Nelly kartina sosilawati

NELLY KARTINA SOSILAWATI SD NEGERI 11 SIJUK. BELITONG Jangan hanya menulis di waktu luang, tapi selalu meluangkan watu untuk menulis Salam literasi!...

Selengkapnya
Navigasi Web
Serenada di Pulau Seliu ( Part. 20. Mencoba Melupakan)

Serenada di Pulau Seliu ( Part. 20. Mencoba Melupakan)

#Serenada_di_Pulau_Seliu

Part. 20. Mencoba Melupakan

“Ayo turun,” ajak Dokter Bety pada Amara yang masih terlihat bingung. Mobil yang dikemudikan Kak Dony—calon suami Dokter Bety sudah berhenti di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah.

“Amara... ayo turun, kita sudah sampai. Ini rumahku.” Amara melihat keluar. Ia tidak menyangka ternyata Dokter Bety anak orang kaya. Ia salut dengan dokter cantik itu yang mau tinggal di pulau kecil dengan fasilitas yang sangat sederhana.

“Hei, kok melamun, ayo kita turun.” Dokter Bety tersenyum lembut. Kak Dony membukakan pintu mobilnya untuk Amara. Gadis itu segera turun. Mereka melangkah masuk. Pintu gerbang sudah dibuka. Seorang satpam menyapa mereka dengan ramah.

“Pak, tolong kopernya dibawa masuk ya...”

“Iya, Non. Siap,” jawab Pak Udin—satpam yang bekerja di rumah orang tua Dokter Bety.

“Assalamu’alaikum....”

“Wa’alaikumussalam.” Terdengar jawaban dari dalam. Seorang wanita yang sangat mirip dengan Dokter Bety membuka pintu. Ia tersenyum melihat tamunya yang datang. Dokter Bety memeluk ibunya. Terlihat kedua wanita itu saling melepas rindu. Dokter Bety sudah sekitar enam bulan tidak pulang.

“Ma, kenalkan, ini Amara.”

Amara segera mengulurkan tangannya. Imelda—ibunya Dokter Bety, mendekap Amara dengan lembut.

“Anggap di rumah sendiri, ya,” ujarnya dengan wajah yang ramah.

“Ayah, mana Ma? ”tanya Dokter Bety.

“Biasa, Ayahmu kan lelaki panggilan,” jawab Imelda tersenyum. Mereka tertawa. Karena ternyata yang dimaksud lelaki panggilan, karena Dokter Hendra—ayah Amara adalah seorang dokter ahli anastesi, walaupun tidak sedang bertugas, tapi kalau ada panggilan operasi mendadak dari rumah sakit. Ia selalu siap untuk datang. Karena baginya itu adalah panggilan kemanusiaan yang menyangkut keselamatan nyawa orang lain.

“Ayo antar Amara ke kamar dulu, biar bisa istirahat,” ujar Imelda pada Dokter Bety. Dony mohon diri untuk pulang dulu. Dokter Bety mengantar calon suaminya ke depan. Mereka tampak begitu serasi.

Melihat kebersamaan Dokter Bety dengan Dony. Amara jadi ingat Mahesa. Namun, segera ditepisnya bayangan lelaki itu. Ia menghela napas perlahan.

‘Sadar diri, Amara. Fokus pada tujuan kamu,’ bisik hati kecilnya.

“Yuk, kita ke kamar,” ajak Dokter Bety. Amara sedikit terkejut.

“Iya, Kak.” Amara mengikuti langkah Dokter Bety yang mengantarnya ke kamar tamu.

“Silakan, ini kamar kamu. Anggap rumah sendiri.” Dokter Bety mendudukkan dirinya di sebuah tempat tidur besar. Kamar yang sangat luas. Dengan semua fasilitas ada di dalam kamar. Ia bangkit dan membuka sebuah pintu.

“Ini kamar mandinya.” Ia mengajak Amara masuk dan melihat keadaan di dalam kamar mandi. Ada kaca cermin besar, sebuah bathtub dan shower. Amara terlihat bingung, ia tidak mengerti cara menggunakannya. Dokter Bety tersenyum. Ia paham dengan apa yang dipikirkan Amara. Dokter cantik itu menjelaskan cara mandi dengan bathtub atau dengan menggunakan shower dan bagaimana mengatur air panas dan dinginnya. Mereka tertawa.

“Sudah, ya... Aku tinggal dulu. Mau mandi, gerah! Nanti selesai mandi, kita makan,” ujarnya sambil keluar kamar. Amara tersenyum.

“Iya, Kak,” jawabnya.

Setelah menutup pintu. Ia membuka koper dan mengeluarkan pakaian yang dibawanya. Menyimpannya di lemari yang sudah di sediakan. Ia menatap sekeliling kamar. Seperti mimpi sekarang ia sudah berada di sini. Di ibu kota. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ia bayangkan. Ada rasa sedih, teringat ayah dan ibunya yang kini jauh di seberang.

“Tidak, aku harus kuat!” ujarnya perlahan. Ia segera bangkit, mengambil handuk dan pakaian ganti ke kamar mandi. Ada kesegaran yang ia rasakan saat air hangat dari kucuran shower menerpa tubuhnya. Awalnya ia sempat kaget karena merasa air terlalu panas. Amara jadi senyum-senyum sendiri.

Selesai mandi dan berpakaian, gadis itu langsung berwudu, karena sebentar lagi magrib. Ada ketenangan yang ia rasakan.

Segera dikeluarkannya berkas-berkas yang di bawanya. Disimpannya di atas nakas. Rencananya besok pagi mereka akan ke kampus untuk melakukan pendaftaran.

