Nenny Litania

Guru SD Muhammadiyah 019 Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar...

Selengkapnya
Navigasi Web
KAIN PERCA
Antologi Cerpen "Pelangi yang Tak Pernah Pergi"

KAIN PERCA

Tatapannya sangat teduh, senyuman lembut menghiasi wajahnya yang sepuh. Ibu penerang jiwa, penenang batinku. Pelukan hangatnya selalu bisa meluruhkan segala kegundahan hati. Siang malam ia menjagaku, memenuhi segala kebutuhanku seorang diri. Ya, hanya sendiri.

Ayah, sosok samar dalam ingatanku. Ia pergi sebelum aku benar-benar bisa merekam semua kebersamaanku bersamanya.

Setiap kali aku bertanya, “Kemana Ayah?”

Ayah pergi bertemu Allah.”

Begitu selalu ibu katakan padaku yang masih balita.

Setelah aku bisa memahami sebuah peristiwa. Ibu menceritakan kemana ayah pergi. Kecelakaan tunggal telah merenggut nyawanya. Ayah menempuh derasnya hujan dengan sepeda motor sepulang dari kerja, sehingga tidak bisa melihat dengan jelas ada jalan berlubang yang sudah digenangi air. Ayah terjatuh. Allah mengutus malaikat maut menjemputnya, tanpa sempat berpamitan pada kami berdua.

Di malam naas itu, ibu sangat cemas menanti kepulangan Ayah. Sampai datang seorang tetangga yang menyampaikan berita duka. Kalau ayah pergi untuk selama-lamanya.

Aku sangat sedih setiap kali mengingat peristiwa itu. Ibu kehilangan sandaran hidupnya. Separuh sayapnya patah. Hari-hari ia jalani dengan gamang, namun berusaha bangkit. Ibu pernah bilang, kalau aku adalah alasannya untuk terus bertahan.

Sebelumnya, ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga. Ayah bekerja sebagai satpam di sebuah mall. Penghasilan ayah saat itu, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kecilnya yang baru hanya ada aku dan ibu. Sejak kepergian ayah. Ibu terpaksa bekerja. Apapun ia kerjakan, mulai dari menerima cucian hingga menyetrika pakaian.

Hingga suatu hari nenekku datang, mertua ibu. Memberi sebuah mesin jahit untuk ibu gunakan. Ternyata ibu bisa menjahit. Ia pernah belajar sewaktu masih remaja.

Disamping pekerjaannya sebagai buruh cuci dan menyetrika. Ibu mulai menerima permak pakaian. Mengecilkan atau menambah ukuran, memotong celana atau rok yang kepanjangan, dan apapun yang ibu sanggup melakukannya.

Suatu hari kulihat ibu membuka jahitan pakaian lamanya yang sudah tidak terpakai lagi, agar ia punya bahan kain untuk menjahit. Akhirnya, jadilah sebuah gaun kecil yang indah. Ibu persembahkan sebagai hadiah di hari ulang tahunku yang kelima.

Nia kecil sangat bahagia saat itu. Gaun indah berwarna merah jambu yang dikenakan, seolah membuat dirinya bak putri raja. Disampingnya, sang ratu tersenyum bahagia melihat putri kecilnya berputar-putar di depan cermin.

“Nia senang ya, sama baju barunya?”

“Senang ... sekali. Terima kasih, ibu.”

Gaun itu hingga kini masih utuh. Tetap indah, seindah kenangan yang tersimpan. Aku bahagia pernah memilkinya, dan selalu tak bisa membendung air mata yang tumpah setiap kali merindukan masa lalu itu.

Ketika menginjak usia remaja, membuatku mulai banyak mau. Saat itu lebaran tinggal seminggu. Ibu belum mengajakku membeli baju baru. Meskipun aku tahu, sepertinya ibu belum mampu.

