Serenada di Pulau Seliu ( Part. 19. Mulai dari Awal)
#Serenada_di_Pulau_Seliu
Part. 19. Mulai dari Awal
Seorang pemuda gagah dengan tinggi 176 cm, berdiri di depan jendela besar ruangan kerjanya yang berada di lantai 16 yang berada di pusat kota. Dari tempatnya berdiri, ia bisa menatap ke arah pelabuhan Tanjung Periuk yang berada di hadapannya, tampak kapal-kapal yang berlabuh. Sebuah crane besar juga tampak sedang melakukan aktivitas bongkar muat petikemas dari atas kapal.
Mahesa, juga menatap birunya laut. Ada rasa rindu di hatinya. Rindu pada seseorang yang selalu menemaninya menatap indahnya laut.
“Kenapa, Abang menyukai laut?” pertanyaan yang selalu ditanyakan Amara.
“Kamu tahu jawabannya, laut sama seperti kamu. Begitu memikat dan sulit untuk diselami, penuh misteri. Namun, saat kita sudah menyelami kedalamannya, kita akan enggan untuk kembali. Karena di dalam sana begitu indah.”
Mahesa mengembuskan napas. Keinginannya untuk mengarungi lautan dan menemui Amara terpaksa harus dipendamnya. Ia tidak ingin membuat banyak orang terkena masalah karena dirinya.
Kedua orang tuanya tidak mengizinkannya untuk kembali mengarungi lautan. Jangankan untuk mengarunginya. Bahkan mereka melarang keras Mahesa untuk mendekati lautan. Dengan alasan, ibunya merasa trauma dengan kejadian yang menimpa Mahesa. Wanita itu tidak mau kehilangan Mahesa untuk kedua kalinya.
Saking takutnya kalau Mahesa menghilang lagi, saat ini kemana pun Mahesa pergi selalu dikawal beberapa bodyguard.
“Mama mohon, Nak. Lupakan laut. Laut yang telah membuatmu celaka. Mama tidak ingin kejadian itu terulang lagi....”
Renata berurai air mata saat Mahesa mengutarakan keinginannya untuk ikut menyelam bersama teman-temannya. Sebenarnya satu hal yang sangat ditakutkan oleh wanita itu. Yaitu, ia takut Mahesa kembali ke pulau kecil tempatnya terdampar dan menemui wanita yang sudah dinikahinya.
“Jangan pernah kembali ke pulau itu. Masyarakat di sana sangat marah sama kamu. Karena mereka mengira kamu telah mempermainkan gadis itu.”
“Tapi, Ma. Aku ingin kembali ke sana dan menjelaskan semuanya, kalau sebenarnya aku mencintai Amara.”
“Tidak! Nak... Jangan lakukan itu. Warga di sana tidak mau lagi menerima kehadiranmu! Pernikahan kalian tidak sah. Karena kamu menggunakan nama lain dan tidak bernasab pada ayahmu.” Mahesa terdiam. Apa yang dikatakan ibunya memang benar. Ia merasa menyesal, telah melakukan itu. Namun, tentang perasaannya pada Amara. Ia tidak bisa bohong. Kalau memang mereka saling mencintai. Sekarang ia bingung harus bagaimana.
Renata menatap putranya, ia merasa bersalah telah berbohong . Tapi hanya itu cara yang bisa ia lakukan untuk mencegah Mahesa kembali ke pulau.
Wanita yang masih terlihat kecantikannya walau usianya sudah hampir setengah abad itu merasa sedikit lega, saat ini Mahesa tidak mungkin berani untuk berangkat sendiri. Ia baru belajar untuk mengenali kembali orang-orang yang dekat dengan dirinya di masa lalu.
Renata mendekatkan Sarah dengan Mahesa. Ia dan Sarah bersepakat membohongi pemuda itu dengan mengatakan kalau dulu Mahesa dan Sarah sudah bertunangan dan hampir menikah.
“Maaf, kalau aku lupa,” ujar Mahesa saat Sarah menjelaskan semua tentang kedekatan mereka.
“Iya, Kak, enggak apa-apa. Sekarang aku bahagia karena Kak Mahesa kembali lagi.” Sarah tersenyum bahagia. Bagaimana tidak, sejak lama ia sudah menyukai kakak sahabatnya. Namun, dulu Mahesa tak pernah mengindahkannya. Sikapnya selalu dingin. Sarah menyandarkan kepalanya di pundak Mahesa.
“Maaf, kita belum boleh seperti ini. Belum muhrim,” ujar Mahesa sambil melepaskan tangan Sarah. Ia berdiri agak menjauhi Sarah. Membuat wanita cantik itu merasa kesal. Tapi rasa itu ditahannya.
‘Sabar, Sarah. Kamu harus bisa menahan diri untuk mendapatkan hati Mahesa,’ bisik hatinya.
