Serenada di Pulau Seliu ( part. 22. Terlambat)
#Serenada_di_Pulau _Seliu
Part. 22. Terlambat
Lautan begitu tenang, gelombang mengalun lembut. Clara asyik mengabadikan pemandangan indah di hadapannya dengan kamera ponsel. Sesekali ia mengarahkan kamera pada Mahesa yang terlihat agak gelisah. Sesekali laki- laki itu membenamkan topi dan membenarkan kaca mata hitam yang bertengger sempurna di hidung mancung, menutupi sebagian wajah yang terlihat resah.
Mahesa mengakui kalau sebagai lelaki ia harus bertanggung jawab atas semua yang telah ia lakukan. Ia telah mengucapkan ijab kabul atas seorang gadis. Janjinya sudah tercatat, baik di hadapan manusia maupun di mata Allah. Status Amara sebagai seorang gadis telah berubah menjadi seorang istri. Dan status itu akan tetap melekat. Kecuali ia mengucapkan talak atas Amara.
Mahesa menghela napas. Menghirup udara dan melepaskannya. Beberapa perahu nelayan melintas di samping perahu motor yang mereka tumpangi. Ia memperhatikan sebuah perahu motor kecil dengan lis warna biru di bagian bawah, yang terlihat sedang melabuhkan jangkar. Seseorang di dalam perahu itu terlihat sedang memancing.
‘Apa itu perahu motor Pak Syukur?’ tanya Mahesa dalam hatinya. Ia sedikit hafal dengan perahu itu karena memang mereka sering melaut bersama. Ia terus menatap perahu itu sampai akhirnya tidak terlihat lagi.
Perahu motor yang mereka tumpangi sudah mengurangi kecepatannya. Karena sebentar lagi akan segera tiba. Ia menyandarkan tubuhnya di tiang perahu motor, netra elangnya menatap pulau kecil di hadapan mereka. Ada getaran yang ia rasakan, membayangkan sebentar lagi akan bertemu dengan seorang gadis yang selalu mengisi mimpinya. Yang tetap lekat dalam ingatannya walau kadang ingatannya tentang hal yang lainnya sering timbul dan tenggelam.
“Kak, bagus banget ya pemandangannya. Pantas saja Kakak betah,” ujar Tiara. Gadis itu tersenyum. Ujung hijab pashminanya berkibar tertiup angin. Ia begitu menikmati suasana yang belum pernah dirasakannya. Sekarang ia merasa begitu bebas. Tidak ada pengawal yang membatasi ruang gerak mereka.
Ia duduk di samping Mahesa. Laki-laki itu hanya tersenyum menatap adiknya. Walaupun dalam ingatannya belum muncul cerita tentang masa kecil mereka. Namun, Mahesa bisa merasakan bahwa Clara memang adik kandungnya. Mereka banyak memiliki kesamaan. Ada ikatan batin yang terjalin. Bahkan Mahesa merasa salut dengan adiknya yang rela cuti dari kuliahnya di Prancis hanya untuk membantunya. Clara adalah mesin pengingat nya. Dari gadis itu ia bisa tahu bagaimana bahagianya saat masa kecil mereka.
Semakin dekat perahu motor mendekati pulau yang merupakan sebuah desa kepulauan yang termasuk wilayah Kecamatan Membalong. Sebuah pulau kecil yang hanya memiliki luas daratan tidak seberapa yang di huni oleh 364 kepala keluarga. Namun untuk keindahan pantai dan alam bawah lautnya, Pulau Seliu pantas menjadi primadona di Kabupaten Belitung. Pasir putihnya yang begitu halus dan lembut terhampar di sepanjang pantai. Udara juga bertiup dengan sejuk. Pohon kelapa terlihat melambai-lambai di sepanjang pantai.
Debar jantung Mahesa semakin kuat. Ia menghela napas.
“Amara... Aku datang,” ujarnya perlahan.
“Apa, Kak?” tanya Amara yang mendengar perkataan Mahesa. Laki-laki itu hanya tersenyum. “Apa?” balasnya balik bertanya.
“Yee, aku udah dengar kok,” ujar Amara tersenyum.
“Huu... tukang nguping,” bisik Mahesa di telinga adiknya. Clara hanya tertawa.
Ada semangat yang tergambar di wajahnya yang semakin tampak gagah.
Beberapa penumpang memperhatikan keduanya. Penampilan adik kakak itu memang terlihat begitu berbeda. Secara mereka berdua adalah anak Sultan. Kusuma Wijaya termasuk dalam sepuluh konglomerat terkaya di Indonesia. Namun, walaupun begitu Mahesa dan Clara tetap rendah hati dan tidak memilih dalam bergaul.
Mahesa segera melangkahkan kakinya ke dermaga. Clara terlihat ragu untuk melangkah. Gadis itu merasa takut karena papan yang digunakan untuk menyeberang dari perahu motor ke dermaga terlihat bergoyang. Mahesa tersenyum melihat adiknya yang takut. Ia mengulurkan tangannya pada Clara. Gadis itu melangkah perlahan sampai akhirnya ia menjejakkan kakinya di dermaga. Gadis itu tersenyum dan bisa bernapas dengan lega.
“Alhamdulillah!” ujar Clara.
Siang yang panas dan sangat menyengat. Clara mengambil topi lebar dari dalam tas ransel dan mengenakannya, cukup untuk melindungi wajahnya dari sengatan mentari yang tepat di atas kepala mereka.
“Mau kemana dulu, Bang?” tanya Dino.
Mahesa menatap gerbang yang bertuliskan “ Selamat Datang di Pulau Seliu “.
