Neni Nuryanti

Di balik setiap anak yang percaya diri, ada guru yang pernah mempercayainya terlebih dahulu. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kesenjangan Pendidikan Kota vs Desa, Masihkan Hardiknas Hanya Seremonial
https://narasigardapena.com/menyikapi-kesenjangan-pendidikan-di-kota-dan-di-desa-dengan-teori-justicekeadilan/

Kesenjangan Pendidikan Kota vs Desa, Masihkan Hardiknas Hanya Seremonial

Kesenjangan Pendidikan Kota vs Desa: Masihkah Hardiknas Hanya Seremonial?

Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan serangkaian upacara, pidato, dan kampanye tentang pentingnya pendidikan. Namun, di balik gegap gempita peringatan tersebut, kesenjangan pendidikan antara kota dan desa masih menjadi luka yang belum kunjung sembuh. Apakah Hardiknas hanya sekadar seremoni tanpa aksi nyata, atau masih ada harapan untuk mewujudkan keadilan pendidikan bagi seluruh anak bangsa?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak di daerah terpencil masih kesulitan mengakses pendidikan berkualitas. Data Kemendikbud (2023) menyebutkan, sekitar 15% sekolah di daerah tertinggal kekurangan guru, dan banyak gedung sekolah dalam kondisi memprihatinkan. Sementara di kota besar, fasilitas pendidikan lengkap, guru berkualitas berlimpah, dan akses teknologi sudah menjadi hal biasa. Kesenjangan ini bukan hanya tentang infrastruktur, tetapi juga kesempatan untuk berkembang.

Kurikulum Merdeka Belajar yang digadang-gadang sebagai solusi ternyata belum sepenuhnya menjawab masalah ini. Di kota, program ini didukung dengan fasilitas memadai, pelatihan guru intensif, dan akses internet stabil. Namun, di banyak daerah pedesaan, guru kesulitan mengadaptasi kurikulum karena minimnya pelatihan dan sarana pendukung. Akibatnya, kesenjangan kualitas pembelajaran semakin melebar.

Faktor ekonomi juga menjadi penghalang besar. Di desa, banyak anak terpaksa putus sekolah karena harus membantu orang tua bekerja. Biaya transportasi ke sekolah yang jauh sering kali menjadi beban tambahan. Sementara di kota, orang tua berlomba memberikan les tambahan dan kursus keterampilan untuk anak-anak mereka. Dampaknya, kesempatan anak desa untuk bersaing di tingkat nasional bahkan global semakin kecil.

Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program, seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan sekolah gratis. Namun, implementasinya kerap tersendat oleh birokrasi yang rumit dan korupsi di tingkat daerah. Alhasil, bantuan tidak selalu tepat sasaran. Selain itu, program seperti ini sering kali hanya bersifat "tempel kompres" tanpa menyentuh akar masalah: ketimpangan struktural dalam sistem pendidikan nasional.

Peran guru di daerah terpencil juga patut diapresiasi sekaligus dikritisi. Banyak guru honorer di desa dengan gaji minim harus mengajar di beberapa sekolah sekaligus, tanpa pelatihan memadai. Ironisnya, di kota, guru berstatus PNS sering kali menikmati fasilitas lebih baik tanpa beban mengajar seberat rekan-rekan mereka di pelosok. Kebijakan redistribusi guru dan peningkatan kesejahteraan pendidik di daerah harus menjadi prioritas.

Teknologi seharusnya bisa menjadi solusi, tetapi kesenjangan digital justru memperparah keadaan. Pembelajaran daring selama pandemi membuktikan bahwa anak desa sering terkendala sinyal internet dan ketiadaan gawai. Sementara anak kota dengan mudah mengakses platform edukasi canggih. Program seperti "Internet untuk Desa" atau penyediaan tablet gratis perlu dipercepat agar tidak ada siswa yang tertinggal.

Hardiknas seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar rutinitas seremonial. Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pendidikan dengan lebih adil, mulai dari alokasi anggaran yang pro-desa, peningkatan kualitas guru, hingga infrastruktur yang merata. Masyarakat juga bisa berperan dengan menggalakkan gerakan sukarelawan mengajar atau donasi buku untuk daerah terpencil.

Pendidikan adalah pintu menuju kemajuan bangsa. Jika Hardiknas hanya dirayakan dengan pidato dan spanduk tanpa tindakan nyata, maka cita-cita Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memerdekakan akan tetap menjadi mimpi. Sudah waktunya Indonesia membuktikan bahwa Hardiknas bukan sekadar seremoni, melainkan komitmen untuk menjembatani kesenjangan dan memastikan setiap anak, di mana pun mereka berada, mendapat kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post