Mahesa yang sekarang memang berbeda dengan Mahesa yang dulu yang selalu cuek dan bebas. Kalau sekarang Mahesa terlihat lebih pendiam dan cenderung menutup diri, apalagi dengan wanita.
Saat Renata mengadakan pesta kecil menyambut kepulangan Mahesa ke rumah, banyak teman-temannya Mahesa yang sengaja diundang. Mereka bahagia karena, Mahesa telah kembali. Beberapa teman wanitanya ingin memeluk dan cipika-cipiki seperti yang biasa mereka lakukan. Namun, Mahesa segera menolak dengan menjauh dan menangkup kan kedua tangannya di dada. Renata dan Wijaya juga heran melihat sikap Mahesa.
Saat tamu sudah pulang, Renata menanyakan hal itu.
“Mengapa kamu bersikap seperti itu, Nak? Kan teman-teman merindukanmu.”
“Bersikap bagaimana, Ma?”
“Kamu menolak di saat teman-teman wanita ingin memeluk kamu.”
“Oh, itu. Iya memang harus seperti itu, Ma. Tidak boleh laki-laki dan wanita yang bukan muhrim saling bersentuhan apalagi sampai berpelukan.”
Jawaban Mahesa membuat Renata dan Wijaya terdiam.
“Aku banyak belajar dari Amara, ia wanita yang soleha,”
Tentang Sarah, Mahesa hanya diam. Tidak ada rasa cinta sedikit pun di hatinya. Namun, ia akan berusaha untuk belajar kembali dari awal. Belajar mengenali orang-orang yang pernah dekat dengan dirinya di masa lalu.
Wijaya Kusuma selalu mengajak Mahesa untuk menghadiri pertemuan penting bisnisnya, walau Mahesa hanya sebagai pendengar. Namun, minimal ia bisa belajar dan mengenali rekan bisnis mereka.
“Terima kasih sudah bisa hadir memenuhi undangan kami,” kata Mahesa menyambut beberapa tamu mereka. Dari cara berpakaian, sepertinya tamu mereka kali ini berbeda.
Iya, tamu mereka kali ini adalah beberapa orang ulama dan ustad yang akan mereka ajak kerja sama untuk membangun sebuah pesantren di daerah Bogor.
“Alhamdulillah, kami sangat senang dan berterima kasih atas undangannya. Kami senang ada pengusaha yang memiliki niat mulia untuk membangun pesantren bagi putra- putrl kita. Semoga niat itu bisa segera di realisasikan.” Ustadz Wijayanto yang menyampaikan rasa terima kasihnya.
“Aamiin .... “ jawab Mahesa dan Ayahnya—Wijaya Kusuma. Semua rencana ini memang atas usul Mahesa. Ia punya ide untuk membangun sebuah pesantren bagi para tahfis Qur’an. Ide itu muncul di benaknya saat membaca tentang Alm. Ustadz Ali Jaber. Beliau punya keinginan untuk membangun tempat bagi para penghapal Al Qur’an.
Ingatan Mahesa memang belum pulih. Tapi ia banyak tahu tentang dirinya. Foto dan barang-barangnya di kamar banyak menjelaskan semuanya. Teman-temannya juga banyak membantu. Namun sekarang mereka tidak bisa lagi mengajak Mahesa ke tempat hiburan malam ataupun ke cafe seperti yang dulu sering mereka lakukan. Karena Mahesa akan langsung menolaknya. Bukan hanya itu, tapi di tambh wejangan sedikit.
Memang Mahesa sekarang sering mengikuti majelis kajian ilmu. Awalnya ia di ajak oleh rekan bisnisnya yang juga mantan artis terkenal.
Sekarang Mahesa merasa lebih tenang. Walau ingatannya belum pulih. Ia belaJar untuk menerima apa yang terjadi pada dirinya.
Mahesa banyak belajar dari orang-orang terdekatnya. Mulai mengenali satu persatu keluarga dekatnya. Perlahan ia mulai merasa dekat dan menyayangi.
Dalam urusan bisnis, Mahesa juga mulai belajar. Ia memberanikan diri, menerima tawaran Wijaya Kusuma untuk memegang sebuah mall besar yang super lengkap. Clara banyak membantunya. Gadis itu selalu berada di samping Mahesa. Acara pembukaan yang ditandai dengan pengguntingan pita berjalan dengan sukses. Acara tersebut banyak diliput media dan disiarkan secara langsung.
Clara sengaja mengambil cuti kuliahnya demi untuk menemani kakaknya. Renata dan Wijaya merasa bahagia melihat kedekatan kedua anak mereka.
Bersambung....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpen keren
Terima kasih Bunda
Bagus ceritanya bun, ditunggu lanjutannya
Sangat menarik ceritanya bundaSalam sukses selalu
Alhamdulillah Terima kasih Bun