Assalamualaikum, Amerika part4
#Tantangan30harimenulis hari ke-18
...
Bu Jeannette kembali menempati tempat duduknya. Ada sebuah meja persegi ukuran kecil dengan 4 kursi, masing-masing 1 di setiap sisinya. Sepertinya disediakan untuk orang istirahat sambil pesan makanan atau minuman sehabis ngegym. Terletak di samping kiri resepsionis dan di sebelah kanan ruang gym. Lebih jelasnya di antara resepsionis dan ruang gym. Dari front desk resepsionis posisi ruang gym itu membentuk huruf ‘T’. Tampak dinding kaca warna gelap, tapi karena lampu-lampu ruangan gym itu menyala ruangan itu terlihat jelas. Tampak alat-alat gym itu berjejer terlihat eksklusif. Masih terlihat beberapa orang yang masih beraktivitas di dalam. Sudah malam juga.
"He is Anthony. My son."
"Ya, sudah kenalan tadi" kataku.
“Mau makan apa?’ kata bu Jeannette padaku.
“Oh tidak usah, terima kasih”
“Sudah makan?”
“Sudah, tadi di pesawat dan masih kenyang.”
“Minum?”
“Boleh”
“Minum apa” katanya. Lalu menawarkan beberapa jenis minuman
“Hot coklat”
Dia panggil seorang pelayan yang berada tidak jauh dari kami untuk memesannya. Tidak berapa lama pelayan itu sudah kembali membawa coklat panas pesananku dan dua makanan ringan lain, nugget dan kacang mete.
“Ibu pernah pulang ke Indonesia?”
“Pernah beberapa kali, terakhir sudah lama kira-kira 7 tahun lalu”
“Oh.. kapan rencana pulang lagi?”
“Ah. Tak taulah”
Bu Jeannete mulai bercerita.
“Saya selalu menemani Anthony kemana saja dia pergi.” Dia berhenti sejenak.
He is disable.
Aku tahu maksudnya berkebutuhan khusus. Untuk meyakinkan diriku refleks saja aku memandang Anthony di sebelah Bu Jeannette.
“Dia Autis” sambung Bu Jeannete lagi.
“Oh ya .. tapi dia kelihatan baik-baik saja” kataku apa adanya. Secara kasat mata Anthony biasa saja seperti orang kebanyakan. Bawaannya tenang dan ramah.
"Ya, dia anakku satu-satunya. Usianya sekarang sudah 34 tahun. Selama ini tidak ada perusahaan yang mau menerimanya karena dia disable. Tapi beberapa bulan terakhir ini ada perusahaan yang menerimanya dengan syarat dia harus banyak belajar."
“Wah, Bagus donk” kataku merasa ikut gembira mendengarnya.
“Dia sekarang juga sedang ikut private les.”
“Les apa?”
“Les komputer. Dia Les 3 kali seminggu.
“Ooh.”
“Saya dicerai suami, gara-gara saya melahirkan anak yang autis.” katanya.
Ada rasa pilu yang menyeruak di dadaku, meskipun Bu Jeannette menceritakan dengan santai seperti tak ada beban. Siapa sih orang tua yang mau anaknya terlahir cacat? Melahirkan anak yang autis atau disable lain bukanlah pilihan. Itu adalah takdir. Kok bisa ya, suaminya begitu. Toh itu benihnya juga. Pikirku dalam hati. Semua tak berani kulontarkan.
“Oh ya?”
Aku tak berani komentar banyak tentang ini. Takut salah bicara. Paling jawab ‘oh.. ya.. teruss’?
"Anthony tidak bisa bepergian sendiri."
“Anthony kerja di mana? Berarti Ibu antar juga dia pergi kerja.”
“Tapi sekarang saya sudah bisa melepasnya ke tempat kerja. Dia sudah bisa pergi kerja naik bis.”
Dia pun bercerita panjang lebar tentang Anthony. Sebagai anak disable ia menjadi tanggung jawab negara. Naik bis gratis, naik pesawat gratis, berobat gratis. Dan banyak lagi fasilitas yang diberikan pemerintah untuk menunjang kelangsungan hidupnya.
Kalau naik bis dia tunjukkan kartu disable yang dikeluarkan pemerintah, dan dia akan dilayani dengan baik. Kursinya juga khusus dan mudah dipantau oleh sopir.
Aku temangu-mangu kagum mendengar semua itu.
“Nensy sendiri saja? Mau jalan-jalan?” tanyanya kemudian.
Aku pun bercerita tentang tujuanku ke Amerika yakni mau bertemu anakku.
Anakku, Angga yang sekolah di Amerika sebagai exchange student sejak 8 bulan lalu melalui program Kennedy Lugar Youth Exchange Student (KL-YES). Selama ini orang tahunya AFS. Memang mereka test bersamaan, Yayasan yang menaunginya di Jakarta juga sama, namanya Bina Antarbudaya. Bedanya, KL-Yes tujuannya khusus Amerika saja. Program ini 100 persen dibiaya pemerintah Amerika. Termasuk biaya seleksi nasional, biaya orientasi, pengurusan visa, dan tiket bolak-balik ke Jakarta-Batam beberapa kali sebelum keberangkatan.