Suasana lebaran semakin menjelma. Seiring takbir yang menggema. Ibu sudah menyiapkan semua. Meskipun sederhana tapi buatku sangat sempurna. Ketupat dan opor juga ada. Bolu pandan kesukaanku juga sudah tertata di atas meja.

“Alhamdulillah.”

Ibu selalu mengajarkan agar selalu mengucap syukur atas setiap nikmat yang diterima. Karena Allah akan menambah nikmat pada hambanya yang senantisa bersyukur, dan siksa Allah sangat pedih jika menjadi orang yang kufur. Begitu Ibu menjelaskan padaku.

“Di luar sana, masih banyak orang yang tidak punya tempat tinggal, tidak bisa makan, tidak punya pakaian. Nia punya segalanya. Jadi Nia harus bersyukur. Allah itu maha pengasih lagi penyayang.”

“Tapi, Nia tidak punya ayah, Bu.”

“Tapi Nia masih punya Ibu, kan? bukankah Nia masih lebih beruntung dibandingkan mereka yang harus hidup sendirian karena tidak punya ayah dan ibu?”

Ibu, ajaranmu sungguh bernilai. Aku bangga memilikimu. Semoga Allah senantiasa menjagamu.

“Nia ...! kemari, Sayang.”

“Iya, Ibu.” Sahutku dari dalam kamar.

Ibu duduk di ruang tengah sambil menikmati secangkir teh hangat.

“Duduk sini, dekat Ibu,” ajaknya lembut. Seperti biasa, suaranya merdu menenangkan.

Aku memeluk lengannya manja, dan mencium aroma tubuhnya yang mampu membuatku candu dan selalu ingin dalam dekapannya.

“Bukalah!” Ibu menyodorkan sebuah kado dengan hiasan pita merah di atasnya.

“Waah ... kado.” Aku suka sekali setiap kali ibu memberiku kado. Setiap ingin memberi hadiah, selalu dikemas dalam bentuk kado. Aku pun suka begitu kalu ingin memberi ibu hadiah.

Meskipun tak sabar ingin melihat benda yang tersembunyi dalam kado tersebut. Aku tetap membukanya perlahan, sayang sekali harus merobeknya. Karena terlihat sekali kalau ibu membungkusnya dengan penuh cinta.

“Maa Syaa Allah, indahnya!” setengah berteriak kumengangkat sebuah gamis yang ibu siapkan untukku. Ah, ibu paling bisa membuatku bahagia. Aku bahkan tak pernah melihat ibu menjahitnya. Aku yakin ibu sengaja, untuk melihat reaksiku seperti ini.

“Alhamdulillah, Nia menyukainya. Maafkan Ibu. Baru bisa memberikan baju dari bahan kain perca.”

Kuperhatikan ibu memang selalu menyimpan sisa kain yang masih cukup lebar ketika menggunting kain para pelanggannya. Ibu menyebutnya kain perca.

“Ibu, ini indah sekali. Tidak kelihatan dari kain perca. Ibu sangat pandai memadu padankan corak dan warnanya. Aku suka ... sekali.”

Akhirnya aku punya baju lebaran. Tak sabar rasanya menunggu esok hari.

Ibu, engkau adalah kado terindah yang Allah beri untukku. Engkau pelangi hidupku. Aku sangat menyayangimu, Bu.

Hidupku penuh warna bersamanya. Meskipun terkadang aku rindu ayah. Namun rasa itu hanya muncul ketika teman-teman bercerita tentang ayah mereka. Aku merasa telah memiliki segalanya meskipun hanya dengan ibu saja.

Kubelai kembali wajah yang kini dihiasi guratan-guratan halus, menandakan dirinya diujung senja. Kugenggam erat tangannya yang dulu tak pernah henti bekerja. Tiada keluh dan kesah. Meskipun kutahu ia sangat lelah.

