Neneng Riati

Neneng Riati, lahir di Bali, SD di Bali lanjut ke Mataram Lobar, lanjut lagi ke Pamekasan Madura hingga lulus SPG dan menjadi guru di daerah Waru, wilayah utara...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kenangan Sepanjang Masa

Kenangan Sepanjang Masa

     Kejadian ini nyata terjadi. Tapi setelah membacanya, Anda pasti akan merasa bahwa ini hanya karangan saya saja. Namun apa pun tanggapan anda, mari baca cerita saya. 

    Ini sudah lama terjadi. Saat saya baru dua tahun diangkat sebagai PNS di sekolah tempat saya mengajar hingga saat ini. Sekitar tahun 1993 atau 1994. Mungkin saat itu anda masih duduk di bangku SD atau bahkan mungkin belum lahir.

     Suatu saat, saya yang saat itu sudah bersuami, berangkat ke sekolah sendirian. Hari masih pagi. Saya menunggu angkutan umum yang akan membawa saya ke sekolah. Jarak rumah saya ke sekolah hanya 6 km. Ongkos saat itu masih Rp. 150,00 saja. Murah.

     Ketika mobil datang, saya langsung naik dan duduk di bangku tepat di belakang sopir, dekat jendela. Mobil masih belum berangkat, karena penumpang baru dua orang. Saya, dan seorang perempuan yang duduk di bangku depan.

    Tak lama, seorang pemuda naik. Duduk tepat di sebelah kiri saya. Saya mengangguk kecil padanya, menyapa hanya dengan senyuman. Saya sekedar mengenal pemuda itu. Dia seorang guru sukwan di SD lain, yang masih satu kecamatan dengan SD tempat saya mengajar.

    Saat itu, saya duduk dengan posisi tas tangan di pangkuan. Kedua tangan saya letakkan menyilang di atas tas tersebut. Mata memandang ke luar jendela, melihat orang berjualan bibit tembakau di tepi jalan. Mobil belum juga berangkat, menunggu tambahan penumpang.

     Saat tangan masih dalam posisi menyilang di atas tas tangan yang ada di pangkuan, saya merasa tangan kanan saya menyentuh salah satu bagian tas tangan. Terasa tekstur yang saya raba saat itu agak bermotif, tebal, namun saat jari saya gosokkan perlahan, terasa halus. 

     Nah, inilah kebiasaan atau mungkin keanehan saya ketika itu. 

     Saat itu, saya punya kebiasaan menebak-nebak sesuatu yang teraba tangan tanpa sengaja, dengan berusaha tidak melihatnya. Ada kepuasan tersendiri saat berhasil menebak apa yang saya sentuh, dan membuktikannya dengan melihatnya kemudian. Sering saat hendak tidur, lampu sudah dimatikan, tangan saya meraba pakaian yang saya pakai. Kadang saya lupa baju apa yang saya pakai saat itu. Maka mulailah kebiasaan saya menebak-nebak muncul. Saya akan terus meraba bagian-bagian baju saya, sambil berpikir keras baju apa yang sedang saya kenakan. Saya konsisten dengan usaha saya. Tak mau menyerah dengan menyalakan lampu atau melihat langsung misalnya, sekedar untuk melihat baju apa yang saya kenakan. Saya akan menghabiskan waktu bermenit-menit demi memuaskan rasa penasaran. Sampai berhasil. Dan ketika berhasil menebak, membuktikan bahwa tebakan saya benar dengan melihat langsung, kepuasan tingkat tinggi akan membuat saya merasa hebat. Hahaha.....

     Itulah yang terjadi di atas angkutan umum saat itu. Saya berusaha sekuat ingatan saya, bagian apa dari tas yang saya raba ketika itu. Kantongnyakah? Motif gambarnyakah? Atau apanya?

    Ufff, sampai mobil berangkat, saya tak berhasil menebak. Sekeras apapun saya berusaha.

     Akhirnya, dengan rasa kecewa yang menggunung, saya menoleh ke arah jemari tangan kanan saya. 

     Seakan panas api menampar wajah saya, ketika melihat dengan mata kepala sendiri, apa yang sedang saya gosok-gosok, saya raba-raba.  

     Paha pemuda sukwan tadi! Yang memakai celana panjang berbahan tebal dengan motif agak kasar. Wajahnya merah padam. Duduk tegak memandang ke arah depan, seolah tak menyadari keterkejutan saya.

    Spontan saya tarik tangan saya. Malu teramat sangat. Kelimpungan, mesti bagaimana. Minta maaf dan menjelaskan semuanya dengan panjang lebar? Siapa yang mau percaya? Diam saja? Juga salah. Andai bisa, ingin rasanya saya menghilang dari tempat itu saat itu juga. Atau hilang dari bumi sekalian. Kaku rasanya tubuh saya. Tak berani bergerak, bahkan sekedar menggerakkan pupil mata. Keringat dingin membanjiri tubuh saya di pagi yang masih sejuk itu. Hingga saat pemuda itu turun dari mobil karena sudah sampai di tempat tujuan, saya masih syok berat. Tak punya tenaga, tak bisa apa-apa.

     Hingga saat ini, saya masih sering bersua dengan pemuda yang sekarang sudah berkeluarga itu. Tak sekalipun dia menyapa saat berpapasan. Andai terpaksa menyapa karena tak bisa menghindar, saya bisa melihat matanya berkata tajam pada saya, "Munafik, lah kau...."

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Makasih Pak.... Moga kita tak mpernah bisan menulis....

02 Aug
Balas

Mantap Bu.Semangat.

02 Aug
Balas



search

New Post