Saat membuka tas kecilnya, Amara melihat gulungan uang yang diberikan ibunya. Memang belum pernah ia buka dari ikatan karetnya. Ia segera membuka dan menghitungnya. Ternyata lumayan banyak, jumlahnya dua juta tiga ratus ribu. Air matanya mengalir. Ia merasa terharu. Ada rasa rindu pada ayah dan ibunya. Segera di ambilnya ponsel dari dalam tasnya. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang diberikan Dokter Bety pada ibunya.

Amara menatap layar ponselnya. Tampak sudah berdering tapi belum diangkat. Ia tersenyum,

‘Pasti ponselnya di mana, orangnya di mana,” ujarnya dalam hati. Ia menghentikan panggilannya karena sebentar lagi azan magrib. “Ayah pasti sudah ke masjid,”ujar Amara bicara sendiri.

Azan Magrib berkumandang. Amara segera mengenakan mukenanya. Ia melihat sekeliling untuk mencari petunjuk arah kiblat. Ternyata memang sudah ada, sebuah kaligrafi bertuliskan Allah di pasang di dinding sebagai petunjuk kiblat.

Setelah selesai shalat, Amara berdoa semoga diberikan kelancaran dan kemudahan dalam semua urusannya. Termasuk urusan hatinya. Semoga ia bisa melupakan Bang Aldi atau Mahesa Raditya sang putra konglomerat. Sambil berdoa tanpa disadarinya ada air mata yang menetes.

Allahumma lã sahla illa mã ja’altahu sahla wa anta taj’alul hazna idzã syi’ta sahla.

“Ya Allah, tiada suatu kemudahan kecuali Engkau jadikan mudah, dan Engkau yang menjadikan kesedihan (kesulitan), apabila Engkau menghendaki pasti akan menjadi mudah.”

Baru saja ia melipat sajadah, terdengar suara ketukan di pintu.

Tok! Tok! Tok!

Ia segera bangkit dan membuka pintu. Dokter Bety tersenyum, ia segera masuk.

“Sudah Shalat?”

“Sudah Kak, baru saja selesai,” jawab Amara.

“Kita makan, yuk,” ajak Dokter Bety. Mereka segera keluar kamar dan menuju ke ruang makan. Imelda sudah menunggu mereka.

“Amara, kenalkan ini Bik Asih, beliau asisten rumah tangga di rumah ini. Tapi sudah kami anggap keluarga.” Dokter Imelda mengenalkan Bik Asih.

“Iya Non Amara, kalau ada perlu apa-apa bilang sama Bibik,” ujar Bik Asih dengan ramah.

“Iya, Bik. Terima kasih,” sahut Amara. Mereka makan bertiga, karena Dokter Hendra belum pulang dari rumah sakit. Ayah dan Ibu, Dokter Bety bertugas di rumah sakit yang sama. Tapi berbeda bagian. Dokter Imelda adalah dokter spesialis bagian saraf.

“Ayo makannya yang banyak. Takut gemuk ya?” ujar Imelda yang melihat Amara makan hanya sedikit.

“Ah, enggak Tante,” jawab Amara sambil tersenyum.

Imelda menatap Amara, ia sudah mendengar cerita tentang gadis di hadapannya. Bety sudah menceritakan tentang apa yang dialami Amara. Imelda merasa ikut prihatin. Saat Bety meminta izin untuk mengajak Amara untuk tinggal bersama mereka selama gadis itu melanjutkan kuliahnya. Imelda dan Hendra langsung setuju. Apalagi Amara dan keluarganya sudah banyak membantu Bety selama anak mereka bertugas di Pulau Seliu.

Sebenarnya Imelda dan Hendra sangat ingin mengunjungi Bety ke Pulau Seliu. Sebuah pulau yang kata Bety begitu indah. Namun, kesibukan mereka sebagai dokter, membuat keduanya sulit untuk mengatur waktu untuk bisa pergi bersama.

Saat sudah selesai makan, Amara pamit sebentar ke kamar. Ada titipan dari ibunya.

“Tante, ini ada sedikit oleh-oleh dari pulau,” ujar Amara sambil memberikan sebuah bungkusan yang berisi emping melinjo dan ikan asin.

“Wah, enak ini...,” ujar Imelda.

“Bikin sendiri, Tante.”

“Oh, ya. Jadi di Pulau Seliu banyak pohon melinjo?”

“Iya, pohonnya banyak. Tapi sekarang tidak banyak yang mau mengolahnya jadi emping,” jawab Amara.

“Kenapa? Kan sayang, banyak buahnya tapi tidak diolah. Memang rumit ya, bikinnya?

“Iya, bisa dibilang seperti itu.”

Saat Amara berbicara bersama ibunya. Dokter Bety tampak asyik berbicara dengan Dony di ponselnya. Rencana pernikahan mereka sebentar lagi. Gedung tempat resepsi sudah di pesan sejak berapa bulan yang lalu. Sekarang mereka sedang mempersiapkan foto prewedding yang sebagian fotonya untuk di cetak di kartu undangan.

Bersambung....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen keren

22 Aug
Balas

Terima kasih Bunda

22 Aug

Msntap, keren bun

22 Aug
Balas

Alhamdulillah Terima kasih Bun

22 Aug

Alhamdulillah Terima kasih Bun

22 Aug

Bagaimana kisah Amara di Kota besar ini ya.. Lanjuut Bun.

22 Aug
Balas

Ikuti terus ya Bun...

22 Aug

Keren bangt Bund cantik kisahnya. Salm sehat dan sukses

23 Aug
Balas



search

New Post