Sementara AFS negara tujuannya menyebar ke berbagai negara partner di Asia dan Eropa. Program ini berbayar. Bisa biaya pribadi, bisa mencari sponsor.
Aku ceritakan bahwa program KL-Yes ini diikuti oleh hampir 9000-an peserta seleksi seluruh Indonesia. Dengan seleksi yang super ketat. Final testnya langsung dengan pihak kedutaan Amerika. Dari 9000-an orang, hanya 80 orang yang lulus, sebagaimana kuota yang diberikan untuk Indonesia dan anakku salah satunya. Delapan puluh adalah kuota terbesar yang didapatkan Indonesia dibandingkan negara-negara lain. Mereka yang 80 orang itu disebar di berbagai berbagai sekolah di berbagai negara bagian di Amerika. Tidak di satu lokasi yang sama.
“Wah hebat, dia! Nanti dia jangan pulang, ya. Lanjut kuliah di sini saja.” sarannya.
“He..he.. Belum tahu, Bu. Kan biaya di sini mahal. Tidak yakinlah saya sanggup menyekolahkannya di sini kalau dengan biaya sendiri.”
“Kalau anak pintar pasti ada jalan.” Katanya meyakinkanku. “Nanti kerja di sini. Kalau di Indonesia gaji kecil” katanya dengan suara yang agak ditekankan.
Lalu dia masih bercerita beberapa alternatif nanti kalau Angga mau melanjutkan sekolah di sini, termasuk kuliah sambil kerja.
“Ok, ini sudah malam, we have to go! You pasti capek” katanya. “Semua sudah masuk ke member saya, no need to pay” katanya lagi sambil mengarahkan matanya ke atas meja. Maksudnya makanan dan minuman yang dipesan tadi.
“Terima kasih. Boleh saya minta nomor Ibu?”
“Why not?”
Kami pun bertukar nomor telepon.
Anthony sejak tadi hanya jadi pendengar yang baik. Meski kami kadang bicara di dua bahasa yang bercampur-campur. Kadang dia membuka-buka HP-nya. Kadang dia ikut tersenyum ketika kami tertawa. Melihat Ibunya berdiri, menyandang tasnya, Anthony juga berdiri dan tersenyum ramah.
“You istirahatlah, pasti capek, 22 jam di perjalanan.” kata Bu Jeannette. “Give your son my number”
“Anything, you can call me.”
“sure!, Thanks so much” kataku sambil menyalaminya dan Anthony.
Kami seiring berjalan, mereka keluar, aku langsung naik lift.
Sampai di kamar aku siap-siap hendak mandi. Kusandang handuk dan kuambil perlengkapan mandi yang kubawa. Penasaran juga aku melihat kamar mandinya. Cuacanya 16° celcius, dingin. Sebelum keluar menuju kamar mandi aku raih HP-ku, aku chat someone yang besok akan menemaniku.
“Angga, sekarang dimana? Jam berapa terbang?”
“Masih di rumah, Ma. Tengah malam waktu sini Angga terbang” balasnya
Di sini jam 10.18pm di sana jam berapa?
"Disini 8.18 pm. Beda 2 jam, Ma"
Berapa jam penerbangan
Kira-kira 4 jam
Langsung atau transit?
#bersambung
Bagaimana kisah dengan bu Jeannete, masih berlanjut atau hilang begitu saja?
Kemana tujuan kami dan bagaimana pengalaman di hari pertama di New York?
Tunggu next episode!
#daripengalaman pribadi

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Lanjut...
yes!
Waauuu, Amerika. Apakah mungkin saya juga bisa nyasar ke sana, hehehe
Jangan nyasar, Bu. Tapi direncanakan.. hehe
Luar biasa.....cerita tentang Amrik
Terima kasih, Bu
Ditunggu kelanjutannya bu. Suka... Salam bu.
Salam kembali. terima kasih telah menyukai.
Waalaikum salam...sukses selalu ibu. Amerikanya sudah Part 4
Iya bu.. alon-alon.. hehe
Serasa ikut ke Amrik. Kereen tulisannya. Salam kenal Bu. Aku follow ya!
terima kasih.. buu
Wahhh hebat banget di negara itu Ya
patut dicontoh
Saya kok tidak punya keberanian ya bun, meski kemarin sempat dapat tawaran, he he he. Keren bunda
keberanian harus diasah, Bund.. hehe
Wow luar biasa
terima kasih
ibu yang keren
terima kasih.. Salam
penasaran nih bunda mau tau kelanjutannya, serasa berada di Amrik . .
Alhamdulillah, ditunggu kelanjutannya yaa..
Wah Angga keren, mamanya pun keren...Tulisannya membuat seolah jiwa saya disana...
terima kasih buu..