Alhamdulillah, perlahan namun pasti. Dengan menjahit dan beberapa pelanggan yang sudah menyenangi hasil jahitan ibu yang rapi. Ibu mulai dapat mengumpulkan pundi-pundi. Sehingga tidak pusing lagi mencari pinjaman untuk membayar kontrakan dan kebutuhan hidup sehari-hari. Biaya sekolah pun mulai bisa diatasi. Beruntung aku termasuk siswa berprestasi, dan berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Aku bangga bisa ikut meringankan beban pikiran ibu. Rona bahagia terpancar di wajahnya, setiap kali aku memberi kabar prestasi-prestasiku dan beasiswa yang berhasil aku dapatkan.

“Ibu, aku akan selalu membahagiakanmu.”

Begitu aku terus memacu semangatku agar tidak larut dengan keadaan. Semangat ibu mengalir dalam darahku, hingga aku tumbuh menjadi pribadi yang tidak cengeng. Aku menjadi gadis yang mandiri. Aku sadar, setiap tetesan keringat ibu tak boleh aku sia-siakan. Aku harus menjadi sandaran hidupnya kelak.

Alhamdulillah, aku berhasil menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat menegah atas. Mimpi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi kupendam sendiri. Meskipun ibu pernah menawarkannya. Jujur, aku tidak tega. Biayanya tidak sedikit, takut putus di tengah jalan. Aku ingin membantu ibu dulu, semoga nanti aku punya penghasilan untuk bisa membiayai kuliah sendiri.

Aku pun mulai belajar menjahit dengan ibu. Tidak terlalu sulit buatku memulainya. Mungkin dikarenakan sejak kecil terbiasa melihat ibu menjahit. Ditambah lagi keinginan yang kuat untuk bisa menjahit. Semuanya kulewati dalam waktu yang cukup singkat. Ibu bilang aku berbakat.

Waktu terus berjalan. Aku pun mulai punya pelanggan. Meskipun tenaga ibu semakin berkurang. Usaha menjahit malah semakin berkembang. Sebagian pelanggan yang datang minta aku yang buatkan desain baju mereka. Mereka tinggal bilang mau di pakai untuk acara apa. Sejauh ini pelanggan yang datang puas dengan karya-karyaku. Aku pun semakin percaya diri.

Allah tak pernah tidur. Doa-doa ibu dalam sujudnya di sepertiga malam, satu persatu Allah kabulkan. Ibu sudah tidak menjahit lagi. Dengan tabungan, aku bisa kuliah lagi. Lulus sebagai fashion designer. Aku sudah punya butik sendiri. Mesin jahit tidak hanya satu, tapi sepuluh. Punya beberapa karyawan yang aku gaji. Aku dan ibu pun sudah naik haji. Alhamdulillah.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Tak ada penyesalan. Hanya syukur yang tak henti kuucapkan. Mengingat suka duka perjalanan hidupku bersama ibu. Meskipun kini aku harus mengikhlaskan. Sosok yang selama ini menemaniku harus terbujur kaku. Setelah Jumat dini hari tadi, Sang Pemilik Jiwa memanggilnya.

“Dik, Ibu harus segera kita antar ke peristirahatannya yang terakhir. Semua sudah dipersiapkan.” Lirih lelaki berpeci hitam itu berbisik di telingaku. Lelaki pilihan ibu yang telah membersamaiku, hingga ibu memiliki sepasang cucu yang sempat memanggilnya ‘Nenek Cantik”.

Ya, Allah ... Terima kasih untuk akhir cerita yang happy ending untuk ibuku tercinta. Semoga engkau tempatkan ibuku di disimu yang terbaik. Aamiin ...

SEKIAN

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terima kasih bunda, salam sukses juga untuk bunda

26 Sep
Balas

Aamiin Yaa Robbal'alamiin. Keren ceritanya Bunda. Semoga sukses selalu.

26 Sep
Balas

Sosok seorang Ibu tak kan tergantikan bagi putra-putrinya, pasti yang ter baik dari semua, semoga Ibu Husnul Khotimah ya ..Aamiin YRA

26 Sep
Balas



search

New Post