Nenny Litania

Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar...

Selengkapnya
Navigasi Web
Air Mata Bening
Antologi Cerpen ENIGMA "Cinta dan Air Mata"

Air Mata Bening

Kisah Cinderella seakan hadir dalam perjalanan hidupku. Namun, bukan dalam episode pertemuan dengan pangeran yang menjadikannya sama. Perlakuan ibu tiri dan saudara perempuan yang membuat Cinderella menderita, persis sama kualami di dunia nyata. Perbedaannya, aku bukanlah anak tiri. Aku anak Ibu dan Ayah, anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku punya Abang dan Kakak yang sangat aku sayangi. Usiaku kini semakin beranjak remaja dan aku mulai bisa merasakan kalau semakin ada jarak di antara kami bertiga. Entahlah ... semoga ini hanya perasaanku saja.

Ibu adalah wanita tegas yang sangat aku cintai. Istilah anak bungsu dimanja, tidak ada dalam kamus Ibu. Sejak kecil aku diajari mandiri, melakukan semua hal sendiri. Meskipun kadang ada rasa iri ketika melihat Abang dan Kakak merengek, Ibu masih peduli. Aku selalu dinasehati Ibu untuk tidak boleh cengeng, sehingga aku lupa kapan terakhir aku merengek pada Ibu.

Ayah jarang sekali di rumah. Sebagai pemilik perusahaan yang bergerak dalam bidang pengadaan alat-alat kesehatan. Beliau sering ke luar kota untuk memenuhi kebutuhan beberapa rumah sakit yang menjadi konsumen utamanya. Pertemuan dengan Ayah dalam satu bulan, kalau kuhitung dengan jari tak pernah sampai sepuluh kali. Namun, Ayah tak pernah pelit dengan materi. Kami anak-anaknya mau minta berapa pun pasti dikasih, semua kebutuhan tinggal beli. Sepertinya Ayah mencari materi, memang untuk kami. Ah, seandainya Ayah selalu hadir menemani.

Hari Minggu di rumah besar ini tetap sepi. Tak ada istilah weekend ataupun family time. Semua penghuni rumah sibuk dengan aktifitas masing-masing. Bude Asih, asisten rumah tangga sudah pulang dari pasar. Itu artinya aku harus segera bantu-bantu biar tidak kena tegur sama Ibu. Bude Asih sudah mulai sepuh sehingga gerakannya sedikit lambat. Dengan alasan itu, aku diperintahkan Ibu setiap libur sekolah harus membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Bisa dibilang aku jadi asistennya Bude Asih. Bukan hanya memasak, mencuci bahkan menyetrika pun aku kerjakan. Meskipun Bude Asih sedang mengerjakan pekerjaan itu, tak sekali dua kali Ibu dan Kakak bergantian menyuruhku untuk menggantikan tugas Bude Asih, dengan alasan Bude Asih sudah tua.

Pernah aku menawarkan pada Ibu agar mencari orang baru untuk membantu Bude Asih, tetapi beliau menolaknya. Meskipun aku tahu biaya bukanlah penyebab penolakan itu. Beliau berdalih kalau mencari orang yang dapat dipercaya, bukanlah perkara mudah. Aku pun beranggapan demikian, meskipun terkadang pekerjaan yang aku lakukan mulai menjadi beban. Apalagi di saat-saat menghadapi ujian. Waktuku tersita dengan begitu banyak pekerjaan.

“Bening ... Bening!” teriakan Ibu membuatku tersentak kaget. Semua hafalan materi pelajaran yang akan diuji besok menjadi buyar.

“Iya, Ibu.” Aku menjawab dari dalam kamar.

“Jangan iya saja, tapi kamunya enggak muncul-muncul.”

Mendengar itu, aku segera beranjak dan menghampirinya.

“Ada apa, Bu ?”

“Malam ini Ibu dan Kuntum mau makan nasi goreng, kamu buatkan ya.”

“Tapi, Bu. Aku ....”

“Enggak pakai tapi-tapian. Buruan, Ibu tunggu di ruang tengah.”

Dengan berat hati, aku terpaksa mengerjakan perintahnya. Padahal aku sedang belajar. Syukurlah, Bude Asih datang membantu sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk membuat pesanan Ibu dan Kak Kuntum, kakak perempuanku yang manja.

Kalau ada Ayah di rumah, tak sekalipun Ibu ataupun Kakak memintaku melakukan pekerjaan. Sepertinya selagi ada Ayah, aku aman. Namun, kalau Ayah pergi bekerja, semuanya berubah 180 derajat. Bukankah semua itu seperti adegan dalam film Cinderella? Bang Atta yang seharusnya menjadi pengganti Ayah, tak bisa banyak diharapkan. Frekuensinya di rumah sebelas dua belas dengan Ayah. Bedanya, ia disibukkan dengan urusan kongko sama teman-temannya. Lagi pula ia juga terlalu cuek dengan aku. Sampai-sampai aku lupa kalau punya abang laki-laki yang bisa aku banggakan seperti teman-temanku yang lain. Padahal Bang Atta sangat diharapkan Ayah sebagai penggantinya kelak untuk memimpin perusahaan.

