Berjuang untuk melanjutkan hidup membuat aku dan keluarga jauh dari orang tua. Kami pernah mencoba mengadu nasib di kampung, jangankan untung, modal tidak kembali. Akhirnya kami merantau meninggalkan kampung halaman dan orang tua, menggadu nasib kekota semoga ada perubahan.

Ditahun- tahun pertama kami diuji baik fisik maupun mental, tapi bukan orang Minang namanya jika mudah menyerah, istilahnya, kami bodohnya hanya satu hari tapi selanjutnya jangan ditanya semuanya bisa kami genggam.

Akhirnya dengan penuh perjuangan apa yang menjadi cita- cita kami sedikit- demi sedikit mulai terwujud. Namun di sisi lain kami tak bisa selalu bersama ayah, yang seharusnya bersama di masa tuanya karena mereka sepertinya tak ingin anak- anak merasa terbebani dengan kehadiran mereka. Aku dan suami berusaha selalu membujuk ayah untuk hadir dalam kehidupan kami dan begitu juga dengan cucunya. Namun dengan halus ayah menolak dan gantinya kami selalu pulang kampung setiap lebaran.

Sudah dua hari ini persaanku terasa resah dan tak nyaman, entah apa yang membuat hati ini tak tenang. Baru seminggu kemaren aku pulang karena ayah sakit. Herannya setelah kedatanganku ayah mulai makan dan ceria. Namun malam itu telepon tak henti- hentinya berdering, gelisah selama ini terjawab sudah kalau ayah pergi dengan bahagia untuk bertemu dengan mama disyurga sana.

Tanjung Pati, 10 Maret 2022