“Kita istirahat dulu di sana, sebentar,” ujar Mahesa sambil menunjuk ke arah bangku kayu di bawah pohon mangga.
Clara merasa perutnya lapar.
“Kak, lapar nih. Kita cari makan dulu ya,” pintanya.
“Kita ke Pokdarwis dulu, nanti bisa pesan makanan di sana,” ajak Dino. Ia memang biasa membawa tamu yang berkunjung ke Pulau Seliu.
Mahesa terlihat agak ragu. Ia takut kalau kedatangannya kembali ke pulau ini akan mendapat masalah. Ia ingat Renata pernah mengatakan kalau warga Pulau Seliu tidak mau lagi menerima kedatangannya di pulau ini.
Ia menatap Clara.
“Ayolah, Kak. Kita makan dulu, ya....”
“Ya, sudah. Nanti Bang Dino tolong di urus ya,” ucap Mahesa, pada Dino.
“Siap, Bang.” Dino tersenyum.
Mereka segera berjalan menuju galeri Pokdarwis Desa Pulau Seliu yang tidak jauh dari dermaga. Mereka disambut beberapa pemuda yang ada di sana. Dino segera memesan makanan untuk tamu yang di bawanya.
“Abang, mau kopi?” tanya Dino pada Mahesa.
“Iya, Bang. Sama emping goreng ya,” jawabnya. Ia teringat dulu setiap pagi dan sore, Amara selalu menyeduhkan secangkir kopi di temani setoples emping goreng hasil buatan sendiri. Mahesa tersenyum.
“Aku mau Coconut Manggo,” pinta Clara sambil menunjuk gambar segelas minuman segar di daftar menu.
“Pilihan yang tepat, Mbak! Ini minuman khas Pulau Seliu,” ujar Dino.
Mahesa sengaja memilih duduk di pojok. Kacamata hitamnya tidak di lepas.
Aroma kopi segera terhidu. Minuman hitam itu sudah ada di depan Mahesa. Dino memesan minuman yang sama. Segelas minuman dalam gelas tinggi juga sudah tersedia di hadapan Clara. Terlihat begitu segar. Minuman yang terdiri dari campuran air kelapa lengkap dengan kelapa mudanya, dicampur dengan potongan buah mangga segar sangat menggugah selera. Clara segera menyeruputnya.
Tak lama kemudian seorang gadis menghampiri mereka dan mengatakan kalau makanan yang di pesan sudah di sajikan. Mereka di ajak ke sebuah gazebo. Di sana sudah tersedia sebuah dulang yang di tutupi dengan mentudong*. Mereka segera duduk ditikar dan membuka mentudong yang menutupi sajian di dalam dulang tersebut. Netral Clara berbinar melihat sajian di hadapannya. Sajian bermacam seafood, ada kepiting rajungan, cumi-cumi dan ikan panggang bumbu kuning dan yang tidak pernah ketinggalan adalah gangan—masak ikan bumbu kuning. Masakan yang kembali mengingatkan Mahesa pada Amara. Yang membuatnya semakin tak sabar untuk segera bertemu dengan gadis itu.
Clara tak lupa mengabadikan sajian di hadapannya di kamera ponsel, sebelum mereka menyantapnya. Mahesa hanya tersenyum melihat tingkah adik kesayangannya.
Setelah selesai makan dan merasa sudah cukup istirahat, Mahesa mengajak Dino dan Clara untuk menuju rumah Amara.
“Aduh, yang mau bertemu istri tercinta, enggak sabaran,” ujar Clara yang melihat kakaknya tak sabar menunggu Clara yang sedang membereskan tas ranselnya.
“Bang! Abang, Bang Aldi kan?” Tiba- tiba gadis yang tadi menyajikan makanan mendekati Mahesa. Laki-laki itu merasa terkejut karena ada yang mengenalinya. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia memilih untuk jujur.
“Iya,” jawabnya sambil membuka kaca mata hitam nya.
“Tuh kan... benar..., “ ujarnya tertawa puas. Karena dugaannya ternyata benar.
“Kok, Abang baru sekarang datangnya? Udah telat. Kak Amara sudah pergi,” celoteh gadis itu. Mahesa merasa kaget mendengarnya.
“Amara pergi? Kemana?”
“Kak Amara melanjutkan kuliahnya ke Jakarta,” jawab Anisa—nama gadis itu. Clara hanya terdiam mendengar penuturan gadis itu. Ia menatap kakaknya yang terlihat begitu kecewa.
Mahesa segera mengajak Clara ke rumah Amara. Ia ingin menemui kedua orang tua Amara dan mencari informasi di mana keberadaan gadis itu.
“Ya Allah, ternyata aku telat,” ujarnya sambil menyugar rambut dengan kedua tangannya. Di wajahnya terlihat gurat kekecewaan.
Langkahnya gontai menuju rumah Amara. Tak terlihat lagi semangat yang menggebu. Clara juga hanya diam. Ia ikut merasakan kekecewaan yang dirasakan kakaknya. Harapan untuk bisa bertemu dengan sosok yang di cintai kakaknya pupus sudah.
Bersambung....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Bunda. Sukses selalu. Salam literasi
Alhamdulillah... Terima kasih pak atas kunjungannya
Mantul
Terima kasih kunjungannya
Semakin menarik Bunda.. setia menanti lanjutannya Bund.. Salam sukses dan sehat selalu
Alhamdulillah Terima kasih Bun
Mantap,...cerpen yang bagus. Ditunggu tulisan berikutnya.
Terima kasih Pak... Siap insyaallah