Aku sekarang tercatat sebagai pelajar di sebuah sekolah swasta tingkat menengah atas dan duduk di kelas dua belas. Itu artinya, sebentar lagi aku akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Semoga saja cita-citaku menjadi seorang dokter tercapai. Aku rasa Ayah pasti mengizinkan, meskipun biayanya tidak sedikit. Lagi pula prestasi akademikku bisa dibilang sangat bagus. Aku selalu mendapat rangking satu di kelas.

Siang itu sepulang sekolah, kudapati rumahku sangat ramai. Kulihat tetangga berdatangan, satu per satu mata mereka menatapku dengan pandangan iba. Jantungku semakin berdegup kencang, aku merasa ada hal buruk yang telah terjadi. Baru saja aku akan masuk rumah, tiba-tiba Bude Asih memelukku erat. Ia menagis sesenggukan.

“Kamu yang sabar ya, Ning.”

“Apa yang terjadi, Bude?”

Belum sempat Bude Asih menjelaskan, aku mendengar teriakan Kak Kuntum dari ruang tengah.

“Ayah ... Ayah ....”

Aku berlari ke dalam dan menemukan Kak Kuntum dan Ibu saling berpelukan dalam tangis yang tak tertahankan. Di sudut ruangan kulihat Bang Atta terdiam, dan kulihat wajahnya sangat berduka.

Beberapa saat aku termangu dan tetap berdiri melihat pemandangan itu semua. Akhirnya aku tersadar, ada sosok yang sedang terbujur kaku diselimuti kain panjang berada di tengah ruangan.

Apakah itu Ayah?

Kedua kakiku seakan tertancap dan tak mampu kugerakkan untuk mendekat dan memastikan semua itu. Ingin rasanya aku berteriak dan memanggilnya, tetapi gemuruh di dada menyesak hingga suaraku tercekat di tenggorokan. Perlahan aku merasa semuanya gelap dan berputar. Tubuhku semakin ringan dan melayang-layang seolah berada dalam pusaran angin. Aku tak bisa menahannya lagi, dan akhirnya ambruk ke lantai.

Tak ada satu pun yang memberi kabar, dengan alasan aku sedang ujian. Ayah mengalami kecelakaan ketika akan berangkat kerja. Ia menghindari sebuah mobil dari arah berlawanan yang mengambil jalur terlalu ke tengah sehingga Ayah dan mobilnya terpental jauh ke luar jalan. Terhempas terlalu keras mengakibatkan nyawa Ayah tak bisa diselamatkan. Begitu saksi mata menjelaskan kronologis kejadian kepada kami semua.

Ayah, aku merasa sangat kehilangan. Meskipun dulu kebersamaan di antara kita jarang tercipta. Namun, hadirmu masih bisa kurasakan. Bagaimana dengan sekarang? Bagaimana aku melepas kerinduan ini setelah kepergianmu untuk selama-lamanya? Ya Allah, berikanlah aku kekuatan menjalani hari-hariku tanpa Ayah.

Sejak Ayah pergi meninggalkan kami. Perlakuan keluarga berubah padaku. Tidak hanya Ibu, Kakak, Abang, bahkan keluarga besar pun bersikap acuh terhadapku. Meskipun sebelumnya mereka juga tidak terlalu peduli, tetapi sekarang seolah menganggap aku tidak ada. Saat pertemuan keluarga, aku terpaksa menyisih dari keramaian karena tak ada satu pun yang sekadar berbasa-basi menanyakan keadaanku. Bagaimana sekolahku? Akan melanjutkan ke mana? Apa jurusan yang akan aku pilih? Ah, percuma aku mengharapkannya.

Suatu malam aku datang menemui Ibu di kamarnya untuk membicarakan kelanjutan pendidikanku ke perguruan tinggi.

“Sudahlah, kamu di rumah saja. Kubur saja impian menjadi dokter itu. Ibu tak akan mengizinkannya.”

“Mengapa, Bu? Abang dan Kakak juga kuliah, bukankah aku juga berhak untuk itu?”

“Apa?” Ibu berteriak dan menatapku tajam. “Kamu bicara soal hak? Seandainya kamu tahu siapa diri kamu sebenarnya, kamu tak akan berani menuntut hak kamu di rumah ini.”

Aku tersentak dengan ucapan Ibu. Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah bisa memahami arti sebuah kalimat yang baru saja Ibu sampaikan.

Seandainya aku tahu siapa diri aku sebenarnya? Siapa aku sebenarnya?

“Bening!” Ibu mengangkat daguku dengan telunjuknya sehingga membuat wajahku kini berhadapan dengannya.

“Dengar, ya. Mulai hari ini kamu pikirkan sendiri masa depanmu. Ibu akan berikan hak kamu dari warisan Ayah. Kalau kamu mempertanyakan mengapa Ibu melakukan semua ini, cari tahu sendiri jawabannya dari Bude Asih. Karena Ibu tak ingin mengingat kembali masa itu. Masa saat dirimu dilahirkan di dunia ini.”

