Purnama di bulan ramadhan terasa lebih syahdu. Angin berdesir menyapu wajah. Bintang gemerlap cantik berkedip. Langit pun tampak cerah.

Aini duduk bersimpuh di atas kursi bambu dengan mukena membalut tubuhnya. Mandi bulan purnama di bulan mulia selalu dirindukannya. Sambil menatap purnama, bibirnya tak henti mengucapkan tasbih, tahmid, dan tahlil. Ia rangkum semua diiringi doa mohon ampunan dan sholawat.

"Duhai ramadhan, biarkanlah aku menikmati malam ini sepuasnya," batin Aini, "Janganlah kau bergegas pergi masih banyak hal yang ingin dilakukan sementara pekerjaan seakan tiada habisnya."

"Ramadhan ini jadi tahun ketiga tanpa ibu di sampingku," Aini mengenang masa indah saat masih bersama ibu. "Bu, rindu ini harus bagaimana menebusnya?"

Bulan membulat sempurna seakan ingin menjawab segala resah hati Aini. Malam semakin sunyi namun sinar rembulan memberi hangat dalam jiwa. Aini enggan beranjak. Ia semakin larut dalam takafur dan doa.

Pasrah akan segala takdir Maha Pencipta. Hingga akhirnya tubuh ringkihnya tiba-tiba terjatuh tanpa ada yang menahan. Aini telah kembali pada Allah. Rindu pada ibunya disambut suka cita. Innalilalhi wa inna ilaihi roji'un.

Mandi bulan jadi saksi husnul khotimah seorang sholehah. Aini seorang gadis yang hidup sendiri sejak ibunya berpulang. Kesedihan membuatnya menepi di tempat terpencil dan membaktikan diri sebagai guru mengaji bersama anak-anak yatim piatu.