokter Bety.
“Amara, aku akan menunggu kamu,” ujar Rudi dengan penuh percaya diri. Membuat Amara merasa kesal. Ia segera menjauh dari Rudi dan tidak mau memberi harapan sedikit pun.
Mereka segera berangkat ke pelabuhan untuk menyeberang. Kemudian naik mobil ke bandara. Sengaja mereka mengambil penerbangan sore. Jadi tidak takut kalau terlambat.
Amara berusaha untuk menguatkan hatinya. Ia merasa sedih melihat kedua orang tuanya yang masih berdiri di dermaga. Menunggu sampai perahu motor yang membawa mereka menyeberang berangkat.
Lambaian tangan keduanya membuat hati Amara terasa pedih. Namun, ia harus kuat. Karena ini hanya untuk sementara. Nanti ia pasti akan kembali.
Sepanjang perjalanan, Amara lebih banyak diam.
“Ayo, semangat!” Dokter Bety mendekap pundak Amara dengan lembut. Amara tersenyum.
“Ini adalah awal untuk memperjuangkan cintamu,” bisik Dokter Bety. Amara menatap dokter cantik itu. Ia tidak mengerti apa maksudnya.
“Maksud Dokter?”
“Kok, Dokter?”
“Eh, iya Kak.” Mereka tertawa.
“Nanti kamu akan mengerti,” ujarnya penuh teka-teki.
Perahu motor melaju, semakin jauh meninggalkan Pulau Seliu. Hanya tinggal terlihat hamparan pantai dengan pasir putihnya.
Bersambung....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Salam literasi
Terima, kasih Pak atas kunjunganya
Semoga bahagia menanti Amara
Keren Bunda, Salam sukses selalu ya Bunda
Terima kasih Bun...
Semoga bahagia menunggu Amara