Semua perkataan Ibu membuatku seperti tersambar petir. Gendang telingaku terasa pecah mendengar semuanya. Meninggalkan bunyi berdenging kencang yang membuat kepalaku sakit sekali. Setiap kata-katanya menimbulkan pukulan maha dahsyat di dada hingga tembus ke jantungku.

Ya, Allah ... berikanlah aku kekuatan menghadapi ini semua. Rahasia besar apa yang telah Ibu simpan bertahun-tahun hingga tatapannya begitu penuh kebencian. Siapa aku sebenarnya?

Ibu beranjak dan meninggalkan aku sendirian. Aku tak kuasa menopang tubuhku hingga terjerembab di lantai kamar. Air mata tak terbendung, mengucur deras menggenangi tempatku kini terduduk lemas tak berdaya. Meskipun begitu, aku mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa. Aku harus bangkit dan menemukan jawabannya.

“Bude Asih ... Bude Asih ....”

Aku berteriak sekuat-kuatnya, agar ia mendengar dan segera menghampiri aku yang terseok-seok melangkah mencarinya.

Tiba-tiba aku merasakan seseorang datang dan menopang tubuhku yang limbung. Ternyata Bude Asih mendengar teriakanku.

“Bening, kamu sakit? Ayo, Bude antar ke kamar.”

Tubuhku direbahkannya di atas tempat tidur. Sejenak aku merasa lebih baik, namun kata-kata Ibu terus terngiang di telingaku.

“Sebentar, ya. Bude buatkan minuman hangat dulu.”

Aku segera meraih tangannya.

“Jangan pergi. Bening harus mendengar semuanya dari Bude. Sekarang juga.”

Bude meraih gelas yang terletak di atas meja tepat di samping tempat tidurku, ia menuangkan air putih dari teko yang sudah ada di situ. Sejuknya air yang masuk melewati kerongkongan bagaikan oase di tengah panasnya dadaku yang masih bergemuruh.

“Apa yang ingin kamu dengar dari Bude?” ujarnya tenang.

“Semuanya, Bude. Semua tentang Bening. Siapa Bening sebenarnya? Sampai-sampai Ibu tak sudi untuk menceritakannya kembali.”

Mungkin Bude sudah tahu bahwa hari ini akan datang, Ia menceritakan semuanya dengan tenang.

“Semua ini adalah takdir hidupmu. Mau tak mau harus kamu jalani. Bude bersyukur kamu mengetahuinya di usia kamu sekarang. Usia di mana kamu sudah bisa berpikir dan memahami sebuah peristiwa. Jangan sepenuhnya menyalahkan sikap Ibu yang acuh terhadap kamu. Karena ia pun sedang berjuang untuk merekatkan kembali hatinya yang berkeping-keping,” ujar Bude menutupi ceritanya.

Jujur, meskipun kenyataan ini begitu pahit. Namun, aku bisa menelannya perlahan-lahan. Banyak yang tersakiti dengan kehadiranku di rumah ini, tetapi semua mencoba mengobati lukanya dengan cara masing-masing. Keputusanku sudah bulat. Aku harus pergi dan menemukan tempat berteduh yang seharusnya, yaitu kembali dalam dekapan ibu kandungku. Perempuan yang bertahun-tahun dalam kesedihannya menanti kehadiranku. Kami terpisah dengan paksa.

Siapa aku? Aku adalah anak dari selingkuhan Ayah, yang membuat Ibu meradang dan memisahkan aku dengan ibu kandungku. Ibu berharap dengan mengambil aku dan membawa ke rumahnya, Ayah tidak ada alasan untuk kembali ke perempuan itu. Perempuan yang Ayah nikahi secara diam-diam hingga aku dilahirkan di dunia ini.

Entah untuk siapa air mata yang terus mengalir deras setiap kali aku kembali ke dalam cerita itu. Aku tak bisa mengabaikan hancurnya hati Ibu yang setiap hari lukanya pasti basah dan menganga ketika melihat wajahku. Hadirnya diriku setiap waktu di hadapannya adalah mimpi buruk yang tak pernah usai. Abang dan Kakak juga pasti sama, mereka acuh padaku agar aku semakin tak tersakiti dengan geramnya mereka melihat wajah polosku tanpa dosa karena tak tahu apa-apa. Aku menganggap mereka semua adalah keluarga. Ah, menyedihkan sekali.

Air mata ini juga untuk ibu kandungku yang memendam rindu pertemuan denganku. Kini, seakan bisa kumerasakan kerinduannya seperti aku yang kini juga merindukannya.

Tunggu aku, Ibu. Aku akan datang menemuimu.

“Ini alamat ibu kandungmu.” Bude Asih menyodorkan sebuah catatan lusuh yang tersimpan bertahun-tahun dalam lemari pakainnya.

Ayah, dia yang kusayangi sepenuh hati, ternyata dialah penoreh luka-luka itu.

Ya Allah ... Ampunilah dosa-dosanya.

Siapa Aku? Aku yang kini berusaha melangkah dengan pasti untuk menemukan jati diri. Aku harus bangkit karena kehidupan di dunia ini belum berhenti. Air mata ini harus aku jadikan sebagai kekuatan untuk menatap masa depan.

SEKIAN

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post